CHAPTER 49 - Bermain Api

2.8K 138 0
                                    

Meski kadang aku merasa kesal pada Azkaa, aku tak bisa menyangkal bahwa aku merindukannya saat dia tak bersamaku. Seperti saat ini. Azkaa sedang berada di Sumatera Barat sejak dua hari lalu untuk melihat proyek jalan tolnya. Dia akan terbang kembali ke Jakarta besok sore. Dan besok adalah hari ulang tahunnya. Aku sudah menyiapkan kado untuk suamiku itu. Setelan kerja berupa jas, celana, kemeja, dan beberapa helai dasi yang semuanya kubeli langsung dari official website sebuah brand ternama.

Malam ini aku menahan kantuk yang kurasakan, menunggu pergantian hari agar bisa menjadi orang pertama yang memberi ucapan selamat padanya. Suatu hal yang tak pernah kulakukan sebelumnya. Hal menggelikan yang biasanya dilakukan oleh para remaja, namun aku ingin melakukannya. Tapi sepertinya aku hanya akan mengucapkannya lewat pesan.

Happy birthday, Azkaa. All the best.

Hanya itu pesan yang kukirim. Aku tak pandai merangkai kata-kata ucapan yang panjang dan kurasa itu sudah mewakili semua doa. Mataku mengerjap saat beberapa detik kemudian Azkaa langsung meneleponku.

"I didn't even remember that today was my birthday. Thank you, Azalea." Suaranya terdengar begitu aku mengangkat telepon.

Azkaa kemudian meminta untuk mengubah panggilan menjadi video call, padahal aku sudah bersiap untuk tidur. Ragu sejenak, namun aku tak ingin menolak permintaannya. Kurapikan sedikit rambutku, lalu menerima video call darinya.

"Sudah makan malam, kan?" tanyanya. Entah pertanyaannya itu benar-benar menunjukkan perhatian atau hanya sebagai pembuka obrolan. Ini sudah dini hari, tentu saja aku sudah makan tadi.

Aku hanya mengangguk lalu mencuri pandang ke arah cermin untuk melihat penampilanku.

"Sudah cantik," komentar Azkaa sambil mengulum senyum, membuatku tersipu.

"Oh, ya, bagaimana jalan tolnya?" Aku mencoba mengalihkan topik pembicaraan.

Azkaa kemudian bercerita tentang uji coba proyek jalan tolnya yang berjalan dengan lancar. Selanjutnya obrolan kami hanya berupa percakapan ringan tentang hal-hal tak penting, tapi aku menyukai. Aku menyudahi telepon ketika aku sudah merasa amat mengantuk. Kurasa obrolan kami tadi adalah obrolan terpanjang yang pernah kulakukan di telepon. Sebelumnya aku sangat tidak suka berbicara di telepon. Lebih baik mengirim pesan bagiku.

"Hati-hati ada zombie, ya," ledek Azkaa saat akan menutup telepon.

"Sudah saya bilang saya tidak takut zombie!" tukasku.

"Baiklah, Azalea si pemberani." Azkaa terkekeh. "Goodnight, my wife."

"Goodnight," balasku lalu segera menutup telepon.

Percakapan kami mungkin terdengar seperti pasangan yang sedang kasmaran atau sepasang suami istri yang saling mencintai. Sebenarnya semua itu terjadi begitu saja belakangan ini. Saling memberi perhatian tanpa kami sadari. Apakah ketulusan ikut menyertai atau kami melakukannya hanya demi kesenangan semata, sampai sekarang aku tak tahu jawabannya. Satu hal yang pasti, kami tak boleh untuk saling jatuh hati.

***

Paginya aku memutuskan untuk membuat cake ulang tahun untuk Azkaa. Tentu saja akan lebih praktis jika membeli tapi entah kenapa aku sangat ingin membuatnya sendiri. Berbekal tutorial di youtube yang sudah kupelajari, aku membuat tiramisu. Tiramisu kupilih untuk kubuat karena Azkaa adalah seorang pencinta kopi. Kupilih bahan-bahan terbaik dari toko kue agar hasilnya memuaskan. Membuat tiramisu tidak sulit sebenarnya, namun cukup ribet untuk pemula sepertiku.

Aku tersenyum melihat tiramisu yang sudah selesai kubuat. Not bad, ucapku dalam hati. Lalu, aku menyimpannya dalam kulkas. Setelahnya aku hanya menghabiskan waktu di kamar untuk membaca buku dan tanpa sadar terlelap hingga sore. Begitu bangun, aku membaca pesan Azkaa yang mengatakan ia sudah tiba di bandara Soekarno Hatta dan sudah akan berangkat menuju apartemen, dijemput oleh Mang Diman. Bergegas aku mandi dan berdandan, meski hanya makeup tipis. Lalu aku memakai vintage dress berwarna putih berkerah sabrina dan membiarkan rambut panjangku terurai.

Kalau dipikir, untuk apa aku berdandan di hari ulang tahunnya? Tapi aku ingin melakukannya. Aku juga tak mengerti akan perasaanku. Ini bukan pertama kalinya kami berjauhan. Azkaa sudah beberapa kali ke luar kota, bahkan ke luar negeri untuk urusan pekerjaan selama kami menikah. Tapi aku tak pernah semerindu ini. Ah, sudahlah. Segera aku beranjak ke ruang tengah untuk menghentikan pergulatan batinku.

"Good evening, Azalea."

Kudengar suara Azkaa. Aku hanya menoleh sekilas, lalu pura-pura sibuk menatap ponselku. Aku tak mau ia tahu aku sedang menunggunya. Tapi kemudian aku bangkit untuk mengucapkan terima kasih pada Mang Diman yang membantu Azkaa membawakan koper. Setelah Mang Diman berlalu, Azkaa berjalan ke ruang tengah sambil membawa beberapa paper bag. Ia duduk tepat di sampingku dan menyerahkan paper bag yang berisi oleh-oleh itu.

Hanya sejenak aku melihat oleh-oleh di paper bag, lalu kuletakkan kembali. Azkaa melepas jaketnya dan membuka beberapa kancing bagian atas kemejanya. Duduk kami sangat dekat sehingga aku bisa mencium harum parfumnya. Tak bisa kusangkal harum parfum yang menyatu dengan aroma tubuhnya benar-benar menggodaku. Ia tersenyum melihatku memperhatikannya, lalu ia menatapku lekat.

"Gimana jalan tolnya?" tanyaku untuk menghilangkan kecanggungan antara kami.

"Dari kemarin nanya jalan tol mulu, ya. Bukan nanya kabar saya." Azkaa menggaruk kepalanya sambil tertawa kecil.

"You look healthy and fine. So, I don't need to ask," sahutku.

"Baiklah," jawab Azkaa sambil menggeliat dan menyandarkan badannya di sofa.

Aku menoleh dan ternyata ia masih menatapku.

"Capek?" tanyaku.

Ia mengangguk lalu tangannya membelai rambutku.

"Happy birthday once again!" ucapku.

"Thank you," jawabnya, lalu setengah berbisik ia berkata, "You look so beautiful in white, Azalea."

Azkaa ingin menyentuh pipiku, namun aku segera berdiri. "Oh, ya. Saya ada sesuatu buat kamu."

"Apa?" Azkaa menegakkan duduknya.

Aku memintanya menunggu, kemudian mengambil kado dan tiramisu yang telah kubuat untuknya. "Saya bikin sendiri." Aku menyodorkan tiramisu padanya.

"Wah!" seru Azkaa. Wajahnya terlihat sumringah. Ia mengucapkan terima kasih, lalu mulai menikmati tiramisu sambil menyuapiku juga.

Setelahnya, aku menyodori kotak kado untuknya. Wajahnya kembali menampilkan raut kegembiraan. "Thank you so much, Azalea." Azkaa tersenyum sambil mengacak rambutku.

"Semoga kamu suka."

"Sure." Azkaa kembali memperhatikan kado yang kuberikan, masih dengan senyum di bibirnya.

Aku tak tahu apakah Azkaa benar-benar menyukai kado itu atau sekadar menghargaiku. Namun, kilatan cahaya di matanya menunjukkan kebahagiaan. Aku suka melihat ekspresi gembira Azkaa yang bagiku terlihat seperti anak kecil, menampilkan sisi lain dirinya. Entah apa yang kupikirkan hingga aku kemudian mengecup pipinya.

Azkaa sedikit tersentak, lantas memandangiku. Sejenak kemudian, ia mendekatkan wajahnya dan menarik tubuhku. Setelah beberapa saat dalam keheningan, akhirnya kami tak bisa menahan. Entah siapa yang memulai, kami kini sudah saling mendekap dan mengecup. Namun, hanya sejenak karena Azkaa menghentikannya ketika aku menginginkan lebih dari itu.

"Azalea, saya juga sangat menginginkannya. Tapi jangan kita lalukan lagi. Saya tidak mau menyakitimu," ucap Azkaa menatapku dalam.

Apa maksud Azkaa tak ingin menyakitiku? Apakah karena kami akan berpisah nantinya?

"Saya mandi dulu, ya." Azkaa berkata setelah keheningan yang cukup lama di antara kami. Ia pun beranjak dengan raut wajah yang redup.

Aku tahu aku tak seharusnya bermain api. Namun, aku akan menjaga nyala api ini tetap kecil dan tak berkobar, seperti aku menjaga perasaanku agar tak jatuh terlalu dalam. Meski aku tak tahu sampai kapan aku akan bertahan.

"She wasn't exactly sure when it happened. Or even when it started. All she knew for sure was that right here and now, she was falling hard and she could only pray that he was feeling the same way."

—Nicholas Sparks

***

Senandung Azalea (Completed)Where stories live. Discover now