47. Akhir (2)

195 32 12
                                    

Pikiran Rayden jelas buntu. Namun, ucapan Pelangi malam itu betul-betul masih bisa ia ingat.

Papa Zoe pengidap prosopagnosia, atau sebutan gampangnya buta wajah. Dimana beliau tidak bisa mengenali wajah seseorang, sekalipun itu Zoe. Anaknya sendiri.

Rayden juga sempat bertanya pada Pelangi kemana orang tua Zoe, dan kenapa tidak ada satupun pajangan foto di rumahnya— yang ada hanya berbagai lukisan menghiasi dinding rumah— jadi jawaban sebenarnya supaya tidak ketahuan begitu?

Lalu, setelah dia pulang dari rumah Zoe ataupun rumah Pelangi, orang-orang sinting yang membuat tubuhnya meninggalkan banyak bekas luka selalu menghadangnya. Seolah sudah hafal dengan daerah sekitar sana.

Tidak heran karena ternyata dalangnya memang berasal dari sana.

“ZOE!”

Cowok itu tersentak, lalu bertanya, “Kuncinya mana?” Dengan suara yang tercekat, seolah suaranya berhenti di tenggorokan begitu saja.

“Ada di mobil.”

Itu artinya, suara yang keluar dari mulut Rayden masih bisa didengar dengan baik. Meskipun tidak ada yang terasa baik-baik saja sekarang ini.

“Cepetan!!”

Buru-buru ia berjalan ke arah mobil yang terparkir di pinggir jalan— entah hal bodoh apa yang dia lakukan. Disusul pria tadi yang untungnya memilih duduk di belakang.

Rayden tidak yakin dia bisa diam saja kala orang yang merenggut nyawa Papa duduk tepat di sebelahnya.

Daripada mengantar pria ini ke bandara, Rayden akan memilih mengantarkannya saja ke neraka dengan senang hati.

Selama perjalanan, hening mengisi. Hanya ada sunyi yang menemani.

Keduanya tampak gelisah. Papa Zoe terlihat sibuk mengutak-atik ponsel dan iPad secara bergantian, berbicara lewat telepon berulang kali. Raut ketakutan tergambar jelas di wajahnya, mungkin merasa terancam bila ia masih menginjakkan kaki di negaranya sendiri.

Dari depan, Rayden terus melirik melalui rear-view mirror. Sampai saat mereka terjebak di lampu merah, cowok itu ikutan mengeluarkan ponselnya.

Dalam pikirannya yang kacau begini, mungkin akan terasa lebih baik kalau dia mendengar suara Pelangi setelah belakangan ini sama sekali tidak mendengar apalagi melihat gadis itu.

Namun, pada dering ketiga, telfonnya masih tidak dijawab. Akan terasa aneh kalau Pelangi bermaksud balas dendam dengan mengacuhkan Rayden. Selama mengenal gadis itu, Rayden tau kalau Pelangi bukan tipe gadis yang suka perang dingin.

Dia menyukai sesuatu yang damai. Dia ingin terus diperhatikan, bukan malah mengacuhkan.

“WADOHH!!” Cowok itu tiba-tiba memekik kala kursi kemudi yang ia duduki ditendang dari belakang, membuatnya nyaris mental ke depan. “Sutangnya, aelah!”

“Kutang apa?”

“SUTANG WOY SUTANG!” Rayden nge-gas. “Udah tuir, mana budek astagfirullah.”

“ZOE!” Pria di belakangnya membentak berang. “Ini Papa buru-buru, lho. Kenapa macetnya lama benget?!”

“Kalo nggak mau macet ya mabur sana,” sahut Rayden songong.

“Papa habis ini juga mau mabur kali. Naik pesawat.”

“Emang mau kemana? Kabur?”

“Iya. Mabur buat kabur.”

Rayden tidak tahu, apakah penyakit buta wajah beliau teramat parah sampai-sampai tidak bisa mengenali seseorang melalui suara, atau karena pria tua ini kelewatan panik sampai mau-mau saja menyahuti ucapannya.

CERAUNOPHILE [Completed]Where stories live. Discover now