(4) Keputusan

547 143 16
                                    

Saat merenung lebih dalam, timbul pertanyaan: apa saja objek yang harus kita baca? Dengan apa kita membaca? Bagaimana cara kita membaca dengan benar, atau apa jaminan bahwa cara kita membaca sudah benar sesuai kehendak-Nya? Manfaat apa yang sesungguhnya perlu kita peroleh dari bacaan itu?

Benar.

Membaca takdir.

Secara umum, manfaat apa yang sesungguhnya dikehendaki oleh Allah sehingga Dia memerintahkan kita untuk "membaca" saat diri ini menjalankan kehidupan dunia? Dan apabila merasa memperoleh manfaatnya, apakah hasil pembacaan dan manfaat itu memperoleh keridhaan-Nya?

Semua yang ditakdirkan akan tetap terjadi.. Kehidupanku tetap berjalan meski bapak— manusia yang menjadi detak jantung dan nafasku— tiada. Dan hari setelah kelulusan ini, aku harus tetap berjalan langkah demi langkah.

Karena 'Berani menjadi lebih baik', adalah ajaran bapak kami selama ini.

"Tadi kenapa makan cuma sedikit, nduk?" Tanya ibu. Suara lembutnya memecah keheningan meja makan.

"Hehe, ngga terlalu selera makan, buk. Tapi Zara ndak sakit kok." Jawabku akhirnya, Memilih alasan yang tidak mencurigakan.

"Kata Farhan tadi nangis? Kenapa?"

Tuh kan! Farhan memang pengadu! Kulirik Bocah itu diujung meja makan yang saat ini tengah tertawa. Aku juga heran mulut pengadunya itu nitis dari siapa. Untung dia masih SD, bisa kumaklumi.

"Kayaknya karena pisah sama pacarnya itu lho, Buk.. Si ketua OSIS yang sering nggarap tugas disini itu.." Kak Zula menyahut, mencoba menggodaku dengan tawa menyebalkannya.

Aku mendelik "Hei kak, pacaran bukan gayaku!"

Setelah menyelesaikan makan malam yang menyenangkan bersama-sama, kuberanikan diri memulai pembicaraan."Bu, aku ingin mengatakan suatu hal.."

Semua terdiam, menatapku heran.

Aku menghela napas pelan. Kedua mataku yang terbalut Kacamata bening melirik kursi kosong disamping ibu. Benar, itu adalah kursi yang biasa ditempati bapak ketika kami makan bersama dulu. Sebenarnya aku dan kakakku berinisiatif memindahkannya agar ibu tidak sedih melihat kursi itu. Tetapi beliau melarang, ingin kursi itu tetap disana agar kami bisa sewaktu-waktu mengenang sosok bapak.

Mataku berkaca-kaca. Sungguh, mengenang seseorang yang telah tiada sangatlah menyedihkan.

"Aku ingin melanjutkan belajar di Pondok Pesantren, Buk.." Akhirnya kalimat itu berhasil kuungkapkan setelah sekian lama terpendam.

"Kenapa nduk? Disekolah sudah ada mata pelajaran Agama, kan? Dulu juga sering diajarkan bapak?" Pertanyaan pertama yang ibu beri.

"Nilai ujian Agama mu juga bagus, Zar. Paling tinggi satu angkatan malah.." Kak Zula menambahkan.

"Mbak ara juga sudah pinter ngaji.." Adikku ikut-ikutan bicara. Dia bilang begitu karena akulah yang menggantikan mengajarkannya mengaji sepeninggal bapak.

"Mau mondok dimana? Pondok jauh? Jawa timur?" Ibu bertanya lagi.

Aku tersenyum tipis. Aku tahu, semua terlihat kurang setuju bukan karena tidak suka pesantren. Ibu memang bukan santri, beliau dari keluarga sederhana didesa ini. Tetapi kakek dari ibu sangat ketat soal Agama. Ibu menikah dengan bapak yang lulusan Pesantren. Tentu ibu sangat mengetahui kelebihan dan keistimewaan seorang santri. Sebenarnya juga Bapak menawarkan mondok sejak dulu, tapi aku menolak. Aku merasa ajaran agama dan ilmu dari bapak sudah cukup.

Jika ditanya mengapa aku tidak mondok sejak SD/Mts? Itu karena aku tidak mau berpisah dengan ibu. Dan tak sanggup berjauhan dengannya.

Jika memutuskan pergi, rumah ini akan semakin sepi. Semenjak bapak tiada, keluarga kami tersisa 4 orang. Jika aku mondok, pasti akan lebih sepi lagi. Karena nyantri itu harus menetap dan membutuhkan waktu lama. Aku tahu itu dan sudah memikirkannya sejak lama. Tak terhitung sudah berapa kali aku istikhoroh untuk keputusan ini hingga merasa yakin.

"Aku ingin mengambil program Huffadz bu. Di Pondok dekat Kota, Pesantrennya Kiai Amar."

Semua terdiam. Seakan terkejut karena aku belum pernah menyinggung soal ini sebelumnya. Pesantren yang kusebut adalah pesantren ketika bapak nyantri dulu. Tempatnya tak jauh dari desa ini, Memerlukan sekitar waktu 15 Menit jika menggunakan angkutan umum. Aku memilih Pesantren terdekat agar sewaktu-waktu bisa menjenguk ibu di rumah.

"Sewaktu bapak mengajakku mengikuti pengajian, bapak pernah mengatakan jika seorang Penghafal Al-Qur'an itu mulia disisi Allah.." Aku mulai memberikan alasan mengapa aku berminat dalam hal ini.

"Aku bertanya pada bapak, 'Apa bapak ingin anak-anaknya hafal Qur'an? Lalu bapak menjawab 'Aku tidak memaksa anak-anakku harus mondok atau hafal Qur'an jika memang tidak mau, tidak masalah, yang penting mengerti agama dan bertaqwa. Tapi jika memang ada anakku yang dengan senang hati mondok bahkan menghafal Al-Qur'an, tentu saja aku akan sangat senang.."

Aku mengingat saat bapak mengatakan itu dengan mata berbinar-binar. Wajah beliau terlihat senang.

Kuamati wajah ibu yang masih menatapku setelah usai bercerita. Aku tahu Ibu mendengarkan dengan baik. Sepertinya beliau seperti sudah memahami ini.

Beberapa jam berlalu dan Ibu masih menanyakan tentang rencana-rencanaku. Syukurlah semua terjawab dengan mantap dan matang. Tetapi aku tidak ingin memaksakan kehendak. Ibu mendengarkan keinginanku yang takkan pernah pergi jika beliau melarang, berkata dengan segenap hati bahwa menerima semua keputusan dan titah lahir batin.

Mata ibu berkaca-kaca. Mungkin beliau masih takut melepasku. Tetapi karena ini menyangkut bapak dan aku juga diam-diam tahu bahwa ibu sebenarnya menginginkan aku nyantri seperti bapak dulu, akhirnya setelah diskusi panjang, ibuku mengizinkan. Kak Zula dan Farhan sedikit keberatan berpisah denganku, tetapi akhirnya menurut.

Kupeluk ibu erat, terharu karena melihat beliau sekuat mungkin merelakan putrinya menuntut ilmu dan pergi sementara waktu dari rumah. Aku tidak tahu apakah beliau sedih atau bahagia untuk ini, Ibu menangis tetapi juga tersenyum begitu cerah.

Malam ini juga, aku tahu takdir telah menyambutku hangat. Mungkin di langit sana, ada sebuah rencana yang sudah disiapkan untukku karena doa ibu yang tak hentinya mengalir.

***

Aku duduk bersimpuh di atas sajadah, Menunaikan salat dan zikir panjang. Jam dinding menunjukkan pukul 02.35 Tengah malam. Pagi ini nanti adalah hari keberangkatanku ke Pondok Pesantren. Tempat yang akan menjadi rumah keduaku. Tempat mengabdikan diriku seutuhnya.

Banyak yang ku adukan kepada Allah, Banyak yang aku pinta. Pun banyak harapan harapan yang kusemogakan untuk ruang dan waktu yang akan kusinggahi dalam waktu yang cukup lama di lembaran kehidupan yang sudah kupilih ini.

Lagi-lagi air mata membasahi telapak tanganku yang tengah menengadah. Tenggorokanku tercekat karena permohonanku begitu banyak. Aku menunduk dalam, menangis tanpa suara.

Ya-Rabb.. Semoga engkau mau mendengar doa hamba pendosa ini..

Aku lelah..
Sepertinya karena aku jauh dari-Mu selama ini Ya-Rabb.. Aku ingin kembali.. Aku ingin pulang..

Aku sudah patah..
Patah, yang aku tak tahu cara memperbaikinya.
Sakit, yang aku juga tak tahu obatnya.
Biidznillah, semua hanya soal waktu. Engkau tahu aku bisa melaluinya..

Jika nanti aku akan patah lagi, kuharap kepatahanku bisa membuatku lebih dekat dengan-Mu Ya-Allah..

Jika engkau meridhoi jalanku..
Aku pasti akan baik-baik saja..


TO BE CONTINUED


NAYANIKA ZARA✅Where stories live. Discover now