[05] Duckling

1.5K 278 63
                                    

"Kalimat 'bosan hidup' selalu dianggap sebatas gurauan. Padahal ada yang memang menganggap itu sebagai cercaan serius. Seperti aku yang memang sudah tidak tahu lagi hidup untuk apa."

[•InnocentFlaws]

   

SIAPAPUN pasti tidak mau berada di posisi Alita.

Ibarat sudah jatuh lalu tertimpa tangga, Alita bisa memprediksi bahwa keadaannya tidak akan menjadi lebih baik setelah kejadian menggemparkan yang mengatasnamakan dirinya ini.

Adhitama dengan perawakan menyeramkan bagai mengancam semua orang di sini, mengatakan dirinya sebagai anak itik lelaki itu, merupakan sebuah petaka baru baginya.

"Woy, Timtam! Mau lo ke manain tuh cewek?!"

Seiring teriakan Ancha, orang-orang segera menyingkir memberi jalan. Tama merajut langkah lebar yang kembali membuat Alita harus berlari-lari dengan otak terlalu lama memproses keadaannya kini.

Apa lelaki ini sedang kerasukan sesuatu? Menariknya pergi entah ke mana. Apa maksud dari semua perilakunya ini?!

"Tunggu, A-Adhitama...," suara patah-patah Alita tidak melambatkan langkah lelaki itu. Ia mengedar tatapan berharap ada yang membantunya. Walaupun amat sangat percuma karena memangnya siapa yang berani dan mau ikut campur urusan Adhitama.

Jadi penontonnya aja lebih aman.

"Tunggu dulu!"

Setelah mengumpulkan keberanian, Alita berhasil menghentikan Tama begitu mereka memasuki area parkir. Alita harus mengatur napas sejenak selagi Tama menengoknya.

"Lo mau bawa gue ke mana? Gue masih ada kelas nanti." Bahkan Alita belum sempat membereskan barang-barangnya. Baik dia maupun lelaki ini benar-benar meninggalkan barang mereka di sana.

"Bolos sekali nggak bikin IPK lo anjlok."

Alita justru melotot ngeri dan kembali menahan tarikan Tama. Cowok gila! Alita bukan dia yang mau nggak masuk kelas seminggu pun enggak masalah!

"Kalau mau macam-macam jangan sama gue! Lo masih belum puas juga bikin gue mengenaskan kayak gini? Lepasin!"

Mengenaskan.

Kalau boleh mengaku, Tama sesungguhnya sangat marah melihat keadaan gadis ini. Bahkan ruam merah di pipi Alita yang jelas merupakan bekas tamparan itu masih terpetak di sana. Kalau saja Jonatan tidak menghentikan, Tama mungkin juga akan menambahkan tamparan di pipi mulus Nora.

Terdengar tidak berperikemanusiaan tapi Tama sungguh tidak peduli dengan itu. Alita saja bisa begini, Nora juga seharusnya bisa mendapatkannya.

Tangannya bergerak hendak menyentuh. Namun Alita dengan defensif besarnya langsung mengkeret juga merangsek mundur. Terlihat sekali akan ketakutannya terhadap Tama. Membuat niatnya yang hendak merapikan rambut gadis itu kini hanya bisa mengepal lalu terkulai.

"Rambut lo harus dirapihin. Nggak lama. Lo masih bisa ngejar kelas nanti."

Setelah berkata demikian, Tama kembali menarik Alita menuju mobilnya. Tidak ada lagi penolakan. Alita dengan rasa terpaksa namun tak berani mengelak pun hanya bisa pasrah.

Innocent FlawsWhere stories live. Discover now