26. Senandung senja

125 24 6
                                    

“ERNAJONG!” Rayden berteriak begitu melihat Elen berjalan sendirian di koridor dekat tangga.

Elen menoleh ke belakang, mendadak canggung begitu melihat banyak orang menatap ke arahnya. Tanpa aba-aba, dia melepas salah satu sepatunya dan melemparkannya ke arah Rayden.

“Yah yah…” Elen berubah panik karena lemparannya meleset. Apesnya, sepatunya malah masuk ke dalam tempat sampah.

“Mampus Lo kualat.” Rayden mencibir begitu Elen mendekati tong sampah di sebelah cowok itu.

Elen segera mengambil sepatunya, dipandanginya dengan wajah jijik. “Kena saos,” ucapnya lirih, wajahnya terlihat nyaris menangis.

“Pelangi mana?” Tampa mempedulikan betapa sialnya Elen, Rayden bertanya santai. Biasanya, Pelangi akan menunggu di parkiran tanpa ia minta. Atau duduk di bawah pohon mangga pinggir lapangan sembari memainkan ponsel. Namun, kali ini Rayden tidak menemukan cewek itu.

Bahkan chattnya sampai sekarang belum dibalas Pelangi. Notifikasi di ponsel saat ia berada di perpustakaan ternyata bukan dari Pelangi seperti yang Rayden harapkan. Melainkan dari Mama yang menanyakan keberadaan tanamannya.

“Gara-gara Lo!” Elen melotot, menahan amarah. “Bersihin!!”

“Ogah!”

“Ya udah.” Elen menaruh sepatunya di atas keramik dingin. “Nggak gue kasih tahu Pelangi dimana.” Die bersedekap dada, memasang wajah songong.

“Ya udah.” Elen lega mendengar ucapan Rayden barusan. “Tinggal gue telpon anaknya,” lanjut Rayden.

Elen tidak jadi lega. Ia menahan emosinya yang bisa meledak kapan saja.

Maka sebelum itu terjadi, Rayden segera pamitan. “Dahh…” Rayden malah dadah-dadah dengan cara paling menyebalkan.

***

Gerbang rumah Pelangi kebetulan terbuka, jadi Rayden bisa asal masuk ke dalan bersama motornya. Cowok itu berhenti tepat di depan teras rumah Pelangi, lantas melepas helmnya sambil berteriak. “TUNG!”

“Manggil siapa kamu?”

Rayden terlonjak sebelum menoleh ke belakang. Dia buru-buru turun dari motor dan menghampiri Alan, menyalami beliau dengan gaya sopan. “Om.”

“Manggil siapa?” tanya Alan dengan wajah datar yang sukses membuat Rayden ketar-ketir.

“Nggak manggil siapa-siapa, Om.” Dia beralasan. “Nyanyi aja… tung tak tung gitu… ehehe. Om mau ikut nyanyi nggak?”

Alan mengerutkan keningnya sambil menggelengkan kepala. Detik berikutnya, keduanya menoleh secara bersamaan begitu mendengar suara pintu terbuka, menampakkan wajah Pelangi yang tampak kebingungan.

Alan pamit masuk ke dalam, Pelangi beralih menghampiri cowok itu sambil melontarkan pertanyaan, “Ngapain?”

“Kenapa pulang duluan?” Rayden balik bertanya.

Pelangi mengedikkan bahunya. “Nggak pa-pa.”

“Biasanya juga bareng.” Cowok itu melipat kedua tangannya di depan dada, lanjut menyenderkan tubuhnya di motor. “Naik apa tadi?”

“Angkot.”

“Tumben.”

Biasanya jika Pelangi tidak nebeng Rayden, ia naik grab. Tapi karena buru-buru— takut Rayden menyusulnya— dia asal menghentikan angkot yang lewat. Untung saja searah dengan rumahnya, meski ia harus jalan kaki setelah itu.

“Ikut bentar, yuk?”

Pelangi bingung. “Kemana?”

“Udah, ikut aja.” Rayden memutar tubuh Pelangi. “Sana Lo ganti baju.”

CERAUNOPHILE [Completed]حيث تعيش القصص. اكتشف الآن