Bagian 13

149 35 18
                                    

Makan malam kali ini lebih sunyi daripada biasanya, hanya ada dentingan sendok dan garpu yang beradu dengan piring

Oops! Această imagine nu respectă Ghidul de Conținut. Pentru a continua publicarea, te rugăm să înlături imaginea sau să încarci o altă imagine.

Makan malam kali ini lebih sunyi daripada biasanya, hanya ada dentingan sendok dan garpu yang beradu dengan piring. Suara jarum jam yang tergantung di dekat pintu masuk dapur ikut memecah keheningan, tetapi tiga orang yang sedang makan itu sama sekali tidak ada membuka suara.

Bram lebih dulu selesai, lalu meninggalkan meja makan tanpa mengucap satu patah pun. Tak lama kemudian, Safira mengikuti. Namun, sebelum keluar ia sempat berpesan, "Piringnya dicuci, ya, Sal. Habis itu langsung ke ruang keluarga." Wanita berdaster bunga-bunga itu kembali melanjutkan langkahnya menyusul sang suami.

"Ini bukan pertanda baik," gumam Salsa.

Mendadak selera makannya langsung hilang, padahal masih seperempat yang baru dihabiskan. Ia bangkit dari kursi, kemudian menyimpan lauk-lauk ke dalam lemari. Peralatan makan dan bekas masak dibawa ke dapur kotor, lalu dicuci satu per satu.

"Aku ada buat salah? Perasaan nilai di sekolah masih aman, les juga gak pernah bolos. Apa mama dan papa tahu soal klub itu? Gak bisanya langsung disuruh kumpul ke ruang keluarga tanpa bawa buku," tanya Salsa pada dirinya sendiri.

Cukup lama Salsa memikirkan hal itu sembari mencuci piring, tetapi tidak ada satu pun jawaban yang ditemukannya. Sesegera mungkin ia menyelesaikan cucian, lalu ikut bergabung di ruang keluarga. "Ada apa, Ma?" tanya Salsa.

Safira yang semula memegang tablet langsung meletakkannya, wanita paruh baya itu menatap Salsa dengan intens. "Kamu gak pernah rawat diri, ya?" tanya Safira balik.

Mata Salsa mengerjap beberapa kali, ini merupakan kejadian yang sangat langka. Tidak bisanya Safira menanyakan hal tersebut, sehingga gadis itu semakin kebingungan. "Aku pakai skincare rekomendasi dari Kak Rachel," jawabnya terus terang.

"Kok, masih keliatan dekil?"

"Belum kelihatan efeknya, Ma," sahut Salsa.

Gimana mau kelihatan efeknya kalau setiap hari begadang dan kurang istirahat, batin gadis itu.

Tangan Safira kembali meraih tabletnya, lalu mengetik sesuatu di sana. Posisi Salsa yang berhadapan langsung dengan wanita itu membuatnya tidak bisa melihat dengan jelas. "Kalau kamu gak pinter, seenggaknya harus bisa rawat diri, Salsa. Hitam, hidung pesek, jerawatan, bibir pucat. Jangan bilang kamu gak bisa pakai make up juga?" tunding Safira.

"Ma, cantik gak harus putih dan semua yang tadi disebutin!" bantah Salsa cepat.

Sebenarnya kulit Salsa tidak bisa dikatakan hitam, lebih ke kuning langsat. Hidung gadis itu juga standar. Untuk jerawat, ia sedang datang tamu bulanan. Setelah selesai, jerawatnya ikut pergi. Sementara soal bibir, kemungkinan karena darah rendah.

"Tapi zaman sekarang kalau kamu mau dibilang cantik sama orang-orang mesti punya kulit putih, Sal. Wajah kamu harus good looking. Jadi, kalau ada salah pun banyak yang bela. Cowok-cowok bakal suka dan berebutan buat dapetin hati kamu," tuntut wanita dua anak itu.

Dituntut menjadi sempurna di mata orang lain membuat Salsa menghela napas perlahan, ia mencoba memupuk kesabaran agar tidak meledak. "Iya, Ma. Aku bakal lebih rajin lagi rawat diri," ucapnya.

"Sal, ada laporan lagi kalau nilai olahraga kamu menurun. Segera minta tugas buat nutupinnya!" perintah Bram.

"Iya, Pa." Salsa ingin sekali bisa membantah perkataan orang tuanya, tetapi ia tidak bisa melakukan hal tersebut. Gadis itu berharap ada satu kali kesempatan untuk melakukan perlawanan.

Rasanya sangat mustahil untuk sempurna di semua bidang pelajaran, otak dan fisiknya tidak sekuat itu. Apalagi pelajaran olahraga kebanyakan praktik langsung di lapangan, sehingga sedikit susah mendapat nilai bagus. Mau latihan di rumah pun tak ada lapangan luas, peralatannya juga tidak punya.

"Ya udah, sana masuk kamar!"

Ia langsung pergi dari ruang tengah dan naik ke lantai dua. Saat berada di kamar, Salsa segera mengunci pintu agar tidak ada yang masuk. Napas gadis itu memburu, air mata yang sedari tadi ditahannya mengalir dengan deras.

"Aku lelah, Tuhan," lirih Salsa. Tubuhnya yang bersandar di pintu melorot perlahan hingga terduduk di lantai.

"Kamu bodoh, Salsa. Kamu jelek. Kamu itu cuma jadi beban di keluarga ini, tanpa adanya kamu di sini pun mereka akan tetap bahagia. Gak ada yang bisa dibanggakan dari diri kamu yang gak berguna ini!" maki Salsa pada dirinya sendiri.

Ia kembali merasa rendah diri dan memaki dirinya yang tidak bisa dibanggakan. Berbagai macam asumsi masuk ke dalam otaknya hingga terdoktrin jika apa yang dikatakan oleh orang tuanya selama ini sangat benar.

"Kalau aku bisa jadi orang yang serba bisa, mungkin papa dan mama gak kayak gini. Kenapa orang-orang di luar sana hidupnya banyak yang bahagia? Kenapa aku gak bisa sama kayak mereka? Aku juga manusia, ada hati yang mudah rapuh dan retak. Tapi kenapa aku gak pernah diperlakukan layaknya manusia?" teriak Salsa.

Kedua tangannya memeluk lutut, sementara kepala ditenggelamkan di lipatan kaki. Ia menangis tersedu-sedu, beruntung kamar ini kedap suara sehingga tidak akan terdengar hingga ke luar. Salsa mencengkeram rambutnya, lalu mendongak melihat langit-langit kamar.

Kaki gadis itu menendang udara beberapa kali, setidaknya dengan begitu kekesalan yang sempat hinggap perlahan hilang. "Udah, Sal. Gak boleh cengeng, sekarang waktunya kamu buktiin kalau perkataan mereka salah. Kamu pintar, kamu hebat, dan kamu bisa jalanin semua ini. Semangat!" pekiknya.

Jemari Salsa bergerak menghapus jejak air mata yang mengalir, ia segera masuk ke kamar mandi dan mencuci muka agar lebih segar. Gadis berpiama suneo itu mengambil buku dan belajar sambil mendengarkan lagu agar lebih tentram.

Perlahan, ia mulai relaks dan bisa berpikir jernih untuk memecahkan soal fisika di hadapannya. "Gampang, semuanya mudah. Cukup kerjakan sesuai rumus dan paham dengan langkahnya," ujar gadis itu.

Tangannya bergerak dilincah di atas kertas coretan, sesekali juga melihat ke arah buku catatan untuk melihat benar atau salah cara pengerjaannya. Semangat Salsa seolah sedang terbakar sekarang, ia sadar bukan saatnya untuk terpuruk dan mendengar omongan orang lain termasuk kedua orang tuanya.

Mereka tidak tahu apa-apa, Salsa lebih tahu hidupnya sendiri. Ia mencoba mengubah niat yang selama ini tertanam, meluruskan agar lebih ikhlas menjalani semua ini. "Sal, kamu belajar bukan supaya bisa dibanggakan sama mama dan papa, tapi kamu belajar untuk diri kamu sendiri. Manfaatnya bukan pada mereka, ini untuk masa depan kamu juga," tekadnya.

Sepuluh soal terselesaikan dalam waktu lima belas menit, Salsa tersenyum bangga pada dirinya. Ini merupakan rekor tercepat ia mengerjakan soal fisika, apalagi tadi tingkatan soalnya yang susah. Sebagai apresiasi, gadis itu membuka Youtube dan menonton video hiburan selama lima menit.

"Tapi kayaknya kalau gak ada aku hidup papa dan mama lebih tentram."

"

Oops! Această imagine nu respectă Ghidul de Conținut. Pentru a continua publicarea, te rugăm să înlături imaginea sau să încarci o altă imagine.
Little Things [END]Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum