𝟐𝟏 ; 𝖍𝖇-𝖓𝖎𝖐𝖎

949 312 56
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Niki mengeratkan pelukannya pada ku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Niki mengeratkan pelukannya pada ku. Badannya sangat kecil, pas berada di dekapan dadaku yang sedikit lebar darinya. Nafasnya mulai tak teratur. Aku terus mendekapnya, agar dia tidak melihat ayah yang memberikan kekerasan pada ibu.

Kami berada di dalam lemari. Namun, aku bisa melihat jelas kedua orang itu bertengkar lewat lubang kunci. Hingga pintu lemari terbuka, melihatkan ibu kami di sana. Menarik tangan mungil Niki agar anak itu keluar dari lemari.

"Niki... Ayo pergi bersama ibu," wanita yang sangat aku kagumi mengelus kepala Niki. Ia berpindah padaku, memelukku dengan erat. "Taki juga ya, ayo pergi."

Aku mengangguk. Menurut saja pada yang tua, membiarkan ibuku menarik tanganku untuk pergi. Tapi Niki tak bergerak. Ia masih berdiri di tempat.

"Aku tidak mau pergi," ucapan Niki membuat ibu kembali mensejajarkan tingginya dengan dia. Menatap mata anaknya penuh harapan.

"Kenapa hm? Ayo pergi bersama ibu, kita ke rumah sakit. Obati lukamu di tangan. Lihat, kalau tidak dibawa ke rumah sakit nanti tangan kamu bisa saja dipotong. Ayo!" Ibu tersenyum bengis untuk menghibur Niki.

Aku melirik lengan Niki yang penuh dengan luka. Bukan goresan horizontal atau vertikal. Tapi goresan yang berbentuk beberapa kata. Aku melihat rumus perkalian di sana.

Niki tetap menggeleng. Hingga ibuku menangis memohon-mohon pada anak itu. Tapi, ayahku yang sedari tadi menyimak segera menjauhkan ibuku dari Niki. Menggeret kasar wanita itu untuk pergi. Ia menjambak rambut hitam ibu yang mulai lepek karena keringatnya ketika tangan sang ibu terus memberontak untuk di tarik.

Aku mulai terbiasa dengan pemandangan ini. Begitupun dengan Niki. Sejak saat itu aku sesekali pergi ke Jepang bersama ibu. Dan sesekali pergi ke korea untuk menjenguk Niki.

Terakhir kali aku melihatnya. Luka ditangan Niki semakin memburuk. Ia terus saja menggores tangannya, mengisi tangan tersebut dengan materi yang sedang diajarkan gurunya. Ada sebesit penyesalan dalam diriku. Sebab diriku lah yang memberikan Niki pena dengan tip pisau. Tapi sungguh, aku hanya ingin dia menulis jawaban ulangan di meja. Karena tahu seberapa abisi ayah pada nilai, melihat Niki yang mempunyai kapasitas otak yang kecil.

Hingga suatu sore aku melihat ia sedang mengotak-ngatik sesuatu di bawah rumah pohon. Aku menghampirinya. Melihat ceceran darah dari balik punggung anak itu. Aku masih belum paham karena kami sama sama masih 9 tahun, tapi bulan depan umurku sudah 10 tahun.

Bugh.

Aku terhuyung kebelakang melihat apa yang sedang Niki lakukan. Dia menoleh, menatapku santai dengan darah yang mengotori bajunya. Kemudian seakan aku hanyalah sehembus angin, ia kembali melanjutkan aksinya — menggores daging kucing yang sudah tak ada kulitnya. Aku melihat kulit berbulu putih tak jauh dari sana.

Lantas karena menganggap tindakan Niki sangat menyeramkan. Aku berlari menjauh, memanggil sang Ayah untuk datang. Karena itulah ayah mengirim Niki ke rumah sakit jiwa untuk anak.

Aku melihat adikku yang menggenggam sel pintu dengan pandangan 'jangan pergi, aku tidak akan mengulanginya lagi'. Tapi keputusan ayah sudah bulat. Aku melepaskan genggaman tangannya pada diriku, berlari ke arah Niki sebelum akhirnya kita akan berpisah.

"Aku akan menjemputmu minggu depan," Niki meraih tanganku sambil menggeleng.

"Tidak, aku tidak mau jauh dari ayah."

Aku menoleh kearah ayah. Niki memang menyayangi ayah apapun kekurangan beliau. "Kita akan bertemu lagi."

Badan ku menjauh menggandeng tangan ayah kembali. Niki berusaha keluar dari ruangan tersebut. Ia berteriak seperti binatang buas.

"TIDAK! TAKI KELUARKAN AKU DARI SINI!! AYAH!! JANGAN TINGGALKAN AKU!!" semakin lama suara itu melebur sesuai dengan jarak aku melangkah menjauh.

Sekiranya baru tiga hari setelahnya ayah membawaku kembali untuk menjenguk Niki. Kebetulan sorenya aku akan dikirim kembali ke Jepang. Jadi perlu satu bulan lagi untuk kembali menemui Niki di rumah sakit.

Aku duduk menjejeri Niki di lantai bawah jendela. Kami berada di dalam bayangan tembok. Ketika sinar matahari menembus masuk di atas. Aku menatap kaki Niki. Anak ini menggores kakinya karena sudah tak ada ruang lagi di tangannya. Hanya segelintir goresan yang berada di kaki. Tak separah yang ditangan.

"Jangan menggores lagi," aku menahan tangan Niki yang mengarahkan pena pada kakinya.

"Taki udah ga peduli lagi sama Niki," aku mendengar keteduhan dalam suara adikku. Lantas diriku melepas kaos warna kuning bergambar tayo yang ku pakai. Duduk membelakangi Niki. Memampangkan punggungku pada anak itu.

"Tunggu apa lagi?"

Niki berkedip. Ia menatap punggungku yang mulus. Kemudian mulai melukis semua pikirannya di sana. Dengan pena tip pisau itu. Sesekali aku meringis, menahan sakit. Tapi tidak menangis.

"Aku mirip siapa?" Tanya Niki tiba-tiba.

Aku berfikir. "Ayah mungkin? Karena aku mirip ibu."

Dia tertawa. "Aku meniru ayah. Dia keren, ditakuti banyak orang."

Responku hanya mengangguk karena masih fokus dengan rasa perih di punggung. "Kalau kamu tidak nyaman dengan perintah ayah, jangan lakukan."

Dia menggeleng dengan cepat, seakan Niki tidak mau ayah mendengarnya. "Tidak! Aku ingin sepertinya."

Ia mulai melantunkan sebuah lagu.

"Im gonna be just like dad... No matter what he say, i can do. I'il follow him, until the day..."

Niki berhenti. Tak ada suara aku melongok kebelakang. Ia juga menghentikan aksi menggoresnya. "Until the day?" Tanyaku penasaran dengan kelanjutannya.

"I can smile at him and say, yes daddy im just like you," kepalanya terangkat dengan sudut bibir yang ia tarik dengan sempurna. Aku mengikuti arah pandangannya, ia menatap ayah di ambang pintu. Mereka saling melempar pandangan dengan arti yang aku tidak mengerti.

— 𝘁 ㅤ𝗯ㅤ 𝗰

much love sun

Stud(y)eath ★ Enhypen [ END✔️ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang