wanderlust | part 8

8K 1.5K 120
                                    

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Sophia nggak banyak bersuara selama hampir satu jam kami kami menyusuri jalan setapak kembali ke Machu Picchu

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.







Sophia nggak banyak bersuara selama hampir satu jam kami kami menyusuri jalan setapak kembali ke Machu Picchu. Ia tampak tenggelam dalam pikirannya sendiri, dengan kening yang sesekali berkerut. Hanya sesekali aja berbicara, itu pun karena gue bertanya.

Kayaknya sih gara-gara gue menyinggung mengenai Lucerne dan pacarnya waktu itu yang, sorry to say, memang kelihatan brengsek. Kesan pertama ketika dikenalkan oleh Erick terhadap mantan pacarnya Sophia adalah 'anjir cowok kayak gini bisa banget dapat cewek cantik'.

Tahu kan, tipe cowok belagu yang merasa dirinya di atas yang lain karena ganteng, kaya, dan sukses? Nah, mantan pacarnya si Sophia tipe kayak gitu. Gue sebenarnya nggak kenal, bahkan sampai sekarang nggak ingat juga siapa namanya. Namun first impression itu memang bisa bertahan begitu lama. Seperti first impression gue kepada Sophia dua tahun lalu.

Sejujurnya, gue nggak ingat wajah Sophia—bahkan ketika gue bertemu dengannya di kereta kemarin (Is it really yesterday? Rasanya kayak udah setahun yang lalu), rasanya seperti pertama kali. Kesan tentang Sophia yang tertinggal dalam memori ada dua: (1) A breathtaking beauty—padahal saat itu gue lagi di Swiss yang cantiknya bisa membuat kita lupa realita; (2) Wangi khas yang membuatnya makin terasa seperti magnet, padahal gue hanya memegang syalnya selama beberapa detik namun harumnya melekat di ingatan sampai sekarang.

Sayangnya ingatan gue payah nggak bisa merekam detail wajah Sophia dengan sempurna sampai-sampai gue nggak mengenali ketika kami bertemu lagi.

"Kamu nggak lapar, Sof?" gue bertanya ketika kami sudah hampir sampai di Machu Picchu.

"Lumayan," Sophia menjawab namun pandangannya menunduk ke bawah. "Mau makan?"

"Ada semacam snack bar dekat pintu masuk," ujar gue sambil mempercepat langkah supaya berjalan di samping Sophia. "Mau lihat ada makanan apa di situ?"

"Boleh." Suara Sophia bernada final lalu ia nggak mengatakan apapun sampai kami bertemu dengan rombongan turis lain yang hendak keluar situs.

Ketika kami sudah dekat dengan gerbang masuk/keluar, gue teringat sesuatu, "Paspor kamu mau dicap nggak?"

happenstanceWhere stories live. Discover now