"Nah jika ingin tips pintar, aku tidak memilikinya karena aku belum yakin diriku sudah pintar. Hanya saja, jika ingin dapat nilai baik, yang perlu dilakukan hanyalah belajar dan belajar lagi. Maaf yang nilai MTK-ku kurang baik, aku akan berusaha lebih keras lagi. Maafkan saya ibu.." Aku menoleh dan menunduk ke arah ibu wali kelas yang duduk di kursi guru. Beliau membalasku dengan mengangguk pelan dan senyum merekah.

"Seseorang pernah berkata padaku.." Aku terdiam, menghela napas berat. Mengenang kalimat seseorang. "Pelajar sukses itu bukan yang hanya mendapat penghargaan simbolik seperti ini.." Ucapku sambil mengangkat sedikit tinggi buku raporku. "Tapi pelajar sesungguhnya yaitu orang yang mau belajar. Dimanapun dan kapanpun. Karena baginya semua hal didunia ini adalah ilmu, semua orang adalah Guru dan semua tempat adalah sekolah."

Semua orang terdiam. Masih dengan mata memerhatikanku.

"Karena kita hidup, belajarlah menjalani dengan sebaik-baiknya hidup, agar kelak ketika Tiada, mendapat sebaik-baiknya kematian." Seketika aku tercekat setelah mengatakan itu. Kepalaku sedikit kutundukkan.

Suasana kelas hening. Aku tak percaya mampu mengatakannya. Mungkin karena sering dinasehati seperti itu. Dan bisa jadi karena aku begitu menyukai dan menghormatinya hingga melekat erat dalam pikiran.

"Tetap semangat teman-teman.." Ucapku lagi. Aku memandang mereka semua dengan senyum tipis. "Jika suatu hari nanti kita bertemu, semoga kita masih berteman baik."

Aku menutup pembicaraan dengan salam lantas kembali ke bangku. Mereka semua bertepuk tangan. Ibu walikelas memberiku beberapa pujian dan tambahan, lantas lekas menyelesaikan pembagian Rapor.

Sudah menjadi tradisi, terutama di sekolah kami, tidak pernah diadakan corat-coret seragam saat kelulusan. Kepala sekolah lebih mengutamakan untuk menyedekahkan kepada yang lebih membutuhkan. Daripada dibuang percuma.

Setelah acara salam-salaman dengan semua guru di kantor Guru, aku dan Erika menuju Parkir untuk mengambil sepeda lantas pulang menuju rumah. Kebetulan rumah kami tidak jauh, hanya berbeda gang dan RT. Karena ini kebersamaan pulang sekolah kami yang terakhir, kami memutuskan menuntun sepeda. Tidak menaikinya.

"Ra!" Erika berseru beberapa saat setelah keluar dari gerbang sekolah

"Ada apa?"

"Dapet salam dari pak ketua OSIS!"

"Oh, si Zidan?"

"Iya, katanya 'Sampai jumpa dan semoga bisa ketemu kamu lagi..' "

"Bukannya barusan kita ketemu di parkiran? Kenapa dia tidak bicara langsung padaku?" Alis mataku terangkat.

"Tau sendirilah Ra, Zidan mana berani? Dia naksir kamu udah lama. Cuma kamu nya aja yang Cuek bebek! Dia mana berani deketin cewek pinter dan 'Alim Ulama kayak kamu?"

"Dasar Zidan! Udah ganteng, banyak yang suka, eh luluhnya sama Wanita Es ini!" Lanjut Erika sambil menepuk bahuku. Dia tertawa lebar.

Arif Zidan. Aku mengenalnya sejak MTS.

Saat kami MA, Zidan mengambil jurusan IPS dan ia ketua OSIS angkatan kami. Aku dan Erika di kelas MIPA, sekaligus anggotanya; aku Sekretaris dan Erika Bendahara. Erika dipilih karena kecerdasannya soal Matematika yang sejujurnya belum kukuasai dengan sempurna. Aku mendapatkan nilai 70 saja karena berasal dari buah kesabaran Erika membantuku belajar selama ini.

Terlepas dari ketenaran Zidan, memang banyak yang mengatakan jika ia sudah lama menyukaiku. Entah kapan ia memiliki perasaan itu, aku sebenarnya juga sudah menyadarinya. Sikapnya padaku memang terlihat jelas sejak Mts.

Jika boleh menilai, Zidan seorang teman laki-laki yang baik. Dia bukan anak nakal. Tak pernah sekalipun ia berdeham ataupun menjaili seperti teman-temannya yang satu dua masih saja berulah. Malah Zidan lah yang selalu membantuku ketika diganggu entah itu teman-temannya atau geng wanita di sekolah. Itulah salah satu sebab aku tidak enggan bercakap atau membahas seputar pelajaran ataupun organisasi dengannya. Meskipun malah dia yang terkadang terlihat canggung dan kikuk ketika berbicara atau bertemu denganku.

NAYANIKA ZARA✅Место, где живут истории. Откройте их для себя