(9) Permintaan Kiai

444 121 18
                                    

"Zara! Zara! Ditimbali Abah Yai Amar, suruh ke ndalem!"

Tubuhku tersentak. Aku sedang menyimak hafalan Al-Qur'an Aini di Aula refleks menoleh kearah sumber suara. Tiba-tiba ada santriputri yang berseru memanggilku sambil lari tergopoh-gopoh.

"Kenapa? Ada apa?" Tanyaku dengan dahi mengerut.

"Tidak tahu, abah mencarimu sejak kundur dari mengajar Ngaji tadi pagi."

Mataku terbelalak. Kulihat jam tanganku yang menunjukan pukul 9. Sudah menjelang siang, sangat lama sejak Abah mencariku.

"Kamu dari mana saja sih? Dari tadi kucari di kamarmu tidak ada?" Tanyanya dengan wajah menahan kesal.

"Maafkan aku.." Ucapku dengan rasa bersalah. Aku langsung berdiri. "Ai, aku ke ndalem dulu ya, maaf membuat simakan hafalanmu terpotong."

"Tidak apa, Ra, segeralah kesana."

Aku mengangguk.

"Siapkan dirimu, ra! Jangan-jangan Abah mau memarahimu!" Aini berseru ketika aku mulai melangkah meninggalkannya. Aku hanya melambaikan tangan. Dia hanya menggodaku.

Tunggu.

Bagaimana jika itu benar?

Aku berjalan cepat menuju ndalem tak jauh Asrama dengan Pikiran yang melayang-layang, mencoba mengingat apakah aku berbuat salah atau tak sengaja melanggar peraturan hingga Abah mencariku seharian.

Setelah sampai didepan pintu, kuhembuskan nafas yang mulai tidak teratur. Hatiku berdebar karena gugup. Setelah beberapa saat diam, akhirnya kuberanikan diri mengetuk pintu sambil mengucap salam pelan. Tidak lama dari itu terdengar jawaban pelan, lantas mempersilahkanku masuk.

Aku duduk bersimpuh seraya membuka pintu. Berjalan menggunakan lutut kaki dengan kepala yang menunduk dalam.

"Monggo nduk Zara, sini." Suara Abah menyapaku untuk mendekat. Kulihat kali ini Abah tidak ditemani Ummik. Sepertinya Ummik sedang pergi ke pasar mencari bahan makanan untuk santri. Aku tersenyum sungkan pada abah.

"Ngapunten, Abah. Baru tahu kalau Abah madosi kulo.."

"Wes, Gak popo nduk. Yang penting sudah kesini."

"Enten nopo nggih bah?" Tanyaku hati-hati.

"Iki, ada info dari Humas, Pesantren kita diundang ikut lomba." Abah memberiku gulungan kertas putih. Kedua tanganku terulur menerima dan segera membacanya. Kertas ini berisikan syarat dan ketentuan lomba tersebut. Tertulis jelas disana 'LOMBA DUTA ASING TINGKAT PROVINSI.'

Kepalaku mengangguk pelan. "Kulo disuruh mencari santri yang bisa mengikuti ini, bah?"

Aku membaca kriteria peserta yang bertuliskan 'Lulus SMA sederajat. Mahir berbahasa Arab/Inggris dan memiliki cukup kepemahaman dalam bidang bahasa tersebut.' Aku bertanya pada abah maksud beliau meminta kedatanganku kemari.

"Tidak, sampean Sing nderek, ya."

(Tidak, kamu yang ikut, ya)

Deg.

Aku terhenyak kaget. Kuberanikan mengangkat sedikit kepala guna menatap wajah Abah. Memastikan jika beliau sedang bergurau dengan kalimat yang barusan kudengar.

Aku menunduk lagi ketika wajah bercahaya Abah tidak menyiratkan guratan ketidakseriusan. Apakah beliau bersungguh-sungguh memilihku? Aku?

Aku tidak tahu sebab apa Abah Amar memilihku, tetapi jika boleh mengakui, aku memang menyukai bahasa asing dan memiliki sedikit kemampuan. Hanya saja dua tahun terakhir ini, aku semakin jarang mengasah kembali bakatku. Selama disini, keseharianku lebih fokus pada Al-Qur'an dan hanya beberapa kali mengisi waktu belajar bersama Aini di perpustakaan ketika bosan. Berbeda ketika semasa sekolah dulu yang lebih banyak memiliki waktu luang.

NAYANIKA ZARA✅Onde histórias criam vida. Descubra agora