(10) Detak Pertama

447 116 15
                                    

"Bagaimana Ra?" Ning Nida berkata halus padaku.

Setelah dari ndalem Abah, aku langsung mencari keberadaan Ning Nida di asrama. Saat ini kami sedang mendiskusikan lomba itu di Aula putri.

"Kalau menurut njenengan bagaimana Ning?" Tanyaku balik.

"Sebenarnya, aku ingin ikut Duta Inggris tahun ini. Tapi kalau mungkin kamu menginginkannya juga, tidak masalah bagiku ikut Duta Arab lagi." Jawabnya ramah.

Kami berdua sudah tidak lagi canggung setelah berbincang selama setengah jam. Aku dan Ning Nida saling menyesuaikan diri satu sama lain. Kupikir aku salah menilainya, ternyata perempuan ini sangat santun dengan orang yang baru ia kenal. Ada banyak sekali pertanyaan yang kuajukan, baik tentang dirinya, tentang pengalaman-pengalamannya, terutama dalam perlombaan Duta ini. Ini pertama kalinya aku berbicara panjang lebar dengan seorang putri Kiai besar.

Nida memang semenakjubkan yang orang-orang katakan. Wajah dan sikapnya santun ditambah dengan suaranya yang sangat halus dan kalem. Pemikirannya cerdas, bahkan mahir dalam bidang Arab-Inggris sekaligus. Aku tidak tahu ini hanya perasaanku saja atau memang benar- kulihat wajahnya memancarkan aura yang kuat. Dia memang tidak seceria Aini, tapi aku menyukai sikapnya yang begitu hati-hati dan tidak serampangan. Mungkin begitulah cara ia menjaga marwahnya sebagai seorang putri Kiai. Sudah pasti kelak dia akan mendapat estafet Pesantren.

Beberapa saat lalu, Ning Nida menawarkan dirinya mengikuti Duta Arab jika aku menginginkan Duta Inggris yang sebenarnya dia inginkan. Aku mendengar ceritanya dengan seksama jika sudah beberapa tahun berturut-turut ia mengikuti Duta Arab. Pengurus pondok belum menemukan santri yang kemampuan berbahasa Arab sebaik Ning Nida. Hatiku tersentuh, perempuan ini sangat amat baik. Merelakan keinginannya demi aku. Padahal kami baru saja saling mengenal.

Setelah berpikir panjang, aku menggeleng pelan. "Tidak Ning. Biarkan aku saja yang mengikuti Duta Arabnya. Ning bisa memilih yang njenengan inginkan."

Dia sedikit terkejut. "Kamu yakin?"

Aku mengangguk mantap sambil tersenyum "Sangat yakin!"

Wajah Ning Nida berangsur menunjukkan raut senang. "Baiklah Ra, terima kasih banyak!"

Setelah beberapa waktu kami habiskan dengan mencatat beberapa materi lomba. Merasa sudah tak ada lagi yang kami bahas, Ning Nida mengusaikan diskusi. Tapi sebelum aku beranjak pergi, dia mengingatkanku sesuatu.

"Besok pagi setelah ngaos Abah, bersiaplah dengan membawa persediaan alat tulis, Ra."

"Untuk apa?"

"Kita akan latihan dengan pembimbing sekaligus penanggung jawab lomba ini." Pesan Ning Nida sambil melambaikan tangan, kali ini ia tersenyum cerah.

Dahiku mengerut. Mengetahui fakta baru jika kami memiliki pembimbing lomba.

"Siapa?"


***

Pertanyaanku terjawab keesokan harinya.

Hari pertama, kami memilih lokasi latihan di serambi Masjid At-Tibyan. Sengaja memilih tempat yang tidak sepi agar tidak menimbulkan fitnah santri manapun, karena kudengar pembimbing kami adalah Kang-Kang pondok. Tentu saja pertemuan ini akan menimbulkan kecurigaan warga Pondok jika kami tidak berhati-hati.

Aku tidak percaya ketika menyadari siapa yang akan melatih kami. Lihatlah siapa yang datang! Itu Kang pondok yang kemarin menjadi Moderator Seminar beberapa malam lalu! Entah siapa namanya..

Dan mataku semakin terbelalak melihat seseorang lain bersamanya.

Kang Ali Rasyiq!

Tubuhku semakin gemetar, sepertinya karena ini pertama kalinya aku mengikuti lomba mewakili pesantren bersama seorang Ning. Dan sekaligus dibimbing oleh pelatih yang hebat-hebat pula.

NAYANIKA ZARA✅Where stories live. Discover now