(1) Namaku Zara

1.2K 184 39
                                    

DUA TAHUN SEBELUMNYA..

Jika nanti aku pergi, jangan menangisiku terlalu berlebihan..

Kepalaku mendongak ke langit, mengamati gumpalan awan mendung yang terlihat abu-abu. Tiada suara kicauan burung di cuaca seperti ini- semua kembali ke sarang masing-masing. Pun tiada suara ramai anak-anak- semua kembali ke rumah masing-masing. Sore ini hanya menyisakan angin yang berhembus di sela-sela hujan, menimbulkan suara riuh dari atap masjid. Aku berdiri termangu di depan jendela menikmati sensasi itu.

Jika nanti aku pergi, nak..

Aku terdiam dengan hati yang mulai terasa nyeri. Suara itu seolah menggema di langit serupa petir menggelegar. Kacamata bening yang ku pakai berembun karena menahan tangis.

Tunggu, aku merasa ada yang sedang mengamatiku. Aku menoleh.

"Mbak Ustajah melamun?"

Ya-Allah, anak ini. Sejak kapan ia disini? Ini sudah setengah 5 sore. Masjid sudah sepi. Apa dia menungguku?

"Mbak lagi lihat hujan, Faiz. Mungkin kelihatan melamun ya, hehe.." Aku mulai mendekatinya yang sedang duduk disamping pintu. Anak laki-laki ini, Faiz namanya. Anak tetangga rumahku. Seringkali ia pulang bersamaku sepulang salat berjamaah. Aku sempat heran mengapa ia tidak mau pulang sendiri padahal rumah kami sama-sama dekat dari masjid. Entahlah, anak-anak selalu ada saja ulahnya.

"Tadi habis Salat Ashar, Faiz nunggu Mbak Ustajah. Terus ngintip dari Satir dan ternyata Mbak lagi duduk lama banget gak bangkit-bangkit. Waktu itu sih ibu pernah bilang kalau duduk sambil komat-kamit itu namanya Jikiran.."

Aku tersenyum. "Zikiran Faiz, make Z bukan make J."

"Eh iya itu maksudnya." Dia meringis menampakkan gigi-gigi kecilnya. Faiz memang sudah kelas 3 SD. Tapi bicaranya memang masih Cadel. Ibunya pernah bercerita jika Faiz masih sulit bicara jelas. Saat aku menyimaknya mengaji, ku akui cara baca huruf Hijaiah-nya masih sulit. Meski begitu, kudengar dia selalu bersemangat belajar, baik sekolah maupun mengaji.

"Faiz mau pulang, tapi ngga jadi karena lihat Mbak Ustajah sendirian. Ngga ada temen.."

"Wah baik sekali.. " Pujiku padanya sambil tersenyum. "Zikiran yang tadi duduk lama ngga bangkit-bangkit itu salah satu gunanya biar menjaga agar tetap aman. Jadi Faiz tidak perlu khawatir, oke?"

Aku tersenyum lagi ketika melihatnya mengangguk-angguk seolah paham. Sejak dulu aku menyukai anak-anak. Sangat menyenangkan menghabiskan waktu bersama mereka. Dan akan lebih menyenangkan jika anak-anak menyukai kita.

Aku tergelak ketika mereka memanggilku Ustajah. Aku tahu itu sebutan seorang Guru atau Ustazah. Tapi jujur saja, panggilan itu terlalu berlebihan untukku yang masih duduk di usia sekolah, meskipun memang benar aku mengajar mengaji anak-anak. Akhirnya ku maklumi karena wilayah pedesaan. Mungkin anak desa sudah terbiasa menyebut pengajar mereka dengan sebutan demikian.

Faiz memintaku mengajarkannya mengaji sebenarnya, tapi karena cuaca sedang hujan deras beserta angin kencang, lebih baik bergegas kuantar ia pulang. Karena tidak membawa payung, kututupi kepalanya dengan Sajadah untuk mencegah air hujan mengenai kepalanya.

Sesampai kami berdua di rumahnya, Faiz terlihat senang dan langsung berteriak dari depan pintu memanggil ibunya. Setiap pulang bersamaku anak kecil ini selalu begitu, terlihat senang.

Aku berlarian kecil menuju rumahku setelah bersalaman dengan ibunya yang sempat meminta maaf dan berterima kasih. Aku hanya tersenyum sungkan dan menjawab tidak keberatan karena merasa tingkahnya tidak merepotkan.

Rumahku memang tidak besar, dibangun dengan kayu Jati dan di desain seperti rumah adat. Dulu bapak lah Arsiteknya. Beliau begitu ingin memiliki rumah seperti kediaman Kakek-Nenekku yang memang sangat menyukai tradisi Jawa. Keluargaku juga menyukai wayang hingga hafal setiap lakonnya. Kami selaku Anak-anak bapak selalu di ceritakan dari kecil hingga saat ini menjadi sebuah wawasan dan pengetahuan yang menarik.

NAYANIKA ZARA✅Where stories live. Discover now