(11) Bibit Awal

410 117 6
                                    

"Kenapa kamu tertawa, Ra?" Tanya Nida heran.

Sedari tadi, aku sekuat mungkin menahan tawa di depan dua Kang-kang itu. Setelah meninggalkan serambi Masjid menuju asrama, tawaku tak mampu kutahan lagi.

"Bukan apa-apa Ning, aku hanya ingin tertawa mendengar pesan yang Kang Rasyiq katakan di akhir tadi."

Usai menutup diskusi pertama hari ini, aku mengetahui sisi lain dari sosok Kang Ali Rasyiq. Ternyata dia bukanlah pria hangat seperti yang banyak orang kira. Di setiap pembicaraan tadi, tak sekalipun ia mencairkan suasana diskusi dengan gurauan atau basa-basi. Tidak sekalipun. Malah terlihat pendiam nan serius. Selalu to the point dengan apa yang ingin di katakan.

Malah Kang Wisnu yang terlihat lebih friendly dan pandai mencairkan suasana yang sedari awal sudah membuatku merinding. Jika aku boleh menebak, mungkin Kang Rasyiq memang sedang tidak enak badan, atau mungkin juga karena ia membatasi diri ketika berada dalam forum diskusi yang melibatkan dua orang laki-laki dan perempuan bersamaan. Hanya beberapa kali menanyakan pengalaman dan menguji speak up kami. Selain itu aku dan Nida-lah yang sibuk bertanya. Tapi sungguh, kalimat terakhirnya tadi membuatku terkejut dengan aneh. Antara tak percaya dan ingin tertawa karena bagiku itu lucu.

Kesanku pada pria itu kali ini sangat berbeda ketika Seminar beberapa hari lalu yang terlihat lebih santai dengan gaya bicaranya yang bersahabat. Bahkan disela-sela pemberian materi, Kang itu masih sempat beberapa kali bergurau dengan Kang Wisnu selaku Moderator acara. Mungkin itulah salah satu cara agar banyak yang memahami hal-hal yang ia sampaikan, sedikit dengan guyon juga bertujuan agar audiens tidak merasa bosan.

Tapi tetap saja, melihat perbedaan drastis itu hari ini, terasa amat menarik untuk dibicarakan dengan Aini nanti. Dia pasti sangat antusias.

Dan apa itu tadi? Melibatkan perasaan? Apa ia mengira kami akan Jatuh cinta padanya? Yang benar saja! Itu tidak akan pernah terjadi.

"Terkejut ya?" Nida tersenyum setelah kuberitahu sebab mengapa aku tertawa.

"Kang Rasyiq memang seperti itu, Ra. Sangat jauh dari kata 'hangat' dengan wanita. Terutama pada wanita yang tidak ia kenal."

Aku terhenti setelah mendengar pernyataan Nida. Raut Wajahku berubah, menyiratkan tanda tanya. Bagaimana Ning Nida tahu?

Ia tersenyum. "By the way, aku dan Rasyiq adalah teman dekat."

Mataku melebar "Wah! Benarkah Ning? Pantas saja!"

"Kenapa?"

"Kalian berdua terlihat sudah nyaman satu sama lain!"

"Ada-ada saja kamu, Ra.. Kami hanya berteman."

"Ah masa?"

"Kami saling mengenal sejak kecil karena Dia sering sowan kerumahku bertemu Abi dan Umi."

Kulihat tatapan mata beralih, mengarah ke depan dengan senyuman indah di wajah anggunnya. Seakan pikiran perempuan di sampingku ini sedang mengenang sesuatu di luar sana.

"Apakah kalian seumuran, Ning?"

Dia mengangguk "Kami satu kelas sejak Mts. Dan kamu tau? Di kelas kami hanya ada tiga wanita. Dan aku salah satunya."

Mulutku seketika terkatup. Luar biasa sekali! Lingkungan Pesantren mampu tetap menjaga pergaulan Siswa meski di kelas lebih Dominan Pria daripada wanitanya.

"Pasti seru sekali! Aku bisa membayangkan jika Ning Nida menjadi rebutan kaum adam di kelas itu!"

Nida hanya membalas gurauanku dengan tawa kecil.

NAYANIKA ZARA✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang