13 || Sah!

14.4K 2.2K 202
                                    

Nafi menatap dirinya yang terlihat cantik dalam balutan gaun putih syar'i dan riasan tipis di wajahnya. Meremas tangannya yang sudah dingin sedari tadi dan dibuat semakin gugup saat mendengar tangisan kencang seorang bayi diruangan.

Nafi membalikan tubuhnya lalu berjalan ke arah Hana dan bayinya yang kini berusia 1 bulan di atas ranjang. Di ruangan ini, hanya ada mereka bertiga sekarang. "Dedek mungil, Onty gugup nih." Nafi memegang lengan bayi kecil itu halus.

Dua bulan berlalu, dan hari ini adalah hari pernikahan Nafi dan Aryan. Jam menunjukkan pukul sembilan, Nafi sudah selesai didandani dan acara akan dimulai sebentar lagi. Karena, keluarga mempelai pria sudah datang dan berada diluar untuk persiapan akad nikah. Nafi dan Aryan memutuskan mengadakan pernikahan yang sederhana, mengingat Nafi yang juga harus kuliah, mereka setuju untuk mengadakannya dengan sederhana agar persiapannya tidak terlalu memakan waktu masing-masing.

Hana yang baru saja menenangkan putranya yang di beri nama Daniyal, tersenyum kecil dan memegang punggung tangan Nafi yang benar-benar terasa dingin. Merasakan tangannya yang pegang sang sahabat, Nafi berucap, "Tolong jangan bilang, 'Tenang aja, Fi. Orang yang ngucapin akad Kak Aryan, kamu mah tinggal turun', Ya, Han." Mengingat sahabatnya itu berucap sama saat acara khitbah dilaksanakan.

Hana terkekeh mendengarnya. "Baru aja Hana mau ngomong kayak gitu," balasnya, "ya udah, deh. Gak apa-apa Nafi gugup, bentar lagi gugupnya ilang kok."

Nafi mengangguk, berharap ucapan Hana benar-benar terjadi.

Baru saja Nafi akan berucap sesuatu pada Hana, kedua perempuan itu dibuat menoleh saat melihat Yulia dan Mila masuk ke dalam ruangannya. Membuat Nafi langsung beranjak dari ranjangnya dan menyalami tangan Mila sembari menyapa.

Mila tersenyum dan memeluk Nafi, sedang Yulia yang mengantarkan Mila kini malah menggendong Daniyal dan pamit keluar bersama Hana. Rupanya, mereka ingin memberikan ruang untuk Nafi dan calon ibu mertuanya itu.

Nafi membalas pelukan Mila, cukup lama mereka dalam posisi itu hingga Mila melepaskan pelukan mereka dan menatap Nafi. "Menantu Ibu, cantik," pujinya yang dibalas senyuman oleh Nafi.

"Besok, Ibu bakal langsung ke Jogja bareng Arsy ... jadi, gak bisa bareng sama kamu dan Aryan lama." Mila kembali berucap. "Aryan emang orang yang keras, dia kadang terlalu tegas walau lebih sering nyebelin."

"Makasih, ya, Nak? Udah mau terima putra Ibu dan menikah sama dia. Ibu titip Aryan, ya? Dia kadang manja, subuh aja kadang masih harus dibangunin. Ibu percaya, kalian pasti bakal jadi pasangan serasi dan bahagia. Pokoknya, doa yang terbaik buat kalian." Mila tersenyum.

Nafi mengangguk. "Makasih juga, ya, Bu?" balasnya masih dengan senyuman yang belum luntur. "Nafi bakal berusaha jadi istri yang baik buat Bang Aryan." Sambungnya.

Mila kembali memeluk Nafi sebentar. "Nanti, kita ngobrol lagi, ya? Masih banyak yang mau Ibu obrolin sama kamu ... sekarang, Ibu keluar dulu, ya? Akad bentar lagi."

Setelah itu, Mila melangkah keluar dari ruangan, menyisakan Nafi sendiri yang kini mendudukan dirinya di tepi ranjang. Suasana cukup hening, sampai terdengar suara seseorang yang membuka acara dengan mikrofon.

Nafi menunduk, mendengarkan setiap susunan acara sendirian. Sampai perempuan itu dibuat gugup saat mendengar ijab diucap oleh wali hakim dengan lancar dan--

Nafi langsung menghela napas lega, tak terasa pandangannya mengabur karena air mata yang sudah siap jatuh dari pelupuk matanya saat mendengar namanya disebutkan oleh Aryan dengan lancar. Kini, dirinya sudah menjadi seorang istri, istri dari seorang Aryan Malik Saputra.

Pintu ruangan dibuka oleh Yulia, perempuan itu langsung masuk dan memeluk putrinya yang masih menunduk. Saat itu juga, tangis Nafi pecah, ia menangis bahagia. "Bu ...." lirih Nafi lalu membalas pelukan Yulia dari samping.

Yulia mengusap air matanya yang sedikit terjatuh lalu melepaskan pelukan mereka dan menyuruh Nafi berdiri. Yulia tersenyum, mengusap pipi putrinya dan berucap, "Tugas Ibu udah selesai, sekarang kamu tanggung jawab suami kamu, Fi. Inget nasihat Ibu tadi malem, ya? Kamu harus jadi istri yang taat, karena surga kamu itu sekarang Aryan."

"Nafi putri Ibu satu-satunya, Ibu seneng sekarang kamu udah punya kehidupan baru. Belajar terus, ya? Biar makin hari, semua berjalan dengan baik. Semoga pernikahan kamu sakinah, mawadah, warahmah. Ibu sayang kamu, Fi." Yulia tidak bisa menahannya lagi, kini, tangisnya ikut pecah.

Nafi mengangguk. "M-makasih, Bu."

Yulia menghapus air matanya dan tersenyum. "Udah-udah, nangisnya udah dulu," kekehnya memecahkan suasana haru. "Sekarang, ayo keluar ... Aryan udah nunggu istrinya, tuh." Lanjut Yulia menggoda Nafi lalu membenarkan penampilan putrinya itu sebentar.

"N-nafi deg-degan, Bu," ucap Nafi saat baru saja ia akan keluar ruangan.

Yulia kembali terkekeh. "Kamu, kan, hidup, Fi. Yang namanya mahluk hidup ya pasti deg-degan karena jantungnya berdetak," balasnya.

Nafi menghela napas sembari memutarkan bola matanya. Setelah itu, kembali meneggakan tubuh dan mengikuti langkah ibunya keluar. Saat itu juga, semua tatapan langsung tertuju padanya, termasuk Aryan yang kini berdiri dari kursinya.

Yulia membawa Nafi melangkah mendekati Aryan, sampai kini, kedua pasangan yang baru saja sah menjadi suami istri itu saling memandang gugup satu sama lain. Allah, rasa apa ini? Rasanya Nafi ingin sekali pergi dan membenamkan wajahnya karena Aryan menatapnya begitu dalam untuk pertama kalinya setelah satu tahun mereka saling mengenal.

Aryan tersenyum canggung, apalagi sorakan-sorakan dari sekitarnya yang terus saja menggoda mereka berdua. Melawan gugup dan rasa canggungnya, Aryan kini menggerakan tangannya menyentuh ubun-ubun Nafi, laki-laki itu menghela napas dan memejamkan mata, lalu--

"Allahumma inni as'aluka min khairiha wa khairi ma jabaltaha 'alaihi. Wa a'udzubika min syarriha wa syarri ma jabaltaha 'alaihi."

Nafi yang ikut mengandahkan tangganya mengamini doa Aryan untuknya. Setelah itu, ia membalas senyum Aryan tak kalah canggung dan ikut duduk untuk menandatangi surat-surat yang ada dimeja.

"Sok, salamin atuh suaminya." Celetuk seseorang setelah mereka selesai, membuat Nafi mengangguk, lalu mengubah posisinya menghadap Aryan kembali. Perlahan, kini tangan Nafi bergerak menyentuh tangan Aryan, membuat desiran aneh terasa didadanya.

Menghiraukan semuanya, Nafi segera menyalami tangan Aryan. Membuat semua orang bersorak bahagia juga Aryan yang tersenyum penuh arti, dan tidak terlalu merasa canggung lagi.

Aryan mendakatkan wajahnya pada telinga Nafi, yang tentu saja membuat pipi perempuan itu merona karena jarak mereka sangat dekat. Melihat itu, Aryan terkekeh dan berbisik, "Assalamualaikum, istrinya Aryan, lain kali, jangan kebanyakan pakai blush on, ya?"

Nafi yang sudah menahan gugupnya langsung mendengkus kesal karena Aryan malah menggodanya. "Waalaikumsalam, suaminya Nafi juga lain kali kalau mau bisik-bisik gini jangan didepan orang, malu!"

Ya, katakanlah mereka aneh sekarang.

[Bersambung]

Mohon maaf bila ada kesalahan penulisan 😊
Terima kasih sudah membaca part ini ♡

Kisah Kita ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang