CHAPTER 10 - Cerita di Akhir Pekan

2.5K 164 0
                                    

Udara pagi tetap terasa lebih sejuk walaupun berada di tengah kota. Aku menikmati udara pagi ini sambil melihat lalu lintas dari balkon dapur. Lalu lintas terlihat tak terlalu padat karena ini akhir pekan. Seraya menyesap tehku, aku berpikir tanaman apa yang akan aku taruh di balkon. Balkon ini terlihat kosong, mungkin akan lebih indah kalau kutaruh tanaman hias atau bunga saja.

Berpikir tentang bunga mengingatkanku akan bunga-bunga imitasi yang telah kubeli secara online kemarin. Aku menyesap sisa tehku lalu beranjak masuk. Kuambil kardus besar berisi bunga-bunga imitasi yang masih kuletakkan di foyer, lalu mengeluarkan isinya. Beberapa ikat bunga imitasi peony, mawar, dan baby breath. Sayangnya aku tak menemukan bunga azalea imitasi di marketplace itu.

Aku memilih warna-warna bunga yang soft agar tidak terlalu kontras dengan beberapa tanaman hidup hias berwarna hijau yang sudah ada di apartemen Azkaa. Aku mulai merangkai bunga-bunga itu dan memasukkannya ke dalam pot-pot putih, kemudian menyusunnya di beberapa sudut ruang, juga di meja kecuali meja makan. Di meja makan, aku sudah meletakkan beberapa tangkai bunga hidup yang kumasukkan ke dalam vas kaca.

Aku tersenyum puas setelah semuanya selesai. Lalu kulirik ponselku yang bergetar. Bu Rianti menelepon dan mengatakan akan datang ke apartemen pagi ini. Aku mengetuk pintu kamar Azkaa dan memberitahunya. Azkaa memintaku untuk mengunci pintu kamarku. Maksudnya agar Bu Rianti tidak ke kamar itu dan melihat perlengkapanku di sana lalu mengetahui bahwa aku dan Azkaa tidur terpisah. Aku memasukkan beberapa perlengkapanku ke dalam lemari untuk berjaga-jaga seandainya Bu Rianti ingin beristirahat di kamar itu nanti.

Setengah jam kemudian, Bu Rianti tiba. Dia memiliki kartu akses untuk masuk ke unit apartemen Azkaa.

"Wah, jadi lebih cerah apartemen ini dikasih bunga-bunga, enggak monoton kayak kemarin. Jadi lebih berwarna," puji Bu Rianti setelah duduk di sofa ruang tamu bersamaku.

Aku hanya tersenyum mendengarnya. Kulirik Azkaa yang baru keluar dari kamar dan berdiri tak jauh dari kami. Mendengar perkataan Bu Rianti, Azkaa mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan dan aku melihat ada senyum tipis di bibirnya. Aku segera mengalihkan pandanganku ketika ia melihatku.

"Mama ada perlu apa kemari?" tanya Azkaa pada Bu Rianti.

"Kamu ini, memangnya mama harus ada perlu dulu baru boleh kemari?" sahut Bu Rianti.

"Bukan begitu, Ma. Biasanya kan Mama jarang banget datang kemari," jawab Azkaa.

"Ya. Soalnya papa lagi pergi, ada urusan sama teman-temannya. Mama bosan sendirian, jadi kemari, deh. Sekalian mau bertemu menantu mama." Bu Rianti tersenyum padaku kemudian menoleh pada Azkaa lagi. "Harusnya kamu yang datang ke rumah mama, bawa istri kamu."

"Weekend, Ma. Mau istirahat." Azkaa menghela napas lalu beranjak ke sofa ruang keluarga dan menyalakan televisi.

Bu Rianti tak menyahuti Azkaa lagi, lalu mengobrol denganku.

"Oh, ya," kata Bu Rianti kemudian, seperti teringat akan sesuatu.

Bu Rianti mengeluarkan kotak berukuran sedang dari dalam paper bag yang tadi dibawanya. Aku membaca tulisan di atas kotak itu, sebuah brand ternama. Aku berharap Bu Rianti tidak memberiku tas lagi, karena ia telah memberiku beberapa tas dan dompet di hari pernikahan Aku dan Azkaa minggu lalu. Aku tahu harga tas-tas dan dompet itu sangat mahal. Aku membuka kotak tadi setelah Bu Rianti memintaku membukanya. Baju? Keningku berkerut. Kainnya terasa sangat halus di jemariku.

"Kemarin pas mama belanja, mama sekalian beli beberapa dress ini buat kamu pakai di rumah," ujar Bu Rianti seraya membentangkan salah satu dari dress itu.

Aku jadi salah tingkah. Jarak sofa ruang tamu dan sofa ruang keluarga tak begitu jauh. Aku yakin Azkaa mendengar ucapan Bu Rianti. Benar saja, ketika kulirik Azkaa, ia sedang melihat ke arah dress satin yang ditunjukkan oleh Bu Rianti padaku. Lalu, Azkaa menoleh padaku dan kami bersitatap sesaat. Ia segera mengalihkan pandangannya ke arah televisi lagi. Aku pun melakukan hal yang sama, mengalihkan pandanganku darinya dan menoleh pada Bu Rianti lagi.

"Ini mama beli dari website-nya langsung," lanjut Bu Rianti.

Aku mengangguk dan mencoba tersenyum. "Terima kasih, Ma."

Aku tahu aku tak akan mengenakan pakaian itu di depan Azkaa. Namun, aku tetap menerimanya untuk menghargai Bu Rianti. Setelah meletakkan dress itu kembali, Bu Rianti kemudian berbicara padaku tentang tips-tips pernikahan.

"Azkaa, kamu jangan menguping. Ini girls-talk," tegur Bu Rianti pada Azkaa.

"Enggak, kok, Ma." Azkaa bersungut. Ia lalu berkali-berkali mengganti channel televisi secara asal.

Aku kemudian menawarkan Bu Rianti minuman dan camilan yang tadi telah kuhidangkan untuknya.

"Mama mau makan siang apa? Kita beli saja, ya?" tanyaku pada Bu Rianti ketika kulihat hari sudah menjelang siang.

"Enggak usah beli, kita masak saja," kata Bu Rianti setelah meneguk minumannya. "Mama pengen makan masakan kamu."

"Tapi saya cuma bisa masak yang simple saja, Ma. Kayak sup, sambal, dan tumisan," jawabku.

"Enggak apa-apa. Nanti lain kali kamu ajak Azkaa ke rumah biar mama ajarkan kamu masak rendang, gulai, dan masakan berat lainnya."

Aku mengangguk menanggapi perkataan Bu Rianti.

"Ya, sudah, yuk. Mama bantu masaknya. Bahan-bahannya ada, kan?" tanya Bu Rianti.

"Ada, Ma. Kemarin baru belanja," sahutku lalu kami beranjak ke dapur.

Aku melihat persediaan bahan di lemari pendingin. Aku memutuskan untuk memasak sup ayam jamur, tumis daging cincang, dan capcay sayuran. Bu Rianti membantuku tapi dia tidak mengatur caraku memasak. Dia malah bertanya antusias beberapa hal tentang masakanku, padahal aku tahu Bu Rianti adalah orang yang pintar memasak. Aku tahu itu karena saat aku masih tinggal di paviliun milik keluarga Mahawira, Bu Rianti kadang mengantar masakannya padaku.

Tak berapa lama, Pak Raditya juga datang ke apartemen dan dijemput Azkaa ke lobi. Kebetulan semua masakan sudah selesai. Setelah masakan tersaji di meja makan, kami berempat pun makan siang. Azkaa mau tidak mau ikut makan karena ada Pak Raditya dan Bu Rianti. Jantungku berdegup. Ini pertama kalinya masakanku akan dicicipi oleh suami dan mertua.

"Enak, kan, Pa, masakan menantu kita?" tanya Bu Rianti pada suaminya. Pak Raditya menjawab pertanyaan Bu Rianti dengan mengacungkan jempolnya.

"Terima kasih, Ma, Pa," ucapku tersenyum. "Tapi masaknya bareng Mama tadi, kok."

"Mama cuma membantu," sahut Bu Rianti, kemudian ia menoleh pada Azkaa. "Duh, yang makan masakan istrinya lahap bener sampai lupa berkomentar."

Azkaa sedikit tersedak mendengar ucapan Bu Rianti. Ia meneguk minumannya lalu perlahan melanjutkan makannya lagi. Bu Rianti dan Pak Raditya tersenyum melihat Azkaa.

"Mama sama papa enggak menginap, kan?" tanya Azkaa.

"Memangnya kenapa kalau mama sama papa menginap?" tanya Bu Rianti.

"Enggak apa-apa," jawab Azkaa singkat.

"Pengennya menginap, sih. Tapi besok mama sama papa mau kondangan ke Bandung, mau berangkat pagi." Jawaban Bu Rianti membuatku lega.

Bukan apa-apa. Kalau Bu Rianti dan Pak Raditya menginap di sini, itu berarti aku dan Azkaa harus tidur sekamar. Aku dan Azkaa sama-sama tidak menginginkan hal itu. Setelah selesai makan, Pak Raditya mengajak Bu Rianti pulang karena ingin segera beristirahat. Sepeninggalan mereka, aku dan Azkaa beres-beres dapur. Azkaa mencuci piring, sedangkan aku menyimpan sisa makanan, membersihkan meja makan dan beberapa bagian dari kitchen set yang sedikit kotor setelah masak tadi. Setelahnya, kami kembali ke kamar masing-masing dan hanya berbicara seperlunya seperti hari-hari sebelumnya.

***

(First Published on Wattpad: 22 January 2021)

Senandung Azalea (Completed)Where stories live. Discover now