○ 40

231K 21.3K 691
                                    

"Mas, aku pengen ayam tepung."

Arkan mengerjapkan matanya pelan. "Ini jam berapa?" Tanyanya dengan suara serak.

"1 malam," jawab Ara santai.

"Ya udah, mau beli dimana?"

"Aku maunya Mas yang buat."

"Sayang, aku gak bisa masak."

"Dicoba dulu," kata Ara.

Arkan menghela nafasnya lelah, dan memasuki kamar mandi untuk mencuci mukanya. Sejujurnya, tubuhnya saat ini sangat membutuhkan istirahat. Pekerjaannya yang semakin banyak dan jadwalnya yang semakin padat, membuat kesehatan Arkan sedikit menurun. Belum lagi permintaan aneh-aneh Ara.

Ara mengikuti langkah suaminya menuju dapur. Sebenarnya ia tidak tega meminta Arkan bangun tengah malam seperti ini. Apalagi ia tau, kalau pria itu belum lama tidur, setelah berjam-jam berada di ruang kerjanya.

"Ayamnya dicuci dulu, habis itu direbus."

Dengan wajah ngantuknya, Arkan mencuci ayam sesuai instruksi Ara. Setelahnya, ia mulai merebus ayamnya.

"Tepungnya mana yang?"

"Buat bumbunya dulu."

Ara duduk di kursi mini bar, sambil memperhatikan suaminya.

"Bumbu apa?"

"Bumbu buat ayamnya, Mas. Kalau gak dikasih bumbu nanti hambar."

"Iya, bumbunya apa?"

"Bawang putih, garam, merica, kasih micin dikit, terus diulek."

"Jangan pakai micin, gak baik."

"Halah, gak papa."

Arkan menatap Ara dengan serius. "Kamu lupa kata aku kemarin? Pikirin anak kita, sayang."

"Aku juga mikirin dia, kok. Mas kenapa jadi nyebelin banget sih. Mas selalu ngelarang ini itu ke aku, seolah-olah semua yang aku lakuin itu membahayakan buat anakku sendiri." Ara menatap Arkan penuh emosi.

"Bukan gitu, sayang. Please, dengerin aku ya? Ini demi kebaikan dia juga." Arkan mendekati Ara, dan berniat menggenggam tangan gadis itu. Namun, Ara menyentaknya dengan cepat.

"Udahlah, matiin aja kompornya. Aku udah gak pengen." Ara melangkahkan kakinya kembali menuju kamar mereka.

Arkan mengusap wajahnya gusar. Tangannya beralih mematikan kompor, dan segera menyusul istrinya yang tengah marah.

"Sayang maaf, aku salah."

Ara tak menggubris Arkan. Ia justru menaikan selimutnya sampai menutupi seluruh tubuhnya seperti kepompong.

"Nanti gak bisa nafas," kata Arkan sambil menarik selimut yang menutupi tubuh istrinya, ke bawah.

"Aku gak suka diatur."

"Iya, aku tau. Aku minta maaf."

"Aku selalu mikirin dia."

"Iya sayang."

"Aku sayang sama anakku."

"Maaf."

Ara mengusap air matanya dengan kasar. Sungguh, ia benci menjadi wanita lemah. Apalagi semasa kehamilannya ini cukup menguras emosi. Dikit-dikit mewek, dikit-dikit ngembekan. Sangat berbeda jauh dengan sifat aslinya.

"Maaf, ya?"

Ara tidak mengangguk, tidak juga menggeleng. Dia hanya diam saja.

"Aku tau, kamu sangat sayang dan peduli sama anak kita. Ini pengalaman pertama kamu menjadi seorang ibu, juga pengalaman pertama aku menjadi seorang ayah. Kita masih sama-sama kaku dan bingung harus menyikapi semuanya. Aku percaya dan yakin, kalau kamu ibu yang terbaik untuk anak kita. Tapi aku mohon, dengerin aku ya? Aku gak serta merta melarang kamu tanpa alasan. Itu semua aku lakuin demi kalian. Maaf, kalau perkataan aku buat kamu tersinggung. Kamu masih bisa melakukan apapun yang kamu inginkan, tapi jangan lupa dia. Dia masih terlalu kecil untuk mengikuti semua keinginan Mamanya," jelas Arkan panjang lebar.

MY FUTURE HUSBAND [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang