6. Beban lara

260 62 4
                                    

Pelangi tidak pernah menyangka jika apa yang lihat sekarang adalah suatu hal yang nyata. Tepat saat ia turun dari atas motor dengan gerimis yang menemaninya selama perjalanan.

Sebuah senggolan di lengannya berhasil membuat Pelangi tersadar. Lantas mengerjap, dan apa yang ia lihat tetap sama.

Ayah duduk di teras rumah sendirian. Seolah menunggunya pulang. Seolah tidak peduli dengan angin malam yang menembus sampai ke tulang-tulang, juga dinginnya cuaca hujan.

"Heh! Malam bengong, jangan ujan-ujan. Neduh sana."

Pelangi celingukan, macam orang hilang. Lalu menuruti perintah Rayden. Dia berlari kecil menuju teras rumah, disusul Rayden yang ikut lari di belakangnya setelah turun dari motor dan melepas helm.

"Ayah ngapain malem-malem di luar?" Itu kalimat pertama yang diucapkan Pelangi setelah tiba di teras rumahnya. Dengan gurat heran yang begitu ketara.

"Nunggu kamu pulang," sahut Ayahnya yang sudah berdiri di hadapan Pelangi.

Mungkin Pelangi berlebihan, tapi ia hanya ingin jujur. Jika hal sederhana tersebut berhasil membuatnya merasa lebih baik. Ada secuil bahagia yang berhasil tumbuh di relung hatinya.

"Emangnya nggak dingin di luar malem-malem, gini?"

Alan menggeleng, lantas mengusap kepala Pelangi. Menatap anak bungsunya penuh kehangatan. "Kamu yang kelihatannya kedinginan. Basah gitu. Langsung mandi, ya, jangan pakai air dingin."

Gerimis memang berhasil membuat tubuh Pelangi basah. Ya meskipun tidak sepenuhnya basah kuyup. Tapi hanya dengan sentuhan ringan di kepalanya saja, dingin perlahan menguap. Digantikan dengan hangat yang merayap.

"Nganu, Om."

Rayden tiba-tiba buka suara, membuat keduanya menoleh serempak. Baru menyadari jika cowok itu masih berada di sana.

"Nganu apa?" Alan menatap Rayden kebingungan.

"Tapi hujan, nunggu reda dulu. Tapi malah masih aja hujan, jadi nekat pulang. Takut pulangnya kemaleman. Ini aja udah kemalaman." Rayden rasa, akan lebih sopan jika ia menjelaskan begini. Meski kalimatnya terdengar berceceran.

Alasannya, karena dia tidak berpengalaman.

Alan mengangguk maklum. "Nggak pa-pa. Mau masuk dulu? Biar dibikinin teh anget, sekalian ngeringin baju."

Rayden menolak secara halus. Lantas pamit pulang. Kembali membelah jalanan dengan rintik hujan yang menemaninya sampai rumah.

Ada satu hal lagi yang menemaninya selama perjalanan. Sesak yang kian menjalar di dada kala ia melihat bagaimana interaksi Pelangi dengan Ayahnya. Satu hal yang ia rasakan sekarang.

Rayden rindu Papanya.

Itu saja.

***

Pelangi pikir ia harus beraksi sekarang. Karena sedari tadi banyak sekali kalimat tanya yang bersarang dalam pikirannya, membuat dia sama sekali tidak fokus pada pelajaran. Dan itu lebih dari menyebalkan.

Pelangi memperhatikan penjelasan guru saja belum tentu paham. Apalagi ia sama sekali tidak memperhatikan. Sudah bego, bertambah bego pula.

Gadis itu menyenggol lengan Elen seraya berbisik memanggil nama anak itu. Sementara yang dipanggil menoleh, memandang Pelangi penuh tanya.

"El, Lo kan satu sekolah dulu sama Rayden." Pelangi masih bisik-bisik.

"Hooh. Tapi nggak satu kandang."

"Kandang? Kandang burung?"

"Anjir pikiran Lo travelling. Kandang tuh maksudnya kelas."

Pelangi mengangguk-angguk. "Terus, Lo tahu apa aja tentang Rayden?"

CERAUNOPHILE [Completed]Where stories live. Discover now