Prolog

594 91 201
                                    

Udara segar kini sulit dirasakan gadis yang terbaring di brankar rumah sakit itu

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Udara segar kini sulit dirasakan gadis yang terbaring di brankar rumah sakit itu. Bau obat-obatan di ruangan ini memang tidak terlalu kuat, tetapi tetap saja lebih mendominasi karena hanya mengandalkan lubang ventilasi sebagai jalur keluar masuk angin. Ruangan berukuran 3x3 tersebut akan menjadi tempat tinggalnya selama beberapa hari ke depan.

Di samping brankar sebelah kanan terdapat tabung oksigen berwarna hitam agak pudar, sementara sebelah kiri ada lemari untuk menyimpan barang-barang dan obat. Seperti ruangan di rumah sakit lain, kamar ini juga menggunakan cat yang sama. Putih. Sebagai pelengkap, satu set sofa tersedia di pojok ruangan yang menghadap langsung ke arah brankar. Selain itu, ada juga kamar mandi dilengkapi toilet yang terletak berlawanan dari pintu.

Baru saja ingin menyisiri lebih jauh ruangan ini, pintu terbuka dari luar dan memperlihatkan kedua orang tuanya. Mereka terlihat terlalu santai saat sang anak jatuh sakit. Bahkan, papanya langsung duduk di sofa tanpa menyapa terlebih dahulu dan mengeluarkan kertas-kertas dari tas kerjanya.

"Aduh, Salsa, ini pasti gara-gara kamu suka telat makan sama sering begadang. Kalau udah sakit begini, kan, sekolah kamu ketinggalan, les gak masuk, susah buat belajar. Gimana, sih?" omel Safira saat dirinya mendekat ke arah Salsa.

Sebelum Salsa sempat menjawab perkataan mamanya, Safira lebih dahulu mengatakan, "Nanti mama bawain buku kamu ke sini. Awas kalau kamu gak belajar!" Wanita berusia 48 tahun itu sibuk mengotak-atik ponsel di tangannya, lalu menempelkan di telinga.

"Halo, Bu. Saya mamanya Salsa, untuk beberapa hari ke depan Salsa izin, ya, Bu," ujar Safira kepada guru les Salsa.

Wanita yang nyaris berumur setengah abad itu menatap tajam ke arah Salsa, wajahnya terlihat semakin memerah, begitu pula dengan sebelah tangannya yang terkepal erat. "Baik, Bu, terima kasih," sahutnya setelah mendengar balasan dari pihak yang mengajar Salsa les selama beberapa tahun ke belakang.

Setelah sambungan terputus, Safira langsung menuju ke sofa dan duduk di samping Bram. Tatapannya masih tak terlepas dari si bungsu yang berbaring. "Kamu, tuh, jangan keseringan bolos, Salsa! Mau jadi apa, ha? Tadi guru lesmu bilang kalau bulan ini udah absen lima kali, jangan kebanyakan main, deh! Otak kamu harus sering diasah, mau jadi bodoh terus? Lihat kakak kamu! Dia sukses, pintar, udah jadi dokter, masa depannya cerah. Dari zaman sekolah, udah banyak piala yang diraih. Kamu udah menghasilkan apa selama ini?" sarkas Safira.

"Papa sengaja pilih ruangan VIP supaya kamu bisa belajar tanpa diganggu pasien lain. Nanti kalau udah pulang, papa bakal tes kamu di rumah!" ucap Bram sambil merapikan kertas-kertasnya.

"Mama sama papa mau ke mana?" tanya Salsa setelah cukup lama terdiam.

"Pulang. Papa udah bayar administrasi rumah sakit. Nanti kamu pulang sendiri, jangan manja!" balas Bram.

"Nanti mama kirimin buku kamu pakai kurir. Inget, ya, Salsa, kamu harus belajar," pesan Safira sebelum menarik ganggang pintu.

"Iya."

Setelah kedua orang tuanya keluar dan pintu tertutup rapat, air mata gadis itu mulai menetes. Salsa tak pernah diberi kesempatan untuk menjelaskan, padahal selama lima kali membolos itu bukan seperti yang ditundingkan mamanya tadi. Ia jatuh sakit karena kebanyakan belajar, kepalanya pusing harus mencerna pelajaran di luar kapasitas dan jam belajar yang padat. Hari ini paling parah, ia sampai harus dilarikan ke rumah sakit.

Mata Salsa terpejam, ia ingin beristirahat sejenak sebelum harus berhadapan dengan pelajaran yang memusingkan. "Iya, aku bodoh, gak kayak Kak Rachel yang sempurna. Tapi aku juga manusia, perlu waktu buat istirahat. Kalau gak bisa refreshing, seenggaknya buat jam tidur yang cukup aja. Pengen, deh, ngerasain gimana jalan-jalan ke mall, pantai, gunung, dan ke semua tempat kayak orang lain. Pasti rasanya seneng banget. Aku capek kayak gini terus," lirih Salsa dengan air mata yang semakin deras.

Bohong jika dirinya baik-baik saja apabila dibandingkan dengan sang kakak yang serba bisa. Ia tidak percaya diri, mereka seperti bumi dan langit. Salsa dengan banyak kekurangannya, sementara Rachel memiliki segalanya. Apalagi tak ada tempat untuknya mengadu dan mencurahkan isi hatinya, sehingga Salsa harus menahan kepahitan ini seorang diri.

"Kalau aku gak ada di dunia ini, apa semua akan baik-baik aja?"

"Kalau aku gak ada di dunia ini, apa semua akan baik-baik aja?"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Little Things [END]Where stories live. Discover now