(18) Di Mulai

355 98 16
                                    

  

Hari ini matahari menyingsing tepat di atas kepala. Angin hangat yang tercipta berhasil membuat gerah manusia-manusia lebel santri beraktivitas.

Hanya saja di cuaca kali ini, ada satu pemandangan di tengah komplek asrama yang jauh lebih menarik di perbincangkan. Disana, terdapat Pemandangan tak lazim yang semua mata sukses memandangnya awas.

Pernahkah kalian mendengar istilah 'Hitam tidak selalu kotor dan putih tak selalu bersih?'

Jika iya, aku ingin membacakan sebuah puisi karya cendekiawan terkenal bernama Emha Ainun Najib. Kurang lebih begini;

Maha anggun Tuhan yang menciptakan hanya kebaikan
Maha agung ia yang mustahil menganugerahkan keburukan

Apakah yang menyelubungi kehidupan ini selain cahaya
Kegelapan hanyalah ketika taburan cahaya tak diterima

Kecuali kesucian tidaklah Tuhan berikan kepada kita
Kotoran adalah kesucian yang hakikatnya tak dipelihara

Katakan kepadaku adakah neraka itu kufur dan durhaka
Sedang bagi keadilan hukum ia menyediakan dirinya

Ke mana pun memandang yang tampak ialah kebenaran
Kebatilan hanyalah kebenaran yang tak diberi ruang

Maha anggun Tuhan yang menciptakan hanya kebaikan
Suapi ia makanan agar tak lapar dan berwajah keburukan

Tuhan kekasihku tak mengajari apa pun kecuali cinta
Kebencian tak ada kecuali cinta kau lukai hatinya

Mungkin, seperti puisi itulah gambarannya.

Disisi lain Pesantren dengan segudang kebaikan dan kemuliaan, tidak bisa menutupi sudut sisi kehidupan lain yang sudah menjadi garis takdir semesta. Mungkin beginilah jagad raya diciptakan, ada ganjil maka ada genap. Ada putih maka ada hitam. Ada kebaikan ada pula keburukan.

Seperti halnya negara dan lingkungan masyarakat manapun, Pesantren pasti juga memiliki peraturan dan norma yang berlaku. Dan ketika peraturan tidak dipatuhi, maka harus di tertibkan. Jika rusak, maka harus diperbaiki. Jika salah, harus dibenarkan. Jika melanggar maka harus dihukum. Semua manusia pun juga seperti itu. Hingga akhir. Hingga kelak di hari hisab dan hari pembalasan.

Perihal hukuman, sudah biasa di jumpai santri di semua pelosok Pesantren. Memang benar jika tidak semua hukuman ditafsirkan buruk. Hukuman bisa di lain wujudkan sebagai sikap tanggung jawab.

Setiap Pondok Pesantren memiliki jenis-jenis hukuman yang berbeda, misalnya di pesantren kami–– pembayaran denda, membaca Qur'an beberapa juz, penyitaan barang, tadarus sambil berdiri selama beberapa jam, berjemur saat terik matahari di tengah komplek asrama. Adapun yang terakhir, hukuman yang paling berat yakni di siram air didepan mata semua santri.

Semua hukuman tergantung tingkat pelanggarannya. Semakin tidak senonoh, maka semakin berat pula hukuman yang akan didapat.

Wewenang ini diputuskan oleh pihak pengurus keamanan pondok, bukan dari Abah dan Ummik selaku pengasuh utama. Beliau sudah memberi amanah penertiban maupun keseharian santri pada pengurus, termasuk perihal hukuman seperti ini.

Terik matahari semakin terasa menyengat. Hawa gerah menyelimuti semua sudut halaman Pesantren, tak terkecuali gadis berjilbab merah yang saat ini sedang berdiri disana. Tepat dimana semua orang memandang.

Siapa dia?

Dari kejauhan, gadis itu terlihat begitu tak berdaya dengan bertengger di lehernya sebuah potongan kardus yang sudah diberi tali rapia. Kesendiriannya di terik panas ini membuat wajahnya seperti gadis nelangsa yang perlu dikasihani. Terlihat pula tulisan 'Pelanggar Qonun' di potongan kardus itu. Ditulis jelas menggunakan spidol hitam.

NAYANIKA ZARA✅Where stories live. Discover now