(17) Pemeran Utama

385 99 16
                                    

Pria itu menatapku dengan wajah datar seperti tadi.

Apa katanya?

"Anak kecil tadi belum berterimakasih, aku akan mewakilinya." Ucap Kang Rasyiq dengan suara serak khasnya. Aku sedikit terkejut beberapa saat ketika ia tiba-tiba mengatakannya tadi.

Aku mengangguk kikuk, sebagai respek padanya. Apa aku tadi salah dengar? Mulutku nyaris terbuka untuk bertanya memastikan apa ia benar memanggil nama kecilku atau tidak.

Tiinn.. Tiin...Tiin..

Suara klakson mobil membuatku tersentak kaget. Membungkam pertanyaan yang hampir kuucapkan. Klakson terdengar keras dan dibunyikan berkali-kali dari seberang jalan. Ternyata suara itu dari klakson mobil kami yang saat ini sedang berhenti didepan halte.

Kang Wisnu yang duduk di kursi kemudi melambaikan tangan, meminta kami berdua untuk segera kembali. Lalu mataku beralih pada kaca jendela belakang yang berangsur terbuka.

Aku menelan ludah. Nida sudah disana sambil mengamatiku. Entah mengapa kali ini perasaanku tidak enak. Tanpa babibu aku berjalan cepat menuju mobil tanpa melihat sedikitpun Kang Rasyiq yang sedang bersamaku.

Setelah masuk dan duduk di kursi belakang, aku menoleh ke Nida. Dia hanya menyambutku dengan senyum tipis. Lalu ketika aku akan membuka suara untuk mengatakan sesuatu, dia tak lagi menatapku. Matanya beralih memandang piala besar dipangkuannya. Raut wajahnya berubah. Seakan..

Sedih? Apakah itu wajah sedihnya?

Dadaku semakin bergemuruh. Aku ingin menepuk bahunya lalu bertanya. Namun sepertinya ia sedang butuh waktu sendiri saat ini.

***

Nida Salwa

Sejak dulu disela pengajian Abi, beliau selalu mengatakan jika setiap manusia pasti memiliki kehormatan. Tidak memandang muda atau tua, kaya atau miskin, pria ataupun wanita.

Itulah sebabnya Abi tak pernah mengajarkanku tinggi hati meski aku seorang putri Kiai.

Lalu Umi-ku menambahkan, jika semua wanita itu ibarat Mahkota. Sedangkan kehormatan seorang wanita laksana Berlian pada mahkota itu. Memang kecil, namun sangat berharga. Sesuatu yang harus dijaga dengan segenap hati, segenap jiwa. Selama nafas masih bersama raga.

Selama hidupku di Pesantren, berkali-kali kudengar ini "Dunia adalah perhiasan. Dan sebaik-baiknya perhiasan adalah wanita sholihah."

Aku yakin hampir semua orang pernah mendengar Maqolah itu. Mungkin dari situ pula wanita diseluruh muka bumi ini berbondong-bondong mencapainya. Berlomba-lomba menjadi sebaik-baiknya wanita.

Sholihah bukanlah sebuah gelar yang dengan suka hati di perlihatkan pada manusia dan dunia. Namun makna bagiku, sholihah ialah suatu bentuk keselarasan hati, pikiran dan perbuatan untuk berbuat kebaikan. Hanya saja terkadang, aku menyesal ketika tidak mengindahkannya dan malah terbuai dengan kelalaian.

Bertahun-tahun menjalani peran sebagai seorang Ning, Aku semakin menyadari bahwa tanggung jawabku begitu besar. Apalagi mengingat hidupku yang kujalani tidak hanya untukku saja. Lebih dari itu. Lebih dari yang semua orang tahu.

Pesantren sekaligus tanah kelahiran yang didirikan oleh kakek-kakekku adalah sebuah titipan sekaligus anugerah. Dan tentu saja, kami sebagai dzuriyyah pasti berusaha sekuat mungkin menjaganya.

NAYANIKA ZARA✅Where stories live. Discover now