CHAPTER 64 - Self Healing (Part 2)

2.3K 119 0
                                    

Narendra dan Nilam sudah menikah selama lima tahun, namun belum dikaruniai seorang anak meski mereka telah melakukan berbagai usaha. Nilam merasa bersalah karena belum bisa memberikan anak bagi Narendra, padahal Narendra tak pernah mempermasalahkan hal itu. Nilam meminta Narendra untuk menikah lagi. Narendra menolak karena ia sangat mencintai Nilam dan tak ingin membagi cinta. Namun akhirnya Narendra menurut karena Nilam memaksa.

Tak ingin banyak yang tahu, mereka memutuskan untuk mencari istri kedua bagi Narendra di desa asal Narendra. Setelah Narendra menikah dan memiliki anak dari istri kedua, Nilam berencana mengasuh anak itu jika diizinkan. Adalah seorang warga desa bernama Bu Ratmi yang menawarkan anaknya untuk menjadi istri kedua Narendra. Rumah Bu Ratmi berada satu desa dengan Ambu Ami dan Ambu Lilis, namun berbeda dusun. Ia menyuruh anaknya bernama Sabria yang tinggal di Jakarta untuk pulang ke kampung seusai SMA untuk dijodohkan dengan Narendra.

Setelah Narendra dan Sabria menikah, uang bulanan yang diberikan oleh Narendra selalu diambil oleh Bu Ratmi. Ia sejak dulu tidak menyukai Sabria karena Sabria adalah anak di luar nikah dari suaminya yang pertama. Namun Sabria tak pernah berani melawan ibunya. Tak lama menikah dengan Narendra, Sabria mengandung Barata. Narendra tak langsung mengabari Nilam, karena ia ingin anak itu lahir dulu baru memberi tahu istrinya pertamanya itu. Namun saat Barata berumur tiga bulan dan Narendra ingin memberi tahu Nilam, ternyata Nilam sudah mengandung Azalea.

Narendra pun memutuskan untuk tak mengatakan tentang Barata, karena takut mengganggu kebahagiaan keluarga kecilnya dengan Nilam. Ia meminta Ambu Ami dan Ambu Lilis merahasiakannya dari Nilam. Barata pun tumbuh besar tanpa kasih sayang seorang ayah. Bisa dihitung jari Narendra mengunjunginya dalam setahun. Saat Barata berumur tiga tahun, Narendra ingin menceraikan Sabria namun Nilam tak mengizinkan. Akhirnya Sabria yang meminta cerai karena tak ingin merusak keindahan rumah tangga Narendra dan Nilam.

Sabria kerap digunjingkan para tetangga meski mereka tahu bahwa Sabria dan Narendra menikah secara sah. Begitupun Barata. Ia sering mendapat perundungan, baik oleh teman-temannya ataupun saudara-saudara sepupunya yang tinggal seatap. Ia pun sering kali mendapat pukulan dari neneknya sendiri. Namun berkat didikan ibunya, Barata tetap menjadi anak yang baik. Sampai kemudian Sabria mengajak Barata pergi ke kota (kelurahan Subang) karena tak tahan akan perundungan yang dialami oleh anaknya di kampung.

Saat sakit keras, Sabria pulang ke kampung, sedangkan Barata sudah dititipkannya ke sebuah panti asuhan. Tak lama Sabria meninggal dunia. Ambu Lilis menjemput Barata untuk berziarah ke makam ibunya kemudian mengantarkannya lagi ke panti asuhan sesuai amanat Sabria. Selanjutnya Ambu Lilis tidak mengetahui kabar Barata lagi karena ia pun sibuk mengurusi keluarganya.

Ambu Lilis menyeka air mata setelah menyelesaikan ceritanya. Dan aku tak mampu menahan tangisku lagi setelah mendengar semuanya. Mengetahui kenyataan tentang keluargaku, juga tentang Barata. Ternyata Barata pun mengalami kisah yang pelik, bahkan sangat kelam sejak masa kecilnya. Aku merasa bersalah karena sempat merasa tak suka padanya. Ambu Lilis memelukku hingga aku berhenti terisak dan merasa lega setelahnya.

"Terima kasih sudah menceritakan semuanya, Ambu. Sewaktu Ambu Ami merawat Yaya dulu, Yaya tidak sempat bertanya tentang hal ini karena Yaya pun sedang merasa tak menentu saat itu," ujarku.

Ambu mengangguk dan membelai rambutku.

"Oh, ya." Ambu Lilis seperti teringat akan sesuatu. "Waktu itu ada warga kampung yang bilang bahwa Bu Ratmi dan keluarganya pergi ke rumah kalian yang di Bandung setelah mendengar berita kepergian ayah dan ibumu. Lalu mereka mengambil semua barang berharga dan kemudian menjual rumah kalian itu karena mereka menganggap berhak atas nama Barata. Mereka tak mengaku pada Ambu Lilis dan Ambu Ami. Baru dua tahun lalu, sebelum meninggal, dia mengakui perbuatannya dan minta tolong disampaikan maaf untuk Yaya."

Aku terdiam sejenak, lalu mengangguk. "Yaya sudah mengikhlaskan semuanya saat merantau ke Jakarta."

Masih dengan sisa-sisa air matanya, Ambu Ami mengelus bahuku.

"Oh, ya. Bagaimana ceritanya kamu bisa bertemu dengan Tata? Bagaimana dia sekarang, tetap jadi anak yang baik atau malah jadi berandalan?" tanya Ambu Lilis kemudian. Kekhawatiran terlihat di wajahnya

Aku tersenyum. "Dia sudah mapan sekarang, Ambu. Barata adalah salah satu orang paling baik, sopan, dan pintar yang pernah Yaya temui." Kemudian aku menceritakan awal mula aku mengenal Barata, menjadi asisten mengajarnya, dan bagaimana akhirnya kami bisa mengetahui bahwa kami adalah saudara tiri.

"Syukurlah," jawab Ambu Lilis lega. Kemudian ia menatap wajahku. "Yaya sekarang makin cantik. Masih tetap imut, masih seperti anak remaja."

Pujian Ambu Lilis hanya kubalas dengan senyuman

Hari beranjak naik. Aku membantu Ambu Lilis memasak untuk makan siang, lalu kami makan bersama. Usai makan dan beristirahat sebentar, aku memutuskan untuk pergi berziarah ke makam ayah dan ibu. Ambu Lilis meminta tolong pada tetangganya untuk mengantarku ke pemakaman menggunakan sepeda motor. Ambu Lilis sendiri tidak mempunyai sepeda motor karena dia memang tidak bisa mengendarainya. Aku berangkat setelah menerima sekantung bunga yang dipetik Ambu Lilis dari pekarangan rumahnya.

"Yaya pergi ziarah sebentar, ya, Ambu." Aku berpamitan.

"Ya, hati-hati. Jalanan pasti licin di sana karena tadi malam hujan. Kalau sudah mau pulang telepon Ambu, ya. Biar nanti dijemput lagi," pesan Ambu Lilis.

Aku mengangguk, lalu motor yang kutumpangi melaju. Jarak dari rumah Ambu Lilis ke pemakaman sekitar satu kilometer lebih. Juga harus melewati jalan setapak persawahan yang licin dan banyak kubangan di sana-sini. Namun aku merasa lega ketika akhirnya sampai di pemakaman. Tetangga Ambu Lilis yang mengantarku tadi bersedia menungguiku tapi aku mempersilakannya pulang karena aku ingin agak lama berada di pemakaman.

Perlahan aku menyusuri pemakaman dan mencari nisan ayah dan ibuku sesuai petunjuk dari Ambu Lilis. Tubuhku meluruh ketika aku tiba di sepasang nisan yang berdampingan itu. Aku sangat merindukan ayah dan ibuku. Dua gundukan tanah itu dipenuhi rerumputan liar. Kutaburkan bunga setelah mencabuti rerumputan, lalu lamat-lamat kupanjatkan doa. Air mataku mendesak ingin keluar, namun aku menahannya.

"Ayah, Ibu, Yaya datang," ucapku setelah selesai berdoa. "Yaya sangat merindukan Ayah dan Ibu. Sampai hari ini, Yaya telah melewati banyak kisah sepeninggalan Ayah dan Ibu. Ada pahit dan manis seperti yang selalu Ayah dan Ibu sampaikan. Yaya juga sudah mengetahui hal-hal yang dulu tidak Yaya ketahui, tapi Yaya merasa lega. Dan sekarang Yaya baik-baik saja. Yaya janji akan selalu berbahagia dalam hidup Yaya hingga nanti."

Aku segera menyeka setetes air mata yang tak sengaja jatuh. "Ayah dan Ibu yang tenang, ya."

Setelah puas melepas rindu di makam ayah dan ibu, aku beralih ke makam Ambu Ami yang tak jauh dari situ. Setelahnya aku memutuskan untuk beranjak pulang. Kuambil ponselku—yang baru saja kunyalakan—untuk menelepon Ambu Lilis, namun ternyata tak ada sinyal yang muncul. Aku memutuskan untuk berjalan kaki saja. Toh, pemandangan di sini begitu indah untuk dinikmati sambil berjalan kaki. Ditambah udara yang sejuk, sepertinya jarak satu kilometer lebih tak akan terasa.

Terdengar suara gemuruh saat aku mulai memasuki persawahan yang panjang. Aku menengadah. Langit terlihat begitu redup dengan awan putih yang berebut menutupinya. Sepertinya sebentar lagi akan turun hujan. Aku menghela napas, lalu melanjutkan berjalan sampai kudengar sebuah suara dari kejauhan seperti memanggil namaku. Sesaat aku bergidik, lalu kuedarkan pandangan. Tak ada siapa-siapa.

"Azaleaaa ...."

Suara itu terdengar lagi, sayup-sayup menggema. Kata orang zaman dahulu, kalau ada suara tak jelas memanggil, jangan menyahut. Karena sudah pasti bukan manusia. Aku bukan orang yang terlalu percaya mitos, tapi saat ini aku benar-benar merasa takut, maka aku tak menyahut. Kembali suara itu menggema. Pikiran tentang zombie mulai merasuki kepalaku. Kupegangi tengkukku yang meremang.

This is real life, Azalea. Tak akan ada zombie yang mengejarmu. Aku menepuk-nepuk pipiku sendiri untuk menghilangkan ketakutanku. Namun jantungku berdegup kencang saat suara yang memanggilku terdengar lagi. Tapi tunggu, aku seperti mengenali suara itu. Ketika kemudian terdengar lagi, aku semakin yakin bahwa suara itu adalah milik seorang pria yang sangat kukenali. Hatiku berdesir saat kemudian aku melihat sosoknya.

***

Senandung Azalea (Completed)Where stories live. Discover now