Bab 1 - Tanah kelahiran

7.9K 264 47
                                    

Kualanamu Airport, Sumatera Utara, Medan.
12:45 WIB

Datang dan pergi, tinggal ataupun menetap, bahagia ataupun air mata.

Life is a choice.

Kita bisa memilih iya dan tidak, melakukan ataupun tidak melakukan sesuatu. Semua pilihan ada di tangan kita sendiri. Karena sejatinya setiap orang memiliki hak-nya masing-masing untuk menjalankan kehidupannya.

Namun sayangnya---tidak semua orang bisa memilih jalan hidupnya seorang diri, sesuai dengan pilihannya sendiri.

Paramitha Divya Aleyda---divya, merupakan satu diantara banyaknya orang yang tidak bisa memilih pilihannya sendiri. Dua puluh delapan tahun hidup---divya nyaris tidak pernah memilih sesuatu murni sesuai keinginan dirinya sendiri. Terkhusus urusan pasangan hidup merangkap jodoh masa depannya.

Seharusnya, divya memang sudah menikah dan hidup bahagia. Namun hingga kini niat baik itu belum juga terlaksana. Menutup telinga adalah kebiasaan divya, dalam beberapa tahun terakhir.

Acara keluarga yang begitu di dambakan---berubah menjadi ajang kompetisi pamer kelebihan anak--menantu ini dan itu. Si A yang begini, si B yang begini, dan banyak lagi.

Bukan tidak ingin menikah, hanya saja ia belum menemukan pria yang sreg dengan dirinya. Menikah itu bukan perkara gampang. Divya bisa saja menikah terburu-buru dengan laki-laki single yang ia kenal. Hanya saja, ia menikah itu untuk ibadah dan di jalankan seumur hidup. Bukan cuman buat bungkam mulut orang-orang yang menilai dirinya perawan tua. Lagian menikah gak menjamin kebahagiaan seseorang kan? Maksudnya tidak semua pernikahan berjalan sesuai ekspektasi.

Saat memutuskan untuk menikah, tentu saja semua hal di hidupnya akan berubah. Itu yang ia lihat dari orang-orang di sekitarnya. Melepas masa hura-hura dan mengikatnya dengan hubungan baru, dimana ia harus bisa berperan ganda. Menjadi seorang istri, menantu, dan ibu---jika ia memiliki anak kelak. Baktinya bukan lagi pada papa dan mamanya tapi pada suaminya. Apalagi kalo calon suaminya melarang ia untuk bekerja, haduh jangan sampe deh.

'udah ketemu sopirnya belum?' sahut seseorang di seberang sana.

Ia refleks memutar pandangan, mencari seorang supir yang hari ini akan menjemputnya di bandara. Tidak ada namanya di sana.

Hingga tepukkan seseorang di bahunya membuat ia membalikkan badan. "Non Divya?" Tanya pria itu yang di angguki divya.

"Iya, pak." Jawabnya. "Udah ketemu nih, thank you."

'okay. Jumpa di hotel ya, kak.'

Tut.

Sambungan telfon terputus.

Sopir bernama galih itu segera mengajak divya ke mobil, tidak lupa membantunya untuk membawakan koper berukuran sedang yang ia bawa.

Sudah hampir empat tahun terakhir, ia tidak menginjakkan kaki di tanah kelahirannya. Meskipun kini, kedua orangtua divya sudah kembali menetap di Jakarta. Namun ia masih sering datang berkunjung ke rumah sanak saudaranya yang masih tinggal di sini.

Kabar baik tentang pernikahan Anastasya, sepupunya dengan seorang pria bersuku Batak, yang menjadi alasan divya datang ke Medan. Hanya ana, satu-satunya sepupu perempuan yang dekat dengan dirinya. Itulah kenapa ia tidak bisa absen dalam acara ini. Meskipun divya sudah bisa membayangkan, apa konsekuensi dari keputusannya. Tidak masalah, yang penting ia bisa hadir di pernikahan ana.

"Pak galih, mama-papa saya sudah datang?" Tanya divya membuka suara.

"Sudah non, kemarin siang." Jawabnya singkat.

STRANGERWhere stories live. Discover now