8. Rebutan

4.4K 954 73
                                    

Hari Senin, begitu selesai mengerjakan soal UAS untuk hari pertama, aku menunggu Sandra di depan ruangan dengan tidak sabaran. Tentu saja untuk menagih pesananku kemarin. Memang sih, Sandra nggak membalas pesan itu. Cuman aku tetap berharap banyak Sandra bakal memenuhinya, mengingat waktu itu dia sudah sepakat.

"Aduh, yang essay nomor lima tadi lo bisa nggak? Asli, gue lupa banget!" keluh Sandra dengan langkah lunglai, menghampiriku.

"Sama, gue juga lupa. Padahal Pak Denny udah sempet kasih clue kalau soal itu bakal keluar pas UAS, cuman lupa nggak gue pelajarin lagi," sahutku.

"Gimana camping-nya?" Aku langsung membuka topik yang sudah kunantikan sejak kemarin.

"Badan gue masih pegel banget deh, harusnya tuh camping kayak gini setelah UAS aja nggak sih? Biar kalo capek tuh istirahatnya bisa lebih lama. Gara-gara gue masih pegel banget, belajarnya jadi asal-asalan banget deh! Nggak tau tuh, ntar dapet berapa," omel Sandra.

Aku langsung mengangguk setuju. Kalau dilakukan setelah UAS kan, aku jadi punya waktu lebih lama untuk membujuk Bunda. "Kenapa nggak habis UAS?"

"Soalnya Arion udah keburu mau balik ke Surabaya habis UAS hari terakhir,"

"Camping-nya dimajuin cuma biar Mas Arion bisa ikut?"

Sandra mengangguk.

Dalam hati aku kembali mencibir. Memangnya orang itu sepenting apa sih? Aku jadi penasaran dengan apa kontribusinya selama camping kemarin. Apakah kalau dia nggak ikut, camping-nya jadi senggak seru itu? Padahal selama rapat panitia OSPEK kemarin, Mas Arion lebih banyak diam di tempatnya. Jarang banget ikut nimbrung dengan keributan teman-temannya. Bahkan di sela istirahat, saat teman-temannya sedang bernyanyi sambil main gitar, Mas Arion nggak mau disuruh nyanyi.

Maksudku, Mas Arion itu bukan tipe orang yang jago menghidupkan suasana seperti Mas Ardo dan Mas Jihan.

"Sumpah, asyik banget kemarin camping-nya! Gue kira kan, kita cuma bakal makan jagung bakar ya pas malem, nggak taunya dibawain pizza banyak banget, sama camilan-camilan gitu."

"Bukannya iuran camping tuh cuma buat beli jagung, sewa tenda sama sleeping bag ya? Makanan disuruh bawa bekal sendiri-sendiri kan?"

"Tadinya iya. Cuman pas udah mau berangkat, di grup camping tuh bilang, nggak usah bawa bekal, soalnya ada donatur yang mau beliin makanan," cerita Sandra dengan penuh semangat.

"Siapa donaturnya?"

"Arion."

Oh, jadi peran Mas Arion memang penting banget, karena dia yang bayarin makanannya? Memangnya setajir apa sih dia, kenapa gayanya selangit gitu?

Sambil menutupi rasa kesalku dengan Mas Arion, aku pun mengalihkan pembicaraan. Soalnya kalau Sandra tahu aku kesal banget sama Mas Arion, dia pasti curiga alasannya apa. Dan aku malas menceritakan kejadian minggu lalu pada Sandra.

"Pesenan gue mana?" todongku.

Kening Sandra mengerut. "Pesenan apa sih?"

"Foto Mas Kev." Aku memelankan suaraku, takut ada orang di sekitar kami ikut mendengarnya.

"Nggak ada," jawab Sandra santai.

Sebetulnya aku sudah bisa menebak sih, dia bakal bilang gitu. Cuman aku tetap berharap Sandra bakal memberikan foto Mas Kev dari dekat.

Melihat tampangku yang nggak percaya, Sandra pun memberikan ponselnya padaku. "Liat aja sendiri kalau nggak percaya!"

Sambil berjalan menuju kantin, aku membuka galeri ponsel Sandra. Memang kebanyakan berisi fotonya bersama Bagas. Ada yang difotoin, dan lebih banyak yang selfie sambil berpelukan. Huh, kenapa sih kisah cinta sohibku bisa semulus ini sedangkan aku justru sebaliknya?

Perfectly Wrong Where stories live. Discover now