Bonus Part 6

8K 1.3K 64
                                    

"Dek, jangan nendang Ibu dong!" Mendengar itu, Nafi terkekeh. Baru saja ia meringis karena bayi yang berada di dalam perutnya menendang. Karena ada Hulya di sampingnya, tentu saja gadis kecil itu seakan memarahi adiknya yang sudah mulai aktif bergerak di dalam sana karena sudah membuat sang ibu meringis.

"Nggak apa-apa dong, Dedeknya, kan, udah besar ... bagus kalau bergerak terus," ucap Nafi, mengelus pipi sang putri sayang.

"Tapi Ibu sakit, kan?" Hulya kini menatap Nafi.

Membuat Nafi terkekeh lalu menggeleng pelan. "Sedikit." Nafi menyatuhkan jempol dan telunjuknya. "Tapi nggak apa-apa, Ibu justru seneng kalau Dedeknya bergerak, Dedeknya berarti sehat, dan sebentar lagi keluar dan ketemu kita, Hulya."

"Susunya sudah datang." Keduanya menoleh, menatap Aryan yang menghampiri mereka dengan membawa dua gelas susu di kedua tangannya. Laki-laki itu tersenyum, lalu mendudukan diri di samping Nafi setelah memberikan masing-masing perempuan tersayangnya susu yang sengaja ia buat.

"Terima kasih, Papa!" Aryan tersenyum, apalagi saat keduanya mengucapkan terima kasih berbarengan.

"Jadi, kalian tadi lagi ngomongin apa?" Aryan menerima gelas kosong yang di berikan sang putri, lalu membersihkan bekas susu yang ada di wajahnya dengan sapu tangan. "Hm?"

Hulya mendekati Aryan, meminta duduk di pangkuan sang papa dan menjawab, "Tadi Ibu gini, 'shhh', karena Dedeknya nendang, terus Uya liat perut Ibu bergerak-gerak, Pa." Sembari memperagakan Nafi yang tadi meringis.

Aryan lagi-lagi tersenyum. "Jadi?"

"Kasian Ibunya, Pa. Dedeknya kapan keluar, sih?" Di akhir kalimatnya, Aryan mendengar suara Hulya yang terdengar jengkel. Akhirnya, laki-laki itu memeluk sang putri erat.

"Sebentar lagi, Hulya. Sabar, ya ... Dedeknya sebentar lagi keluar," balas Aryan, mengelus surai putrinya dan menatap Nafi, satu tangannya kini mengelus perut Nafi yang sudah membesar. "Nanti kita tahu, Dedeknya Hulya ini perempuan atau laki-laki."

Nafi menyandarkan tubuhnya pada Aryan. Jadi, kini posisinya Aryan tengah melahun sang putri dan di sandari oleh Nafi. Laki-laki itu tidak bisa berhenti tersenyum, ia menggerakan tangannya, merangkul tubuh Nafi. Perempuan-perempuan kesayangannya ini begitu manja.

"Kalau Dedeknya laki-laki, nanti temenan sama Abang Iyal, kalau perempuan, nanti main sama Uya sama Dek Danis," ucap Hulya. "Pa? Dedek Danis sekarang larinya kenceng tau."

Aryan tertawa kecil. "Iya? Bagus dong," balasnya.

Hulya kini memeluk Aryan, menyandarkan kepalanya pada dada sang papa dan menghela napas. "Ayo ke rumah Om Bian sama Tante Hana, Pa. Uya udah lama enggak main sama Abang Iyal sama Dedek Danis," katanya.

Aryan mengusap punggung Hulya pelan. "Kamu ini, Ya. Orang baru ketemu mereka tiga hari lalu," ucapnya, "nanti, ya? Kalau sekarang kita ke rumah Om Bian atau Tante Hana, kasian Ibu Nafi. Ibu kamu sekarang, kan, bawa Dedek yang udah besar, berat, sayang." Lanjutnya menjelaskan.

Hulya kini menatap Nafi, tangannya bergerak mengelus perut Ibunya, gadis kecil itu mengangguk. "Iya, Pa!"

Nafi tersenyum, lalu memegang tangan Hulya yang masih berada di perutnya. "Putri Ibu pinter," katanya lalu mengelus-elusnya pelan. Setelah itu, hening. Ketiga orang dalam keluarga kecil itu seakan menikmati kehangatan satu sama lain. Sangat harmonis, dan tentu saja itu yang mereka suka.

Sampai, Hulya yang diam dengan tangan yang masih berada di perut Nafi terlonjak kaget, gadis kecil itu langsung melepaskan pelukannya dari Aryan dan menatap kedua orang tuanya. "Dedeknya nendang lagi!" Ya, seperti biasa ia adalah orang yang paling heboh.

Nafi yang juga merasa kaget hanya bisa tersenyum. "Dedeknya tau kalau Teteh Hulya-nya megang, jadi nyapa lagi deh," katanya lalu ikut meneggakan tubuhnya.

Aryan menatap Nafi. "Padahal tadi dia baru aja marah pas adiknya nendang terus kamu ngeringis, Fi," kekehnya.

"Hulya kayak Bang Aryan, kan? Peduli sama peka banget, walau--"

"Sedikit heboh dan agak cengeng kayak ibunya." Aryan buru-buru menyela ucapan Nafi, lalu mereka sama-sama tertawa sama menggeleng. "Enggak sedikit sama kayak deh." Koreksi Aryan selanjutnya.

"Jahilnya dari Bang Aryan, ya."

"Ibu nggak 'shhh' lagi?" Kini, keduanya kembali fokus pada Hulya, gadis itu bertanya dengan maksud apakah Nafi tidak meringis seperti tadi seakan mendengar apa yang baru saja Nafi dan Aryan bicarakan. Yang langsung di balas gelengan oleh Nafi, dan entah kenapa, tiba-tiba saja perempuan itu memeluk sang putri.

"Masya Allah, gemes banget yang bentar lagi jadi Teteh ini," ucap Nafi, diakhiri dengan mencubit pipi Hulya gemas saat melepas pelukan itu.

"Iya dong, anaknya Papa!" Hulya tersenyum bangga dan menatap Aryan. Hal yang selalu ia lakukan saat sang ibu memujinya. "Kata Papa, kan, kalau Uya jadi Ent--eh, Teteh ... Uya harus jagain Ibu sama Dedek, Uya nggak boleh banyak nangis lagi, Uya harus---" Gadis kecil itu menghentikan ucapannya. "Harus apalagi, Pa?"

Aryan kembali terkekeh. "Pokoknya harus sayang sama Dedeknya dan jadi anak?"

"Baik!"

Nafi kembali menyenderkan tubuhnya, tetapi kini pada sofa, perempuan itu tidak bisa memudarkan senyuman di wajahnya saat ini. Apalagi melihat Aryan dan Hulya yang terlihat kompak. Ya seperti yang kalian tahu, walaupun papa dan anak itu juga sering kali tidak akur karena kejahilan satu sama lainnya.

Memperhatikan suami dan putrinya yang sedang berinteraksi seru, Nafi tiba-tiba merasakan perutnya yang sedikit sakit, tetapi ia tidak terlalu memperdulikannya, kontraksi palsu sudah ia rasakan semenjak tadi malam.

Namun, semakin lama Nafi merasakan perutnya semakin tidak nyaman, perempuan itu menghela napas, ia menepuk bahu Aryan yang sedang mengobrol dengan Hulya, membuat sang suami langsung bertanya, "Apa, Fi?"

Nafi meringis. "B-bang, kayaknya Nafi mau lahiran."

_______________

Mohon maaf bila ada kesalahan penulisan 😊
Terima kasih sudah membaca part ini ♡

Semoga suka sama part ini, ya^^
Insya Allah lanjut part bonus terakhir (?) kalau votenya 680^^

Kisah Kita ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang