37 || Pembelajaran

10.5K 1.4K 76
                                    

"Biarin gue sendiri yang masuk, Bi," kata Aryan saat sudah berada didepan pintu sebuah kamar di rumah Abian. Laki-laki itu menatap Abian, meyakinkan sahabatnya dan membuka pintu setelah Abian mengangguk dan pergi bersama Hana yang ada di sampingnya.

Saat membuka pintu, yang Aryan lihat adalah, Nafi yang tengah berbaring membelakanginya, entah tertidur atau tidak, yang pasti, kini laki-laki itu melangkah mendekat setelah menutup pintunya dengan pelan. "Fi ...." panggil Aryan yang langsung membuat kepala sang istri bergerak, tandanya, Nafi tidak tertidur.

Aryan duduk di tepi ranjang, menyentuh bahu Nafi dan berucap, "Kalau kamu nggak tidur, ayo kita ngobrol," ajaknya dengan suara pelan nyaris berbisik.

Nafi yang sedari tadi memang tidak tertidur kini mengubah posisinya menjadi terlentang, menatap Aryan lalu menghela napas dan mendudukan diri menyandar pada ranjang. "A-ada apa, Bang?" Perempuan itu bertanya seakan lupa kejadian yang baru saja terjadi tadi pagi.

Aryan menatap istrinya dalam, tangannya bergerak mengusap surai Nafi dan berucap, "Aku salah sama kamu, Fi. Dan aku nggak bisa nggak bilang maaf untuk itu. Maaf, ya?"

Nafi tersenyum kecil. "Bang Aryan tadi kenapa? Ucapan Nafi salah, ya? Sampai Bang Aryan kayak gitu? Nafi juga minta maaf." Yang harus ia lakukan adalah, membalas semuanya dengan baik, agar masalah mereka cepat selesai. Nafi tidak mau hubungan mereka seperti apa yang terjadi akhir-akhir ini terus menerus.

"Aku nggak bisa menyalahkan kamu, karena disini kamu bilang gitu karena aku. Aku akui, persepsiku mandang semua ini salah, dan apa yang aku anggap bener itu nggak semuanya bener, Fi," ungkap Aryan. "Buat tadi, aku minta maaf. Bukan karena apa, aku cuma nggak mau amarahku meledak di depan kamu. K-kamu tau, kan, kalau aku punya em--"

"Nafi tau, Bang," potong Nafi cepat. "Tapi, cara kayak gitu nggak tepat, Bang."

Aryan mengangguk. "Aku minta maaf lagi, karena aku udah nggak terbuka sama kamu," ucapnya, "aku sadar, masalah ini terjadi karena aku yang nggak terbuka, dan untuk menyalahkan kamu berpikir negatif, itu nggak bener. Karena disini, semua kesalahan aku."

Nafi meneggakan tubuhnya. "Ayo selesain masalah kita sekarang, Bang. Selesai dalam artian yang sebenarnya, bukan cuma kamu minta maaf, tapi ngelakuin hal yang sama setelahnya," ucap Nafi sembari menyindir. "Bang Aryan selalu bilang, kan? Kita harus selesain semua masalah secepatnya, dan Nafi mau kayak gitu ... Nafi nggak mau berada di dalam hubungan kita yang kayak sekarang, N-nafi kangen Bang Aryan yang dulu."

Aryan tersenyum. "Aku jelasin semuanya, ya?" katanya, lalu mulai menjelaskan semuanya pada Nafi. Dari awal mula masalah Yasa, hingga Yara yang sekarang berada di rumah sakit.

Cukup lama Aryan menjelaskan, hingga saat Aryan menjelaskan, laki-laki itu melihat Nafi yang masih mencoba menghapus air matanya. "S-seharusnya Nafi nggak ngomong kayak tadi pagi buat Yara," lirihnya. Membuat Aryan mendekat dan membawa sang istri ke dalam pelukan.

"Aku udah kehilangan Papa, Ibu sama Arsy, Fi. Rasa dimana aku tau semua itu, sampai sekarang aku nggak bisa lupa. Dan Yara, Yara udah kayak adik buat aku, bahkan Ibu bilang gitu waktu aku harus tinggal dan ngurusin dia," bisik Aryan pada Nafi. "Dan kamu, kamu adalah satu-satunya orang yang selalu buat aku kuat, aku nggak tau gimana kalutnya aku kalau kamu nggak bawel dengan terus bilang kalau aku jangan sedih."

"Buat sekarang, cukup sedih karena kehilangan Ibu sama Arsy. Aku belum siap menerima kehilangan orang terdekat yang aku punya sekarang." Tak terasa, Aryan juga merasakan matanya memanas, laki-laki itu dengan cepat menyeka air matanya dan mengeratkan pelukannya pada Nafi.

Nafi ikut menyeka air matanya, menenangkan diri di dalam dekapan sang suami, lalu melepaskannya setelah tenang. Perempuan itu menatap Aryan, tersenyum kecil lalu menggenggam tangan suaminya itu. "Bang Aryan dengerin Nafi, ya?"

Aryan mengangguk.

"Nafi tau, Bang Aryan kayak gini dan nggak bilang sama Nafi itu karena Bang Aryan nggak mau nambahin beban pikiran Nafi," ucapnya, "tapi inget, Bang. Nafi ini istrinya Bang Aryan, dan terbuka untuk semua hal itu harus, karena menurut Nafi, sekarang hidup kita jadi satu setelah menikah."

"Nafi emang nggak bisa menyalahkan pikiran Bang Aryan yang kayak gitu, tapi berpikir jauh dan mikirin hal-hal yang akan terjadi kalau Bang Aryan mengambil langkah sesuatu juga penting. Biar nggak ada salah paham, Bang." Nafi melepas genggaman tangannya dan mengusap lengan Aryan. "Contohnya tadi, sikap Bang Aryan yang nggak terbuka ke Nafi, buat pikiran Nafi malah makin terbebani. Nafi mikirin kemungkinan-kemungkinan yang terjadi, dan itu kesalahannya."

"Emang, Bang Aryan lakuin semua ini karena sayang sama orang-orang terdekat Bang Aryan, Bang Aryan nggak mau bikin kita ribet. Tapi Bang Aryan egois sama diri Bang Aryan sendiri, Bang Aryan nggak bisa urusin ini sendirian, kan?" Nafi masih belum berhenti berucap. "Orang-orang dideket Bang Aryan, yang selalu siap bantu Bang Aryan, nggak akan ngerasa keberatan buat hal itu."

Kembali memeluk Nafi, Aryan berucap, "Aku bakal jadiin semua ini pembelajaran, Fi," katanya.

Nafi mengangguk, lalu memukul Aryan dengan cepat setelahnya. "Tapi Nafi masih kesel, ya! Pokoknya, Nafi nggak mau Bang Aryan kayak gitu lagi, awas aja kalau kayak gitu. Nafi sama Dedek mungil marah beneran lho sama Abang." Kini, perempuan itu mencairkan suasana yang ada. "Karena Bang Aryan udah buat Nafi overthingking dan selalu buat Nafi kesel. Bang Aryan harus bolehin Nafi jenguk Yara."

"Kamu, kan, harus selesain tugas kamu, Fi," ucap Aryan yang kini sudah lebih merasa lega.

"Lha? Fungsinya Bang Aryan sebagai suami apa? Bantu Nafi, kan? Jadi, nggak usah pusing mikirin itu, kalau Nafi di bantu sama orang yang sudah berpengalaman," katanya lalu terkekeh. "Udah, ah. Pokoknya, besok kita jengukin Yara."

"Ya udah, iya," ucap Aryan lalu melepaskan pelukan mereka kembali. "Jadi, sekarang baikan, nih?"

Nafi mengangguk. "Iyalah! Bang Aryan mau Nafi natap-natap Bang Aryan tajam lagi?"

Aryan menggeleng. "Nggak lah, serem. Melebihi or--"

"Jangan mulai, ya. Yuk kita keluar, inget ini rumah Bang Bian sama Hana," ucap Nafi lalu terkekeh. "Untung aja Tante Wina lagi nggak ada." Lanjutnya lalu memakai jilbab yang tadi ia sampirkan di dekat samping ranjang.

Setelah itu, mereka melangkah keluar kamar dan menemui Abian dan Hana yang berada di ruang tengah.

Menyadari Nafi dan Aryan menghampirinya dan Hana, Abian langsung menatap keduanya dan berucap, "Udah, kan?" tanyanya yang langsung diangguki oleh Nafi dan Aryan. "Bagus, jadi gue nggak perlu lakuin hal yang lo lakuin biar gue sadar, Yan."

Aryan berdecak lalu ikut duduk disana. "Mohon maaf, gue nggak kayak lo, ya!"

"Lha? Gue sekarang udah nggak kayak gitu, kan?"

"Tetep aja, lo kayak gini sekarang, itu karena siapa? Gue juga, kan? Gue, kan, orang yang berpengaruh besar dalam hubungan lo sama Hana." Aryan menatap Abian.

Abian membalas tatapan itu. "Heh, gue juga berpengaruh besar hari ini! Kalau gue nggak temuin lo, nyuruh lo terbuka dan bawa lo kesini. Nggak akan tuh kalian nempel-nempel kayak gini," balasnya tidak mau kalah.

"Hana nggak suka liat Kak Aryan sama Nafi berantem kayak tadi. Tapi liat Kak Bian sama Kak Aryan berantem kayak gini, kok Hana suka, ya?" celetuk Hana yang sedari tadi diam, yang kini membuat semua menatapnya termasuk Nafi.

"Beda, Han. Mereka berantemnya kayak anak TK," balas Nafi.

"Udah-udah, gue juga lebih suka lo sama Aryan berantem cuma karena nentuin siapa yang buka pintu duluan doang, nggak kayak tadi."

"Kok malah kita semua ribut, sih?!"

[Bersambung]

Mohon maaf bila ada kesalahan penulisan 😊
Terima kasih sudah membaca part ini ♡

Kisah Kita ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang