26. Senandung senja

Mulai dari awal
                                    

“Lo goblok.”

“Lo juga geblek.” Rayden balik mengatai.

“Ini jalanan, tempat rame. Harusnya Lo nggak usah kabur, mereka nggak bakal berani ngapa-ngapain.”

“Gue bawa Lo.”

“Mereka nggak bakal ngapa-ngapain gue.”

“Sekarang enggak. Tapi besok-besok… kalo mereka liat Lo. Nggak ada jaminan, kan?”

Pelangi tidak bisa menjawab. “Lagian apa untungnya sih ngejar-ngejar Lo di jalanan kayak tadi?” Ia menanyakan hal lain.

“Mereka seneng kalo gue terancam… nggak aman, nggak tenang.” Rayden diam sejenak. “Kemaren-kemaren gue nggak kabur, kayak yang Lo bilang, mereka nggak ngapa-ngapain. Bahkan sebelahan di lampu merah.”

“Tuh, kan. Makanya jangan kabur.”

“Kemaren gue salim juga pas di lampu merah.” Pelangi melongo mendengar ucapan cowok itu. “Dia sinting anjing. Mau-mau aja pas gue ngulurin tangan.”

“Semuanya Lo salamin?” Pelangi penasaran, soalnya mereka itu rombongan. Dia curiga saat Rayden tengah salim, dia malah sambil bilang minal aidzin wal faidzin.

“Nggak, yang ada di sebelah gue doang. Waktu itu pada naik motor kan.”

“Ngomongin mereka nggak ada habisnya.” Pelangi menyeletuk.

Rayden mengangguk samar. “Nggak masuk akal juga, kan?”

Benar.

“Tapi buat gue masuk akal sih,” lanjut cowok itu.

“Lo yang salah apa mereka yang salah, sih?” Begitu Pelangi melontarkan pertanyaan itu, motor Rayden berhenti, dan Pelangi masih belum menyadarinya.

Rayden melepas helm, menoleh ke belakang. “Gue salah apa?” Ada guratan sendu di wajahnya yang amat ketara.

Pelangi mengusap wajah cowok itu. Ia tidak suka melihat wajah sedih Rayden. “Kok muka Lo begitu, sih?”

“Turun.”

Barulah Pelangi mengedarkan pandangannya. Dia bertanya dengan hati-hati, “Lo mau ngapain ke sini?”

“Nyembah berhala!” Rayden menyahut jengkel. “Ya mau ke Papa, lah.” Jelas-jelas ia membawa Pelangi ke makam.

Pelangi turun dari motor, Rayden menyusul. Lantas gadis itu mengikuti langkah cowok itu, melewati gundukkan tanah sampai tiba di sebuah makam yang bertuliskan Devon Hesperos.

Rayden berjongkok, Pelangi mengikuti.

“Ray dateng, Pa.” Cowok itu menyapa.

“Halo, Om.” Pelangi ikut-ikutan.

Rayden menunduk, menangkupkan tangannya sambil memanjatkan doa. Pelangi mengikuti lagi. Saat keduanya tengah khusyuk memanjatkan doa, Pelangi tiba-tiba kejengkang sampai menduduki sebuah makam di belakang tubuhnya.

Cowok itu menoleh cepat, membantu Pelangi sambil menahan tawa begitu mendengar Pelangi menggumamkan kata maaf berkali-kali.

Merurut Pelangi, makam adalah tempat peristirahatan terakhir bagi umat manusia. Dia harus sopan. Menduduki sebuah makam tentu bukan sesuatu yang patut dibilang sopan, yah meski ia tidak sengaja, itu tetap terlihat tidak sopan.

“Lanjut lagi,” ucap Rayden setelahnya, membuat keduanya kembali melanjutkan doanya yang belum selesai.

“Gue mau denger Lo nyanyi.” Begitu selesai, kalimat itu yang pertama keluar dari mulut Rayden.

“Gue nggak bisa nyanyi.”

“Jangan bohong, Lo ngomong sendiri ama gue.”

Pelangi kira waktu itu ia hanya mimpi. Lagipula, kenapa mulutnya ini sering kali bertingkah menyebalkan, sih?

“Dari kapan Lo suka nyanyi?”

“Den, mending Lo ngobrol sama Ayah Lo. Mumpung di sini juga, kan?”

“Dari kapan?” Rayden tidak mempedulikan ucapan Pelangi yang terkesan mengalihkan pembicaraan.

“Dari… nggak lama setelah Kakak ikut Tante.” Pelangi menghembuskan nafasnya. “Kalo ada petir, gue biasanya play music buat ngalihin rasa takutnya. Terus lama-lama… jadi suka.”

“Bokap gue suka musik.” Rayden curhat. “Tapi gue nggak. Masih mending ada yang mau denger suara gambreng Lo, kan?”

Pelangi berdecak. “Belom aja Lo tepuk tangan kalo denger.”

“Ya udah coba.”

“Di sini?” Pelangi celingukan. Tidak pernah sekalipun dia mengeluarkan suara emasnya di hadapan orang. Lalu, untuk pertama kalinya dia harus bernyanyi di hadapan orang, kenapa tempatnya harus di makam coba.

“Biar bokap gue ikut denger.” Rayden melirik makam Papanya. “My heart will go on, ya.”

“Selera musik Lo yang lagu lama-lama gitu ya.”

“Gue nggak suka musik! Itu satu-satunya lagu yang gue suka dari kecil. Buru,” Rayden menoel bahu Pelangi. Tidak terlalu kencang, mungkin karena posisi jongkok Pelangi yang mengkhawatirkan, gadis itu kembali nyungsruk tepat di atas makam Ayah Rayden.

“Eh eh.” Rayden kembali menahan tawa sambil membatu Pelangi menegakkan tubuhnya.

Pelangi kembali mengumamkan kata maaf sambil menunduk-nunduk, lantas melotot ke arah Rayden.

“Lo kenapa nyungsep mulu anjrit.” Rayden membersihkan lutut gadis itu, Pelangi menumpukkan tangannya di pundak Rayden untuk jaga-jaga.


****

Scenenya belom kelar, tapi ini udh ngelebihin word per chapter. Jadi lanjut lagi part depan yah.

See yep!

Mancung banget gela😭

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Mancung banget gela😭

Mancung banget gela😭

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


05-03-21.

CERAUNOPHILE [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang