41 || Khawatir

10.4K 1.5K 66
                                    

Nafi mendengkus saat mendengar tawa Abian, perempuan itu baru saja meluapkan kekesalannya beberapa jam yang lalu karena membuatnya khawatir dengan memasang wajah panik padahal Aryan sudah terbagun. "Nyebelin banget emang suami kamu, Han," ucap Nafi menatap Abian tajam.

Hana terkekeh. "Kak, udah," ucapnya menyuruh Abian berhenti tertawa, setelah tawa Abian menghentikan tawanya, Hana kembali berucap, "Minta maaf sama Nafi, Kak. Udah nangis loh tadi gara-gara Kak Bian."

Abian menatap istrinya, lalu mengangguk dan melihat Nafi. "Udah dong, jangan nangis lagi, Aryan udah bangun kok, tinggal nunggu Dokter di dalem yang lagi meriksa dia," katanya, "Semoga nggak ada komplikasi apa-apa, biar Aryan cepet pulih dan pulang."

Nafi menghela napas lega, lalu tersenyum dan membalas, "Aamiin." Perempuan itu sangat senang sekarang, walau masih harus menunggu pemeriksaan dokter, tetapi, Nafi senang karena Aryan sudah keluar dari masa komanya setelah dua minggu.

"Oh iya, Fi, sampai lupa gue ... tolong teleponin Mama sama Tante Yulia, kasih kabar ini ke mereka," suruh Abian yang langsung diangguki oleh Nafi. Nafi segera mengambil ponselnya dan menelepon ibunya, membiarkan Abian mengobrol dengan dokter yang baru saja keluar.

Selesai memberi kabar pada ibunya, Nafi mematikan sambungan telepon dan melihat Abian yang berjalan mendekat ke arahnya dan Hana, laki-laki itu memasang senyum di wajahnya seraya berucap, "Alhamdulillah, nggak terjadi komplikasi apa-apa sama Aryan, Aryan bakalan di keluarin dari ICU, tapi masih harus di rawat di rumah sakit sampai pulih."

Nafi menatap Hana yang ada di sampingnya dan tersenyum, perempuan itu terus saja mengucapkan rasa syukurnya untuk apa yang baru saja ia dengar dari Abian. "Ya udah, Nafi pengen ketemu Bang Aryan, Bang," katanya antusias.

Abian mengangguk. "Yuk, sekarang nggak perlu masuk sendiri-sendiri kayak di ruang ICU," katanya, "gue mau marahin si Aryan karena udah buat repot dua minggu ini." Lanjutnya bergurau untuk mencairkan suasana. Setelah itu, ketiganya berjalan untuk menemui Aryan yang baru saja di pindahkan.

Nafi masuk pertama, matanya langsung tertuju pada sosok Aryan yang terbaring di ranjang. Namun, kini ia mengulas senyum, bukan menatap dengan wajah sedih seperti kemarin-kemarin karena melihat Aryan yang sudah membuka matanya.

Perempuan itu langsung menghampiri Aryan, menatap suaminya itu dan tersenyum. "Assalamualaikum, Abang," katanya pelan lalu mengambil tangan Aryan dan menciumnya.

Tidak ada respon dari Aryan, laki-laki itu hanya menggerakan bola matanya dan menatap Nafi, baru saja Nafi akan kembali berucap, tetapi tidak jadi karena Abian yang ada di belakang Nafi berucap, "Bagus, Yan. Buat orang khawatir sampe dua minggu."

Nafi membalikan tubuhnya menatap Abian. "Sabar, Bang. Kaget nanti suami Nafi," balasnya.

Abian menggeleng. "Bercanda, Fi," katanya, "kayaknya gue sama Hana harus keluar dulu deh sekarang." Lanjutnya lalu merangkul Hana yang ada di sampingnya.

Nafi tersenyum. "Boleh banget tuh, Bang."

"Tuh, kan." Abian tertawa renyah. "Yuk, Han. Kita keluar dulu aja, biar Nafi puas-puasin dulu sama Aryan sekarang," ucapnya mengajak Hana lalu melangkah keluar, meninggalkan Nafi dan Aryan berdua.

Nafi kembali tersenyum dan membalikan badannya, menatap Aryan dan menggenggam tangan suaminya itu. "Makasih, Bang. Makasih udah bangun, Nafi seneng banget," katanya lalu mengecup tangan Aryan dalam.

Aryan masih diam, masih menatap Nafi dengan tatapannya yang terlihat lemah. Nafi mengerti, suaminya itu masih kaku dan terlalu lemah untuk membalas ucapannya. Namun, itu tidak mengurungkan Nafi untuk tidak mengajaknya bicara, karena kini, perempuan itu mulai akan berbicara banyak pada Aryan.

Nafi mendudukan dirinya di kursi samping ranjang, menghela napas lalu mengeratkan genggamannya. "Bang Aryan buat Nafi takut, tau nggak? Nafi takut banget waktu Hana datang ke rumah buat ajak Nafi ke rumah sakit," katanya, "N-nafi takut waktu itu, apalagi, waktu dokter bilang kalau Bang Aryan koma."

"Selama Bang Aryan di ICU, Nafi cuma bisa jenguk Bang Aryan satu kali sehari, nggak bisa kayak biasa buat terus ada di samping Bang Aryan. Lihat perkembangan Bang Aryan yang kadang membaik atau memburuk buat Nafi takut." Perempuan itu bercerita. "Pokoknya, udah ini Bang Aryan harus cepet pulih, biar kita bisa hidup kayak biasa lagi."

"Bang Aryan pasti seneng, sekarang Bang Aryan nggak harus mikirin lagi masalah Yara sama Dito karena Dito udah ada di penjara sekarang, jahat banget dia udah buat suami Nafi sampai kayak gini," katanya lalu kembali tersenyum. "Yara juga udah pulih, minggu kemarin Yara datang buat jengukin Bang Aryan, dan minta maaf sama Nafi, lagi-lagi."

"Bang Aryan pasti kangen Nafi, kan? Iya, dong," ucap Nafi lalu terkekeh, membuat suasana yang tadi sempat membuatnya agak sedih. "Kalau Bang Aryan cepet pulihnya, nanti pas pulang Nafi buatin Bang Aryan makanan kesukaan Bang Aryan deh."

Melihat Aryan yang sedari tadi masih menatapnya dengan senyuman tipis, Nafi mengerutkan kening dan berdiri, perempuan itu mendekatkan wajahnya dan bertanya, "B-bang Aryan nggak lupa ingatan, kan? Dari tadi kok malah diem sama senyum-senyum gitu?"

"Astagfirullah, Fi! Suami lo itu masih susah buat ngomong, masih kaku. Malah di kata lupa ingatan." Nafi langsung menjauhkan wajahnya dan membalikan tubuh. Menatap Abian yang ada di dekat pintu bersama Yulia dan Wina di belakang.

Perempuan itu langsung tertawa renyah dan melepaskan genggamannya pada tangan Aryan. Membuat Abian menggeleng dan menoleh ke belakang. "Mama sama Tante Yulia kayaknya harus nunggu kayak Bian, mereka masih mau kangen-kangenan mungkin."

Nafi menggeleng, lalu menatap Abian dengan wajah kesalanya. Bagaimana tidak? Abian baru saja membuatnya malu. Perempuan itu kini segara menatap Wina dan Yulia. "I-ibu sama Tante masuk aja, Bang Bian jangan di dengerin, sini!"

Nafi baru saja akan melangkah mendekati Yulia dan Wina, tetapi mengurungkannya karena merasakan tangan Aryan yang menahannya. Perempuan itu langsung membalikan tubuh dan kembali menatap Aryan, merasakan tangan hangat Aryan menggenggamnya dan lagi-lagi, tersenyum.

Merasakan Aryan yang menarik tangannya, perempuan itu kini mendekatkan telinganya pada Aryan karena mengira Aryan akan mengucapkan sesuatu, dan benar saja, setelah itu ia mendengar Aryan yang berkata lirih.

"J-jangan khawatir, F-fi ...."

[Bersambung]

Mohon maaf bila ada kesalahan penulisan 😊
Terima kasih sudah membaca part ini ♡

Kisah Kita ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang