wanderlust | part 16

8.1K 1.8K 484
                                    

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Masuk aja, Sof!" Gue berteriak ketika mendengar pintu penghubung diketuk dengan agak keras, sambil meloloskan t-shirt melalui kepala

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Masuk aja, Sof!" Gue berteriak ketika mendengar pintu penghubung diketuk dengan agak keras, sambil meloloskan t-shirt melalui kepala. Untung Sophia mengetuk lebih dulu, kalau dia tiba-tiba muncul dari balik pintu pada saat gue sedang hanya pakai handuk, bisa-bisa dia langsung memutuskan untuk pindah hotel.

I know she offered me a room. Out of the kindness of her heart. Mungkin merasa bertanggung jawab karena gue memutuskan untuk menemaninya di Cusco, mungkin juga karena—well, gue nggak tahu, she really likes me?

But I don't think Sophia is ready to see me in my birthday suit. Not that I'm ashamed of myself. Gue hanya berpikir, she's too innocent to think that far. Gue cium pipinya aja, wajahnya langsung bersemu merah kayak habis olahraga dua jam penuh, apalagi kalau gue melakukan yang lain.

Pintu terbuka dan wajah Sophia muncul, menunjukkan ekspresi yang sulit dibaca. Ia mengenakan jeans yang membungkus kaki jenjangnya dengan pas dan jaket parka biru muda—begitu aja udah bikin gue tiba-tiba deg-degan dan berpikir ulang, mungkin sebaiknya kami pesan room service aja lalu Netflix and chill.

Damn, mind!

"Mau jalan sekarang?" Gue menyisir rambut dengan jemari tangan sambil meraih dompet yang ada di atas meja.

Sophia mengangguk, masih belum mengeluarkan suara. Wajahnya bersemu kemerahan, seperti ketika gue meninggalkannya di kamar sebelah tadi sore.

Nggak lama kemudian, kami berdua sudah melangkahkan kaki di atas cobblestone yang tersusun rapi di sepanjang jalan sempit mengarah ke Plaza de Armas, semacam main square yang ada di pusat kota Cusco.

Sepanjang jalan, Sophia nggak banyak berkomentar. Ia hanya sesekali mengangguk dan menjaga jarak—membuat gue bertanya-tanya, apa gue melakukan kesalahan dalam kurun waktu satu jam terakhir?

Ketika kami sampai di tengah Plaza de Armas, gue berhenti melangkah dan menghadap Sophia lalu bertanya, "Oke, Sof. You're awfully quiet. Ada sesuatu yang aku lakukan dan salah?"

Sophia seperti kaget mendengar pertanyaan gue yang tanpa basa-basi. Bibirnya terbuka membentuk huruf O—menggemaskan.

"Is it because I kissed you on the cheek?" gue melanjutkan. "Jika iya, aku minta maaf ya, Sof."

happenstanceWhere stories live. Discover now