(8) Menikmati Hidup

412 120 8
                                    

Mengaji dan mengaji lagi.

Sebuah kegiatan monoton yang sudah lumrah santri lakukan. Bahkan ada yang mengatakan bahwa kegiatan itu bersifat 'Fardhu ain' untuk menjalani peran sebagai seorang santri disebuah Pondok Pesantren. Apalagi Pesantren berbasis Al-Qur'an. Bagiku, dinding Pesantren memang berbeda dengan sekolah umum di luar sana. Karena disini, 80% kegiatan sehari-hari bersifat keagamaan.

Ada pula kajian kitab kuning yang di jadwalkan setiap ba'da salat Maghrib di Pesantren kami. Selain waktu tersebut diisi dengan setoran hafalan Al-Qur'an. Program utama Tahfidz inilah yang membuat Pondok Pesantren Darul Qur'an selalu terdengar lantunan ayat suci 24 jam nonstop.

Setelah menginjakkan kaki di kehidupan pesantren ini, aku mulai menyadari bahwa jagad agama Islam sangatlah panjang nan luas. Yang kukira sudah mengetahui banyak hal dan mumpuni, ternyata di Pesantren aku belum ada apa-apanya.

"Dalam mendalami agama dan kehidupan, ada Tarbiyah dan Ta'lim, belajar dan mengajarkan. Misalnya, memberi banyak tugas belajar Al-Qur'an, maka pemaknaan dan penerapannya harus butuh lebih banyak ajaran dan contoh, terutama pada aspek rohaninya. Terlebih rohani dalam agama islam adalah kategori pelajaran agama yang sering dikaitkan dengan Sisi Ihsan dan Akhlak." Itulah yang sering kudengar dari guru ngajiku di Madrasah.

Menapaki lingkungan agamis, mendapat teman yang secara ilmu dan adab lebih baik, mengenal Guru dan pengasuh Pesantren yang memiliki unggah-ungguh luar biasa mulia, adalah beberapa pemandangan langka yang sulit untuk kujabarkan rasa syukurnya.

Berjalan disini, sudah banyak yang aku temukan, kurenungkan dan yang kupelajari. Aku pun semakin paham mengapa dulu bapak dan kakek sangat keras jika mengenai ibadah dan mengaji, Mengapa kedua orangtua sangat mengharapkan anak-anaknya mematuhi agama. Kurasa, disinilah tempat yang tepat untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan hidup yang belum sepenuhnya kumengerti.

Meskipun banyak perbedaan antara dinding Pesantren dan dunia luar, aku tetap sama dalam menjalankan peranku, seperti yang diajarkan bapak dulu.

Saat SD hingga MA, aku selalu diberi pertanyaan oleh teman-temanku tips mencapai juara kelas. Namun jawabanku tetap sama, yakni belajar dan belajar lagi. Jika masih ada yang bertanya bahan bakar apa yang kumiliki agar tetap bersemangat? Maka jawabanku adalah karena aku menjiwai peran pelajarku. Tentu dengan mewujudkan Visi dan Misi sekolah, lalu berusaha sebaik mungkin mencapainya.

Seseorang itu harus bisa mencapai Visi Misi dari tempat yang ia singgahi... Begitulah yang selama ini kudengar dari bapak. Dengan semua dorongan dan dukungan bapak dan ibu, aku berhasil mengindahkan nasehat itu. Juga menjadikannya sebagai prinsipku hingga saat ini.

Jangan pernah mengira aku tidak pernah mencicipi rasa pahit dalam hidup. Aku juga manusia biasa yang rentan gagal dan terpuruk. Saat Aliyah, semangatku menurun. Ya, saat aku menerima kenyataan itu.

Kehilangan bapak.

Prestasiku turun. Nilaiku hanya beberapa saja yang tertulis A. Seorang Zara yang disebut-sebut selalu mendapat peringkat 1, turun menjadi peringkat 7. Beberapa kali kalah dalam perlombaan Sains maupun Olahraga. Saat itu aku merasa seperti tumpukan kayu bakar yang berangsur meredup apinya. Tiada gairah menyala ataupun berkobar. Karena itulah, membuatku lupa untuk mengindahkan semua nasehat. Nasehat yang sejatinya sudah melekat erat padaku.

"Semua hanyalah titipan, nduk.."

"Jika tiba-tiba diambil pemiliknya, kita harus ikhlas.. Harus siap."

Ibu selalu mengingatkan itu pada anak-anaknya. Melihat beliau sekuat mungkin demi putra putrinya.

Aku tahu. Keterpurukanku bukan karena tidak ikhlas, hanya saja lahir dan batinku belum kokoh untuk menerima semua ketetapan itu. Dan juga, sejak kecil, bapak tak pernah sekalipun mengajarkanku untuk tidak terpuruk ketika kehilangan dirinya. Aku tidak tahu cara agar merasa baik, lebih tepatnya baik-baik saja.

Sekarang, terkadang ada pertanyaan lain: seberapa sering kita berinteraksi dengan diri sendiri dan seberapa kuat berusaha mengenali diri sendiri? saat belajar pada sisi lahir, kita tahu bahwa manusia itu begini dan begitu: ada akal, pikiran, perasaan, hawa nafsu, sifat, dan seterusnya. Pada diri manusia juga ada niat, kehendak, kemauan, kegembiraan, kesedihan, amarah, kepuasan, dan seterusnya.

Mungkin pada awalnya kita belajar mengenal diri sendiri melalui pemikiran tentang pengalaman orang lain. Seiring waktu, kita mungkin mulai menyusun konsep tentang diri sendiri, sehingga kadang kita menolak definisi atau anggapan yang diberikan orang lain. Tetapi jika mengandalkan diri sendiri, akan tetap ada rincian yang sangat mungkin luput dari kesadaran. Atau bahkan menciptakan kesalah pahaman fatal pada diri sendiri,

Lalu apa?

Anggap saja darah spiritual dari bapak adalah lentera. Lentera temaram yang kini menuntunku pada sebuah Pondok Pesantren. Danau kehidupan yang menjadi tempat menyelami sisi terdalam diriku untuk terus mempersiapkan menuju finish dari semua finish.

Dan disinilah aku berada saat ini. Mulai melangkah dan berjalan lagi dengan harapan-harapan yang kususun menjadi sebuah impian. Mulai menikmati kembali keseharianku dengan senang hati seperti dulu. Bergaul dan belajar dengan teman-teman yang baik. Menaati peraturan Pesantren dengan sukarela. Berusaha mencapai Visi Misi Pondok dengan sebaik-baiknya. Mengabdikan diriku untuk Abah dan Ummik dan meneladani akhlak beliau.

Begitulah waktu terus berjalan. Hari berganti. Tahun pula berganti. Dan hidupku masih sama. Waktu berputar merajut takdir yang kutahu telah memilihku.

Aku bagaikan air mengalir. Mengikuti arus dan keinginanku bersama prinsip dan nasehat dari orangtua. Duniaku adalah milik mereka. Aku tidak akan memilih hidup yang sia-sia.

Bersama semua itu, terkadang pikiranku melayang. Apakah masih ada kisah lain untukku setelah ini?

TO BE CONTINUED

***

Jangan lupa komen dan vote nya ❤

NAYANIKA ZARA✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang