CHAPTER 54 - Keheningan yang Mengganggu

2.7K 154 0
                                    

"Ceraikan saya, Azkaa."

Kalimat yang tertahan itu akhirnya keluar juga dari bibirku. Meski suaraku terdengar lirih, meski jantungku berdegup kencang, aku lega telah mengucapkannya. Aku tidak tahu perceraian adalah hal yang benar-benar aku inginkan atau tidak, tapi kurasa aku memang harus mengakhiri semuanya. Jika Azkaa memang masih menginginkan Ilona, jika mereka memang sangat ingin bersama, maka aku akan memberikan jalan.

Kulihat Azkaa terdiam. Sejak tadi ia seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi tak sepatah kata pun terucap dari bibirnya. Kini kami berdua hanya saling berdiam diri. Saling menatap dengan emosi tak terbaca yang terendap di sudut mata. Keheningan yang menusuk dan dingin yang membalut kediaman kami benar-benar menyiksa.

"I was about to say that I want you." Suara Azkaa terdengar bergetar. "Saya baru saja ingin mengatakan bahwa saya ingin mempertahankan pernikahan kita."

Ia kembali terdiam sambil memandangiku, lantas melanjutkan. "Azalea, saya minta maaf untuk semua kesalahan yang saya lakukan selama ini. Saya minta maaf untuk semuanya."

"Kamu ingin mempertahankan pernikahan kita, tapi juga ingin mempertahankan Ilona?!"

Azkaa menggeleng. "Saya akan melepaskan Ilona. Saya akan menjadikanmu satu-satunya."

Ia berjalan mendekatiku, "Tolong beri saya kesempatan."

"Kemana saja kamu selama ini?" Aku menantang matanya.

"Selama ini saya kira saya masih mencintai Ilona. Selama ini saya pikir kita tidak perlu berkomitmen karena kita tidak saling mencintai. Tapi saya sudah menyadari semua kesalahan saya, Azalea. Meski saya dan Ilona tidak pernah melakukan apa pun selain makan bersama, saya sadar hubungan saya dengannya tetap sebuah kesalahan karena saya telah mengkhianati ikrar suci dalam pernikahan kita."

Kali ini Azkaa menelisik wajahku dengan matanya yang berkaca-kaca. "And after all this time I kept on denying all my feelings towards you, now I realized that I'm falling for you. Falling hard and wanting you." Suaranya terdengar hampir berupa bisikan.

Jantungku berdegup kencang saat mendengarnya, tapi aku tahu hatiku tak akan luluh.

"Saya benar-benar menginginkan kamu, Azalea," lanjutnya. "Menginginkan pernikahan yang normal seperti yang kamu juga inginkan. Menginginkan pernikahan yang indah seperti pernikahan mama dan papa. I want you, Azalea. And from now on, you'll be the one and only for the rest of my life."

Aku menatap wajahnya, memandangi sepasang mata redup itu. Sambil menahan air mata yang mendesak-desak ingin keluar, aku berucap, "It's too late, Azkaa. I've decided to leave you."

"Kita akan bercerai," lanjutku. "Sesegera mungkin kita ke rumah mama dan papa untuk mengatakan semuanya pada mereka."

Azkaa menggeleng. "I don't want a divorce. Please, give me a chance, Azalea."

Aku berbalik dan berusaha tak memedulikannya lagi meski ia mengikuti langkahku dan kembali memohon. Kupercepat langkahku menuju kamarku. Namun baru saja aku akan mencapai pintu, aku terhuyung. Aku merasa sekelilingku berputar. Sambil berpegangan pada handle pintu, aku mencoba menyeimbangkan tubuhku agar tak terjatuh. Entah kenapa belakangan ini aku sering merasakan pusing, mual, dan pandanganku mengabur.

"Azalea!" Azkaa menghambur ke arahku dan menahan tubuhku. Aku menepis tangannya dan membiarkan diriku terduduk di lantai agar merasa lebih tenang.

"Kamu sakit?" tanya Azkaa. Ia ingin menyentuh keningku namun aku kembali menepisnya.

Perlahan aku bangkit sambil tetap berpegangan pada pintu dan memegangi kepalaku. Namun pandanganku kembali berputar dan kali ini disertai pening yang semakin menjadi. Aku kembali kehilangan keseimbangan. Azkaa menahan tubuhku yang hampir tumbang.

"Lepaskan saya, Azkaa," pintaku.

"Kamu boleh membenci saya tapi saya tidak akan membiarkan kamu kesakitan seperti ini." Azkaa menggendong tubuhku dan membawaku ke kamar.

***

Setelah beberapa kali aku terhuyung dengan pandangan berputar dan aku mulai demam disertai mual muntah, Azkaa membawaku ke rumah sakit. Dokter mengatakan bahwa apa yang aku alami adalah vertigo. Sejauh ini dokter mengatakan penyebabnya adalah migrain dan kemungkinan pemicunya adalah stres. Tapi bisa saja nantinya akan dilakukan CT Scan atau MRI untuk pemeriksaan lebih lanjut, untuk mengetahui apakah ada kemungkinan penyakit seperti neuroma akustik jika ditemukan adanya indikasi. Karena vertigo sebenarnya adalah sebuah gejala, bukan penyakit. Semua keterangan dokter itu kudapat dari Azkaa. Aku ingin mengetahui semuanya, tanpa ada yang ditutupi.

Kuharap semuanya baik-baik saja dan vertigo yang kualami memang hanya karena migrain, bukan gejala dari penyakit serius. Aku memang sering migrain belakangan ini. Seingatku aku juga pernah mengalami vertigo sebelumnya. Saat menjelang ujian nasional SMA dulu dan hari-hari setelah kepergian ayah dan ibuku. Tak kusangka vertigoku bisa kambuh lagi. Saat ini aku sudah berada di ruang rawat inap. Dokter telah meresepkan obat-obatan untukku.

"Gimana, sih, kamu menjaga istri, Azkaa!" omel Bu Rianti.

Kedua mertuaku langsung datang saat mengetahui bahwa aku berada di rumah sakit. Mereka sangat terkejut karena selama ini aku sangat jarang sakit. Aku bisa melihat kekhawatiran di wajah mereka dan itu membuatku sedih.

Azkaa yang duduk di sampingku hanya diam mendengar omelan Bu Rianti.

"Meskipun kamu sibuk sama pekerjaan kamu, kamu tetap harus memperhatikan istri kamu! Bisa-bisanya kamu tidak tahu riwayat kesehatan istri kamu sendiri," lanjut Bu Rianti lagi.

"Dan dokter bilang tadi salah satu pemicunya stres? Kenapa bisa stres istri kamu, Azkaa?!" Bu Rianti kembali mencecar Azkaa. Kemudian dia memandangiku dan Azkaa bergantian. "Sebenarnya apa yang terjadi di antara kalian?"

Aku dan Azkaa membisu. Memilih tak menjawab, aku menundukkan pandanganku.

"Sudah, sudah, Ma." Pak Raditya menengahi. "Nanti Azalea malah makin banyak pikiran. Dia butuh istirahat dan ketenangan saat ini."

"Maafkan mama, Nak." Bu Rianti menggenggam tanganku, seperti merasa bersalah karena telah bersuara keras tadi. Aku mengangguk untuk menenangkan mama mertuaku itu.

"Kasih tahu anakmu itu, Pa," ujar Bu Rianti menoleh pada Pak Raditya.

"Maafkan saya, Ma, Pa." Azkaa akhirnya membuka suara.

"Minta maaf sama istrimu!" sahut Pak Raditya.

Azkaa mengangguk.

Pak Raditya dan Bu Rianti pulang saat waktu kunjung berakhir. Azkaa meninggalkanku sebentar karena harus mengantarkan orang tuanya ke lobi. Seperti di apartemen, di rumah sakit ini pengunjung memerlukan kartu akses untuk memasuki lift agar tidak sembarangan orang bisa masuk ke kamar pasien. Waktu kunjungan juga sangat singkat dan tak boleh terlalu ramai. Hal itu bertujuan untuk menjaga suasana rumah sakit agar tetap kondusif dan demi ketenangan pasien juga.

Tak berapa lama, Azkaa kembali. Ia duduk di sampingku seperti tadi. Aku mengalihkan pandangan darinya. Dari sudut mata, kulihat ia memandangi wajahku. Keheningan yang mengganggu—yang selama ini selalu aku benci—kini kembali menyelimuti kami. Tak ada yang berbicara di antara kami untuk beberapa lama. Begitu senyap hingga aku bisa mendengar detak jantungku sendiri.

"Maafkan saya, Azalea." Suaranya memecah kebisuan antara kami. Entah sudah ke berapa kali dia meminta maaf.

Azkaa mengulurkan tangannya ingin menyentuh jemariku, namun aku menjauhkan tanganku sebagai bentuk penolakan. Ia menarik tangannya lagi. Sekian detik kemudian, aku menoleh. Azkaa menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Lengannya bertopang di sisi tempat tidur. Kulihat bahunya bergetar. Apakah ia sedang menahan tangis? Beberapa saat aku memandanginya, lalu aku memilih mengalihkan pandanganku lagi untuk menenangkan perasaanku yang tak menentu. Dadaku terasa sesak menahan air mata. Hingga akhirnya setetes air mata kubiarkan lolos ke pipiku.

***

Note:
Neuroma akustik (vestibular schwannoma) adalah tumor jinak yang tumbuh pada saraf yang menghubungkan bagian dalam telinga dengan otak.

Senandung Azalea (Completed)Where stories live. Discover now