(12) Serpihan Zara

408 110 11
                                    

Sebenarnya, bukan hanya Ning Nida saja.

Aku juga sudah lama mengenal Kang Rasyiq. Tetapi tidak berujung teman baik seperti mereka berdua. Ini hubungan masa lalu yang berbeda alur.

Dulu, ketika bapak masih ada, beliau pernah sesekali menceritakan seorang teman. Lebih tepatnya seorang sahabat. Sahabat dekat bapak semasa nyantri dengan simbah Kiai Muntaha.

"Kami berteman baik sampai saat ini. Dulu, beliau juga salah satu santri abdi ndalem. Sama seperti bapakmu ini."

Aku masih Sekolah Dasar saat itu. Namun telingaku masih kuusahakan mendengar pengenalan itu dengan baik meskipun saat itu aku tidak terlalu peduli.

Bapak bernostalgia, menceritakan banyak hal dan ilmu semasa nyantri. Juga menceritakan ketawadukan temannya itu saat bersama dengan Abah yai maupun dengan teman-temannya. Kerendahan hati beliau bahkan membuat bapak terkagum. Tak hanya karena perilaku atau akhlak mulianya, namun juga sahabat bapak itu ternyata memiliki latar belakang garis keturunan yang sangat langka. Beliau adalah keturunan Muhammed Fatih Asghar Ali, seorang Ulama besar di Turki.

Bapak sebagai teman, sangat menghormati beliau. Hingga akhir hayat bapak.

Di suatu hari yang cerah beberapa tahun lalu, seingatku pada saat peringatan Isra' Mi'raj, bapak memintaku menemaninya mengikuti pengajian di MAJT —Masjid Agung Jawa tengah Semarang. Masjid itu berjarak lumayan jauh dari desaku. Kami harus tiga kali menaiki angkutan Umum.

Disanalah aku bertemu teman yang pernah bapak ceritakan.

Kala itu umurku 10 tahun. Kelas 5 SD. Beruntung saat pertemuan itu aku sudah bisa mengingat dan mengenal seseorang, Terutama teman bapak itu. Kudengar rumah beliau tidak terlalu jauh dari Masjid. Itu artinya kediaman beliau terletak di wilayah ini.

Pertama berjumpa di pelataran— entah janjian atau kebetulan, beliau berdua bertemu dan langsung berbincang-bincang lama. Entah apa yang mereka obrolkan hingga bapak bisa tertawa renyah. Berkali-kali aku memerhatikan bapak yang terlihat antusias bertemu dengan teman lamanya itu. Hingga mungkin melupakanku, anaknya sendiri.

Di usia labilku saat itu, aku tidak tahu sekaligus tidak peduli dengan pembicaraan orang tua yang pasti membosankan. Akhirnya aku berjalan-jalan di sekitar masjid mengisi waktu bosan.

Sebelumnya, aku sempat menyadari jika teman bapak juga membawa seseorang, yang ternyata putra tunggalnya.

Sebenarnya, aku ingin mengajak bermain anak laki-laki teman bapak itu. Kebetulan juga memang sikap tomboy-ku masih melekat erat di usia itu. Aku belum membatasi pergaulan.

Tetapi aku enggan karena dia terlihat sudah dewasa. Mungkin terpaut empat atau lima tahun di atasku. Sepertinya dia kelas akhir SMP atau awal SMA. Perawakannya tinggi dan juga terlihat pendiam dan tenang, tidak sepertiku yang masih banyak tingkah.

Dengan penilaian sesaat itulah, membuatku mengabaikannya. Melihat dari usianya, sepertinya ia sudah tidak tertarik bermain-main dengan gadis SD sepertiku. Dan jujur saja, laki-laki dengan tatapan dingin itu terlihat bukan teman main yang menyenangkan.

Aku jatuh tersungkur ketika berlarian di pelataran Masjid. Tingkahku memang sangat ceroboh. Syukurlah aku tidak terjatuh di depan bapak dan temannya. Pasti akan sangat memalukan.

Aku meringis kesakitan karena lututku terasa sakit setelah terbentur lantai keramik. Untung saja aku memakai celana tebal dan baju panjang, setidaknya bisa mengurangi memar luka sebab benturan. Saat berusaha bangkit, aku menyadari ada seseorang yang berjalan mendekat. Kepalaku mendongak. Sebuah tangan terulur untukku.

Beberapa kali mengerjapkan mata memastikan, Seketika aku tersentak kaget, dia adalah anak laki-laki itu! Putra teman bapak. Laki-laki yang entah siapa namanya menawarkan tangan guna membantuku berdiri.

NAYANIKA ZARA✅Where stories live. Discover now