12. Tidak berujung

166 51 13
                                    

"Kira-kira Rayden ngapain, ya?" tanya Cakra sembari menerawang. Setelahnya, dia menenggak air mineral di tangannya hingga tinggal setengah. "Aneh banget itu makhluk, nggak kayak biasanya."

"Khilaf sampe mana dia?" Daffin menyahut. Sudah akan rebahan, namun segera ditarik Cakra dengan cepat. Pasalnya, Daffin yang bisa dibilang tampan itu mudah sekali tertidur. Asal rebahan, dalam hitungan menit dia pasti sudah terlelap.

Mungkin jika ada hujan badai, dia juga tidak mungkin bangun dan melarikan diri. Mentok-mentok, hanya melek sebentar lalu lanjut molor. Seperti saat dia di rumah Zoe waktu itu.

Buat Daffin, tidur memang sesuatu yang harus diutamakan.

"Mana ada cowok yang khilaf kalo ceweknya Lala," celetuk Zoe. Sekarang ini, mereka tengah istirahat sejenak. Setidaknya sampai keringatnya mengering dan tidak merasa gerah lagi.

"Siapa Lala?" Si tukang molor penasaran.

"Yang sama Rayden."

"Ohh, Mba Kuntai." Cakra manggut-manggut. "Gimana Lo tahu kalo namanya Nana?"

"Lala, Budek!" Daffin jengkel sendiri. Cakra cengar-cengir dengan wajah tak berdosa.

"Dia temen gue."

"Temen?" Daffin memastikan. "Giliran punya temen bening aja nggak mau ngenalin, Lo! Yang butek-butek baru Lo kenalin ke gue."

"Percuma juga, Goblok!" Cakra berdecak. "Masih aja nungguin Tini sih, Lo."

"Namanya Saffirny! Panggilannya Sasa bukan Tini! Apaan tuh Tininit, jelek banget!!" Cowok itu merebut minum Cakra, meneguknya hingga tandas. "Baru tiga tahun," ucapnya santai.

Sejak tiga tahun lalu, gadis itu meninggalkan Daffin ke negara orang. Daffin tidak meminta dia meninggalkan dengan sejuta harapan. Cukup dia baik-baik saja, dan mengenang Dafffin sebagaimana mestinya. Hanya itu yang dia minta.

Tapi Sasa menjanjikan kepulangan. Dia akan pulang, dia akan kembali. Entah kapan, dia pasti akan pulang. Tapi... mau sampai kapan?

Daffin sudah menunggu cukup lama layaknya orang bodoh. Sampai terlihat seperti perawan tua yang tak laku-laku. Meski dia sadar, bahwa apa yang diucapkan gadis itu lebih menyakitkan dari kepergiannya.

Bahkan kata pulang yang tidak menemukan datang lebih mengerikan dari selamat tinggal.

Zoe garuk-garuk kepala. "Baru, ya?"

"Belom sepuluh tahun."

"Tiga tahu mungkin dia udah gonta-ganti cowok. Sepuluh tahun mungkin dia udah bawa anak." Cakra memanas-manasi. "Lo, mati karatan nungguin dia."

Daffin mengeplak kepala Cakra. "Urusin Retta, tuh! Baru dah tuh ngurusin hidup gue."

"Kayaknya kita trio sad boy deh." Zoe menerawang.

Cakra mengangguk, lalu berucap, "Retta susah diajak balikan."

"Sasa nggak pulang-pulang," imbuh Daffin. "Udah kayak Bang Toyip aja."

"Dia nggak pernah peka," keluh Zoe.

"Hmm, menyedihkan," gumam ketiganya secara bersamaan. Raut wajahnya sudah seperti tiga anak kucing yang terlantar di jalanan.

Tanpa sadar, tidak mengerti dia siapa yang Zoe maksud.


***

Daripada menjelaskan segudang materi yang tidak Pelangi mengerti, Rayden lebih memilih menghabiskan banyak makanan yang sudah disediakan sambil sesekali bersendawa.

CERAUNOPHILE [Completed]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora