[20] Breathe

1.2K 254 49
                                    

"Terkadang kita baru menyadari betapa berharganya satu napas yang dihirup, kala kita tidak mampu menggapainya lagi."

[•InnocentFlaws]

"...even if your sigh takes out energy to others, I know you had a day that so hard to let out even in a small sigh..."

[Lee Hi - Breathe]

•••

"KOK, bisa-bisanya ilang sih, Anjir?! Dia kan belum bisa banyak gerak!!"

Ancha berteriak panik di seberang sana. Tapi Tama tidak lagi mengindahkan dan mematikan panggilan. Dia berlari ke bagian resepsionis di lantai ini, bertanya pada perawat di sana namun mereka tidak melihat. Kegaduhan pun terjadi, para perawat mulai menyebar membantu mencari.

Tama berlari menyusuri lantai ini. Mencari kemungkinan bahwa gadis itu masih berada di area sini namun nihil. Pintu tangga darurat bahkan dikunci, itu berarti Alita kabur menggunakan elevator lain.

Sampai di bawah, Tama melihat beberapa perawat maupun penjaga mulai sibuk berpencar. Sepertinya kabar hilangnya Alita sudah disebar. Sebersit kekesalan menyusup ke benak Tama, dari sekian banyak yang berjaga di sini, mengapa tidak ada seorang pun yang menyadari kepergian Alita?!

Mata Tama sudah memerah, napasnya memburu di sela larinya menelusuri penjuru lantai dasar rumah sakit ini. Menyugar kasar rambut hitamnya yang sudah berantakan, menjenggutnya kuat bersama pejaman matanya.

Ketakutan sudah menggerogoti sekujur tubuhnya hingga gemetaran dan Tama harus bertahan di kedua kakinya yang mulai lemas.

"Ta, lo ke mana...?"

[IF]

"Kalian ini tidak bisa bekerja dengan benar?!"

Agustav memijit keningnya yang berdenyut keras. Genggaman pada gagang teleponnya menguat. Dia sampai berdiri dari kursi kebesaran setelah mendengar kabar tak mengenakkan di malam yang sudah larut ini.

"Cari dia secepatnya! Sebelum tengah malam, aku harus mendengar kabar baik! Atau kalian semua aku tarik dari rumah sakit!!"

Membanting teleponnya, Agustav mengusap kasar wajahnya seraya keluar dari balik kursi. Wajah tegasnya yang dingin kini tampak penuh golakan amarah. Bagaimana mungkin rumah sakit yang sudah dia atur sedemikian ketatnya bisa kecolongan seperti ini?!

Telepon di mejanya kembali berbunyi. Kekesalan semakin melejit dan dia mengangkatnya tak sabaran.

"Apa lagi?!"

"Sepertinya kamu mulai kesulitan lagi mengontrol temperamenmu itu, Gustav."

Agustav terpaksa menelan saliva bulat-bulat. "Ayah...."

"Aku sudah mendengarnya. Kamu memang tidak becus mempekerjakan orang-orangmu itu. Apa aku harus turun tangan lagi?"

Innocent FlawsWhere stories live. Discover now