11 || Bentar Lagi Nikah

13.1K 1.9K 137
                                    

Nafi menatap kertas didepannya, membacanya dengan teliti dan merekahkan senyumnya. Ucapan Aryan benar-benar terjadi kemarin, saat Nafi baru saja pulang kuliah. Nafi dikagetkan karena sang ibu langsung menariknya dan membrondonginya dengan banyak sekali pertanyaan.

Bagaimana tidak, Yulia benar-benar dibuat kaget karena Aryan tiba-tiba datang dan meminta izin padanya untuk mengenal Nafi lebih dalam dalam proses ta'aruf. Namun, dalam lubuk hatinya yang paling dalam, tentu saja ibu Nafi itu bahagia.

"Gimana, Fi?" Nafi menoleh, melihat Yulia yang ternyata kini sudah duduk di sampingnya. Nafi sampai tidak menyadari karena ia fokus membaca CV ta'aruf  yang diberikan Aryan.

Nafi menatap Yulia. "Emang Ibu gak apa-apa, kalau misalnya Nafi nikah pas masih kuliah?" tanyanya.

"Eh, kok nanya gitu?" Yulia tersenyum lalu mengelus kepala putrinya yang masih terbalut jilbab. "Justru, Ibu seneng kalau kamu bener-bener nikah, tugas Ibu menjaga kamu selesai. Bukan apa-apa, dengan pernikahan, itu akan menjaga kamu. Misalnya, dari pacaran," tuturnya lembut.

"Pantes aja Mbak Mila terus bilang kalau kamu sama Aryan serasi, orang kalian lumayan deket ternyata. Kamu kok gak bilang sama Ibu?" Kini, tatapan Yulia tertuju pada Nafi.

Nafi terkekeh. "Orang Nafi sama Bang Aryan cuma deket biasa. Maksudnya ya kayak temen gitu, ngobrol, cerita, becanda. Makanya, Nafi juga kaget waktu Bang Aryan bilang mau nikah sama Nafi," balasnya.

"Sekarang, semuanya terserah kamu, Fi. Mau nolak atau nerima, ini semua ada di kamu. Ibu gak akan maksa kalau kamu gak suka, dan Aryan juga kayak gitu. Cuma, lihat keseriusan Aryan ke kamu sampai dia ambil langkah ini, Ibu dukung kamu buat pertimbangin semua dan nerima Aryan," ucap Yulia. "Ayah kamu pasti seneng disana, tau putrinya yang pembangkang ini sekarang udah berubah."

Seketika, Nafi menunduk. Mengingat ayahnya yang sudah hampir delapan tahun meninggal. Ah, dulu ia memanglah putri yang pembangkang. Keras kepala hingga susah di atur. Nafi memang harus berterima kasih pada ibunya yang tahan dengan sikapnya selama ini. Juga pada Hana, yang memperkenalkannya lebih dekat dengan agama.

Nafi tersenyum. "Nafi bakal pertimbangin semua ini, minta petunjuk sama Allah juga. Makasih, ya, Bu."

***

Aryan keluar dari sebuah kedai makanan dengan senyum yang merekah. Lega rasanya, setelah banyak ditanyai oleh Yulia, akhirnya ia bisa pulang dengan harapan kabar baik yang terdengar ditelinganya.

Kini, laki-laki itu baru saja membeli makanan atas titipan sahabatnya yang siapa lagi jika bukan Abian. Karena ibu dan adiknya tidak ada di rumah hingga malam, pulang dari kediaman Nafi Aryan memang berniat datang dan berkunjung ke rumah Abian, lagi-lagi.

Saat menelepon tadi, Abian meminta tolong agar Aryan membelikan beberapa makanan yang diinginkan oleh Hana yang sedang mengidam. Jadi, mau tak mau Aryan harus menurutinya. Perasaannya juga sedang sangat baik sekarang, jadi itu bukanlah masalah.

Aryan masuk kedalam mobil, lalu kembali melajukannya menuju kediaman sang sahabat. Saat sampai didepan pagar rumah, Aryan langsung turun dan membukanya, setelah itu memasukkan mobilnya kedalam pekarangan dan kembali menutup pagar lalu berjalan ke arah pintu.

Baru saja mengangkat tangan untuk mengetuk pintu, Aryan langsung menurunkan tangannya karena Abian sudah lebih dulu membukakan pintu. Aryan memberi salam dengan wajah yang cerah, dibalas Abian, "Waalaikumsalam, masuk."

Aryan masuk lalu mendudukan dirinya di ruang tamu. "Tante Wina kemana?" tanyanya.

"Mama lagi keluar," jawab Abian lalu ikut duduk di depan Aryan. "Tumben lo mau gue titipin beli makanan, Yan? Muka lo juga keliatan seneng gitu, kesambet lo?" Lanjutnya bertanya.

Baru saja akan menjawab, Aryan dibuat menoleh saat mendengar, "Wah, makanan ini buat Hana kan, Kak?" Hana bertanya seperti itu sembari mengambil beberapa makanan yang tadi Aryan simpan di meja.

Aryan mengangguk. "Iya."

"Eh, Kak Aryan keliatannya seneng banget sampe senyum-senyum gitu? Ada apa?" Kini, Hana juga bertanya. Bagaimana tidak? Sedari tadi senyuman kecil di wajah Aryan sama sekali tidak memudar.

Aryan menatap pasangan didepannya. "Gue baru aja ajak Nafi ta'aruf. Do'ain, ya, semoga diterima," katanya. Aryan sebenarnya berniat tidak memberi tahu siapapun kecuali adik dan ibunya tentang ini. Namun, mengingat Abian dan Hana yang sudah seperti saudaranya sendiri, jadi, Aryan memberitahukan hal ini pada mereka.

Terlihat Abian hanya mengangguk, berbeda dengan istrinya yang sudah menatap kaget dan langsung bertanya, "Kak Aryan ajak Nafi ta'aruf? Kok bisa?"

"Gue aw--"

"Dia deket sama Nafi hampir dua bulan ini, Han. Sebenarnya kalau bukan karena aku yang nyadarin Aryan, mungkin dia gak akan kayak gini." Abian langsung memotong Aryan yang sudah akan menjawab.

Aryan menghela napas. "Iya-iya," katanya mengiyakan ucapan Abian. Karena benar, ucapan Abian memang benar adanya.

Hana mengangguk. "Nah, gitu dong ... dapetnya pahala bukan terus nabung dosa," katanya lalu melangkah ke dapur setelah berucap, "Hana mau ambil dulu piring, kalian kalau mau ini ke meja makan aja. Ngomong-ngomong, makasih, ya, Kak Aryan."

Kini, hanya ada Aryan dan Abian di ruang tamu. "Nikah susah gak, Bi?" Entah kenapa, Aryan tiba-tiba bertanya seperti itu pada Abian.

"Kalau kasusnya kayak gue, susah, Yan. Lo masih inget, kan, gimana lo mukulin gue wak--udahlah jangan spoiler, nanti yang belum baca cerita gue tau lagi." Abian menjawab.

Aryan terkekeh lalu mengangguk. "Maksud gue, setelah kejadian itu, setelah lo bucin sama Hana. Gimana pernikahan menurut lo?"

"Ya gitu, banyak rasanya, ada bahagia, ada kesel, ada pengen marah, males jelasin gue," jawab Abian lalu menyenderkan tubuhnya pada sofa.

Mendengar itu, Aryan langsung melayangkan bantal sofa pada Abian sembari mendengkus kesal. "Lo gimana, sih? Gue nanya serius malah dijawab gak jelas, aneh lo!"

Abian meneggakan tubuhnya kembali dan menatap Aryan. "Kok lo sewot sih, Yan?!"

"Lo tuh yang nyebelin!"

"Lo y--"

"Kalian bisa damai gak? Heran, udah gede masih aja kayak anak SMP!"

Mereka sama-sama terdiam saat mendengar Hana yang berucap agak keras dari dapur. Rupanya, perempuan yang sedang mengandung itu mendengar Aryan dan Abian yang baru saja akan bertengkar.

Setelah terkekeh kecil, Abian menatap Aryan. "Nikah itu bukan cuma tentang bahagia atau enggak, yang paling penting menurut gue sih ya niat, soalnya gue ngalamin gimana nikah tanpa niat itu, Yan," katanya, "Jangan sampai lo kayak gue, Yan. Lo harus bener-bener niat nikah buat ibadah dan jauhin diri dari dosa. Bukan karena Tante Mila yang desek lo nikah."

Aryan mengangguki ucapan Abian. "Ya masa gue nikah cuma karena Ibu gue aja, Bi? Ya enggak, lah! Insya Allah niat gue baik, gue udah sampai di titik ini juga karena gue pertimbangin semuanya dengan mateng. Doain gue, ya!" katanya.

"Doain apa?"

"Ya doain biar permintaan ta'aruf gue diterima, lah, sahabat! Kalau diterima dan berlanjut dengan baik, kan, bentar lagi nikah gue."

[Bersambung]

Mohon maaf bila ada kesalahan penulisan 😊
Terima kasih sudah membaca part ini ♡

Kisah Kita ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang