23 || Ganggu

9.8K 1.5K 42
                                    

"Fi, udah masak aja." Nafi yang baru saja akan memulai masak agak terlonjak kaget saat mendengar suara dari belakangnya. Perempuan itu menoleh, menghela napas lega lalu tersenyum saat melihat Mila yang berucap tadi.

"Eh, Bu." Nafi menyapa. "Ibu perlu sesuatu? Biar Nafi siapin." Lanjutnya bertanya yang langsung dibalas gelengan oleh Mila.

Kini Mila melangkah mendekati Nafi, mengelus punggung perempuan itu lalu berucap, "Kamu rajin banget, padahal belum jam enam tapi udah siapin makanan, Fi. Aryan kemana?" ucapnya.

Nafi tersenyum kecil. "Bang Aryan masih belum pulang dari masjid, Bu. Bentar lagi kayaknya pulang," jawabnya. "Ibu hari ini mau sarapan apa? Mumpung Nafi masih belum mulai masaknya."

Mila menggeleng. "Hari ini, biar Ibu yang masak, ya, Fi? Kamu disini temenin Ibu aja," ucapnya lalu mengambil alih posisi Nafi setelah menyuruh menantunya itu menjauh dengan halus. "Ibu kira kamu masih di kamar, eh ternyata udah mau masak aja ... seneng banget liatnya, pantes aja Aryan kalau ceritain kamu bahagia banget suaranya."

Nafi langsung mendekati mertuanya. "Bang Aryan suka ceritain Nafi, Bu?"

Mila terkekeh lalu mengangguk. "Iya, dia setiap telepon kayaknya sering banget ceritain kamu. Ibu seneng kalau kayak gini," katanya, "kamu juga harus terus sabar, ya? Udah tau, kan, gimana suami kamu itu?"

"Nafi udah terbiasa kok sama nyebelinnya Bang Aryan," ucap Nafi. "Ibu kok nggak bilang, sih, kalau Bang Aryan suka ceritain Nafi?"

"Kalian ini beda banget kalau Ibu telepon, kalau Ibu teleponan sama Aryan, dia terus aja ceritain kesehariannya. Kalau kamu, terus aja minta Ibu cerita. Nah, kalau kalian berdua telepon Ibu, malah berantem." Mila tertawa kecil.

Nafi ikut tertawa kecil.

Mila yang mulai memasak kini bertanya, "Aryan pernah marah sama kamu, Fi?"

Nafi nampak berpikir, lalu menggeleng. "Bang Aryan nggak pernah marah sama Nafi, Bu. Ya kalau cekcok pasti ada, kan? Tapi Bang Aryan itu peka banget dan nggak sungkan minta maaf kalau salah," ungkap Nafi. "Bang Aryan selalu bilang kalau kita punya masalah, kita harus beresin secara langsung dan pakai kepala dingin."

Mila lagi-lagi tersenyum. "Tau nggak, waktu pertama kali Ibu ketemu kamu dan kira kamu itu calon menantu Ibu, Ibu seneng banget. Ya walaupun Aryan bilang kalau yang Ibu lihat itu salah paham. Tapi, nggak tau kenapa, Ibu kayak ngerasa yakin sama kalian," ucapnya, "Aryan itu orangnya bodo amatan, apalagi sama perempuan. Tapi, waktu dia bilang dia di anggap bercanda sama kamu ... Aryan bener-bener kayak nggak nyaman sama gelisah tau, Fi."

Nafi terkekeh lagi. "Iya, Bu?"

"Iya, Fi." Mila mengangguk dan ikut terkekeh. "Aryan itu berarti banget buat Ibu sama Arsy, cuma Aryan laki-laki di rumah ini setelah Almarhum Papanya meninggal. Ibu masih inget, gimana Aryan yang biasanya Ibu manja kuatin Ibu, bilang kalau semuanya nggak berakhir dengan nggak adanya Papanya." Kini, suasana menjadi sendu.

"Ibu udah pernah bilang kalau Aryan itu orangnya keras, dia kadang terlalu tegas, Fi. Pokoknya, jangan sampai Aryan lepas kendali dan marah." Mila menatap Nafi sebentar. "Tapi Ibu selalu berhap kalau Aryan emang nggak akan sampai gitu sama menantu kesayangan Ibu ini."

Nafi memeluk Mila dari samping. "Ibu tau nggak kapan terkahir kali Bang Aryan marah?"

Mila tersenyum hangat lalu mengangguk. "Waktu sama Abian, nggak tau kenapa tuh anak marah sampai banting-banting pintu pas pulang," katanya, "kalau Aryan bersikap kayak gitu, kamu harus siap buat tegasin dia. Aryan nggak suka kalau misalnya dia lagi marah, terus dia liat orang yang dia marahin nangis. Aryan bakal diem kalau dimarahin balik."

"Aneh juga, ya, suami Nafi," gumam Nafi.

"Kalian sama anehnya kok." Mila tertawa kecil. "Oh iya, Fi. Kuliah kamu gimana? Lancar nggak ada masalah, kan?"

"Alhamdulillah, kuliah Nafi lancar, Bu," jawab Nafi. "Bang Aryan sering banget bantuin Nafi kerjain tugas."

"Kamu nggak terganggu, kan, sama pernikahan kamu? Maksud Ibu pembagian waktu kuliah sama kamu dirumah." Mila kembali bertanya.

"Bang Aryan suami yang pengertian, Bu. Bang Aryan nggak pernah tuntut apapun dari Nafi, kalau Nafi lagi sibuk kerjain tugas, kadang Bang Aryan yang urus pekerjaan rumah ... Nafi beruntung banget, ya, Bu? Punya suami kayak Bang Aryan."

"Tugas Aryan ya emang gitu, Fi," balas Mila. "Kalian sama-sama beruntung kok bisa jadi seperti ini sekarang. Sama kayak Ibu juga." Lalu, perempuan itu mengelus surai Nafi dengan lembut.

"Ibu tunggu cucu pertama Ibu, ya, Fi," bisik Mila selanjutnya. "Tapi nggak usah terlalu pikirin dulu, nggak apa-apa kok, Ibu udah pernah tanya Aryan dan Aryan bilang kalian nggak nunda, kan? Lagian, sekarang kamu masih harus kerjain skripsi, kan? Semoga cepet lulus ya, Fi."

Nafi tersenyum dan mengeratkan pelukannya. "Makasih banyak, Bu." Lalu, perempuan itu melepaskan pelukannya dan menatap ibu mertuanya sembari tersenyum. "Nafi jadi kep---"

"Seru banget kayaknya!" Ucapan Nafi terhenti, keduanya kini menoleh pada suara yang baru saja mereka dengar. Menghela napas, rupanya itu suara Aryan yang terlihat baru saja pulang dari masjid.

Aryan kini melangkah mendekati keduanya sembari berucap, "Kayaknya nih, ya. Ibu sama kamu, Fi, ngomongin aku." Lalu berdiri di samping Nafi. "Iya, kan?"

Nafi mengerutkan keningnya dan menatap Aryan. "Bang Aryan kepedean banget," balasnya, "Bang Aryan juga ganggu ah, tau Nafi sama Ibu lagi ngobrol, malah datang, kepotong, kan, obrolannya."

Aryan terkekeh lalu mengacak surai istrinya jahil. "Biarin dong." Laki-laki itu menatap sang ibu setelahnya, memeluknya sebentar dari samping dan berucap, "Wah, kangen banget masakan Ibu, akhirnya sekarang bisa mengobati rasa kangen itu."

Mila menggeleng. "Iya nih, kamu ganggu Ibu sama Nafi," balasnya malah menyambung pada ucapan Nafi.

Aryan mendengkus pelan. "Kalian lagi ngomongin apa, sih? Pasti ngomongin aku, kan?"

"Kalau kita ngomongin Bang Aryan emang kenapa?" balas Nafi menaikan dua alisnya.

"Ya kalau yang di omonginnya baik sih, Alhamdulillah. Tapi kalau yang di omonginnya kejelekan aku ...." Aryan menjeda ucapannya. "Emang ada?" Setelah itu, tawanya pecah. Membuat Nafi dan Mila saling menatap dan mengalihkan tatapannya pada Aryan dengan aneh.

Menyadari itu, Aryan langsung menghentikan tawanya. Lalu mendengar Nafi berucap, "Bang Aryan, kan, nyebelin. Iya, kan, Bu?"

Aryan lihat Mila mengangguk. "Suami kamu itu nyebelinnya udah dari kecil, Fi. Tau nggak, dulu Aryan sering banget--"

"Eittt, tidak boleh berkata seperti itu wahai Ibunda!" Aryan langsung memotong ucapan Mila. Laki-laki itu lalu menarik tangan Nafi. "Nah, Aryan culik menantu Ibu dulu, ya ...."

"Menghindar kamu, Yan?" Mila menatap Aryan.

"Nggak dong, Aryan mau culik menantu Ibu aja," balas Aryan. "Tapi menghindar juga salah satunya." Lalu, ia tertawa renyah dan merangkul Nafi.

"Eh, Bang. Nafi lagi temenin Ibu masak!" Nafi berusaha melepaskan rangkulan Aryan.

Aryan menggeleng. "Nggak sayang, yuk bantu aku siap-siap kerja."

"Orang ini baru jam enam kurang, Bang Aryan kerja jam delapa--"

"Udah-udah, kamu ladenin aja suami kamu yang manja itu aja, Fi. Takutnya nanti dia nangis," timpal Mila yang menggeleng sembari tertawa renyah melihat putra dan menantunya itu.

"Tuh, kan. Bang Aryan ganggu." Nafi menatap Aryan kesal.

"Apa itu ganggu? Yuk, ikut aku!"

[Bersambung]

Mohon maaf bila ada kesalahan penulisan 😊
Terima kasih sudah membaca part ini ♡

Kisah Kita ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang