25 || Pulang

9.1K 1.4K 36
                                    

"Pantesan lama." Aryan dan Nafi yang baru saja keluar dari rumah langsung menatap Mila yang baru berucap.

Aryan yang sedari tadi merangkul Nafi, terkekeh. Melepaskan rangkulan itu dengan cepat agar Nafi bisa mengunci pintu dan berucap, "Tadi Nafi cari buku dulu, Bu. Jadi, Aryan bantuin deh karena Aryan baik."

Nafi yang selesai mengunci pintu kini mendekati sang ibu mertua, tersenyum terpaksa pada Aryan dan berucap, "Bantu acak-acak, Bu." Yang membuat Mila langsung tertawa renyah. "Nafi suruh coba cari di rak buku, Bang Aryan malah cari di seisi kamar, udah itu nggak rapi lagi nyarinya."

Mila menggeleng. "Kamu ini, Fi. Hal yang kayak gitu, jangan nyuruh Aryan," katanya, "yuk berangkat, Arsy udah nunggu di mobil. Kamu juga takut telat bimbingannya, kan, Fi?"

Nafi mengangguk, menggandeng tangan Mila lalu berjalan menuju mobil. Setelah sama-sama masuk, Aryan ikut memasuki mobil juga, memakai sabuk pengamanan dengan cepat, menyelamatkan mesin mobil dan tak lama, mobil melaju keluar dari pekarangan.

Siang ini, Aryan harus izin dari kantornya untuk mengantarkan Ibu, adik dan istrinya. Ya, Mila dan Arsy akan kembali ke Yogyakarta, sedang Nafi, istrinya itu juga harus pergi ke kampusnya untuk bimbingan.

"Inget lho pesen-pesen Ibu kemarin, kalian harus terus baik-baik aja." Setelah cukup lama hening, akhirnya Mila angkat suara. Membuat Nafi dan Aryan yang tadinya sibuk dengan urusannya masing-masing mengangguk.

"Ibu juga, harus jaga kesehatan terus, jangan kecapekan, pokoknya harus dengerin apa yang Arsy bilang nanti. Apapun kalau itu untuk kebaikan Ibu, Ibu harus turutin adik Aryan," balas Aryan dengan mata yang masih fokus menyetir. "Terus kamu, Dek. Jagain Ibu terus, kamu juga baik-baik disana ... kalau ada masalah, telepon Abang. Dan kalian, kalian emang harus telepon Abang setiap hari."

Nafi tersenyum, Aryan memang sangatlah menyayangi ibu dan adiknya itu. Ia beruntung, bisa diperlakukan seperti itu juga oleh Aryan.

"Iya, Abang." Arsy mengangguk.

"Terus soal Ringga, Dek. Kata Ibu dia pe--"

"Lho? Kok Abang malah bahas Mas Ringga lagi, sih?" solot Arsy memotong ucapan Aryan, membuat semua yang ada di sana tergelak.

"Makanya, kalau Abang ngomong, jangan di potong dulu, Dek." Aryan menggeleng. "Kata Ibu, Ringga tuh yang bantu-bantu perpindahan kalian, kan? Nah, Abang mau kamu bilang ke dia, Abang minta tolong. Ada temen Abang yang mau urus perpindahan juga."

Arsy langsung menunduk sembari menutup wajahnya dengan jilbab, membuat Nafi terkekeh dan berucap, "Kalau sekalian mau telepon ke Bang Aryan juga nggak apa-apa, Sy. Siapa tau ada niat yang mau disampaikan." Yang membuat semua lagi-lagi tergelak.

"Kalian ini, bisa aja ngegoda adik kalian, liat ... mukanya udah merah banget kayak tomat," timpal Mila.

Arsy meneggakan kepala. "Ya udah, nanti Arsy bilang sama Mas Ringga. Kalau serius, datangin Bang Aryan," katanya berani.

Aryan tersenyum. "Siapapun itu, Dek. Bukan cuma buat Ringga aja, kalau emang ada yang mau serius ke kamu, ya harus langsung bilang Abang." Lalu, ia mematikan mesin mobil karena sudah sampai di depan bandara.

Semuanya turun, dengan Aryan yang langsung melangkah menuju bagasi dan menurunkan satu koper sedang milik Arsy dan Mila. Saat mendekat, laki-laki itu melihat sang istri tengah memeluk Mila, mereka hanya mengantarkan sampai sini, karena Nafi pun harus ke kampusnya, apalagi, jarak bandara menuju kampus Nafi bisa di katakan lumayan jauh.

Setelah melepaskan pelukannya dari Nafi, Mila kini memeluk Aryan dengan erat. "Ibu tunggu kamu di Jogja, Yan. Banyak juga keluarga disana yang mau ketemu kamu dan istrimu," ucapnya.

Setelah itu, Mila melepaskan pelukannya. Aryan yang baru saja meneggakan tubuhnya langsung di buat kaget karena Arsy memeluknya begitu erat dengan cepat. "Walau Abang nyebelin, tapi Arsy tetep sayang Abang. Bang Aryan harus sehat juga disini, tunggu Arsy kesini lagi. Tapi inget, kalau Arsy kesini lagi, Arsy nggak mau di goda-godain kayak tadi."

Aryan terkekeh. "Nggak, Dek," balasnya lalu mengeratkan pelukannya pada sang adik.

"Nggak akan goda Arsy lagi?" tanya Arsy memastikan.

"Bukan, Nggak akan pernah berhenti goda kamu lebih tepatnya," jawab Aryan yang langsung mendapatkan cubitan kecil di perutnya.

Aryan meringis. "Galak amat, Dek. Kayak Kakak ipar kamu," ucapnya menatap Nafi sebentar.

"Kok Bang Aryan bawa-bawa Nafi, sih?" ujar Nafi tidak suka.

Mila menggeleng. "Udah-udah, kita harus berangkat. Nanti ketinggalan pesawat lagi." Buru-buru ia melerai. Setelah itu, ia kembali memeluk singkat putra dan menantunya.

"Eh iya, Dek. Inget, jangan terlalu banyak bawa motor kalau emang belum lancar nyetirnya, apalagi nggak ada SIM." Peringat Aryan sebelum Mila dan Arsy melangkah masuk.

Nafi menatap Aryan, menggandeng tangan suaminya itu dan berucap, "Kalau urusan kuliah Nafi udah selesai, kita ke Jogja ya, Bang? Ibu sama Arsy juga bakal kesini lagi kok." Lalu tersenyum saat Aryan membalas tatapannya. Setelah itu, keduanya sama-sama kembali masuk ke dalam mobil.

Mobil kembali melaju, dan Aryan langsung membuka suara, "Agak aneh ya, Fi? Padahal udah tujuh bulan aku pisah tinggal sama Ibu dan Arsy, tapi nggak tau kenapa, setiap mau pisah lagi tuh kayaknya nggak mau gitu. Apalagi, sekarang Ibu sama Arsy cuma tiga hari."

Nafi tersenyum, lalu mengelus tangan kiri Aryan yang sedang memegang stir dan membalas, "Bang Aryan tuh kan sayang sama mereka, Nafi juga sama. Jangan sedih dong, kan ada Nafi juga sama Bang Aryan sekarang. Kalau Bang Aryan mau secepatnya ketemu Ibu, Nafi bisa kok atur waktu Nafi, buat luangin waktu ikut Bang Aryan ke Jogja."

Aryan menghentikan mobilnya karena lampu lalu lintas berwarna merah, laki-laki itu menatap Nafi lalu menjawil hidung istrinya itu gemas. "Baik banget istri aku ini," katanya,  "tapi nggak apa-apa kok, Fi. Kamu fokus aja sama kuliah kamu sekarang."

Nafi mengangguk. "Fokus kok, apalagi setiap malam ada yang bantuin revisi." Ia memasang senyuman yang lebar.

Aryan menggeleng. "Jangan senyum gitu, Fi. Kamu terlalu manis," katanya.

Nafi langsung memasang wajah datar dan mendengkus, Aryan yang sudah menggombal kembali lagi. "Iya, nggak akan senyum ke Bang Aryan lagi, setelah ini Nafi mau ke kampus, senyum ke orang-orang kampus, ke dosen bimbingan atau ke penjaga perpus, ke semuanya, biar manisnya buat mereka aja."

Aryan langsung tertawa. "Tuh, kan. Marah," ucapnya di sela tawa. "Senyum aja, ibadah kok itu. Cuma jangan banyak-banyak, cukup aku aja yang kebanyakan liat senyum kamu."

"Huaaa, Bang Aryan kenapa? Kok malah terus gombal?" Nafi menggeleng.

"Biar kamu seneng."

"Dosen pembimbing Nafi ganteng lho, Bang. Tinggi, baik, ramah juga sama mahasiswanya ... kalau Nafi senyum banyak-banyak ke dosen Nafi yang itu, gimana?" tanya Nafi, berniat menggoda Aryan.

Namun, rupanya gagal. Karena Aryan berucap, "Tau, Fi. Beliau emang ganteng, tinggi, baik, ramah. Tapi umurnya udah kepala lima." Lalu, laki-laki itu tertawa. "Kamu kalau mau buat aku cemburu ya mikir dulu, Fi. Orang kamu pernah nyeritain dosen kamu juga."

Nafi menghela napas kasar. "Bang Aryan memang nyebelin."

"Tapi sayang, kan?"

"Y-y ya iyalah!"

[Bersambung]

Mohon maaf bila ada kesalahan penulisan 😊
Terima kasih sudah membaca part ini ♡

Kisah Kita ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang