27. Ujung koridor

125 24 6
                                    

“Lo kenapa nyungsep mulu anjrit.” Rayden membersihkan lutut gadis itu, Pelangi menumpukkan tangannya di pundak Rayden untuk jaga-jaga.

“Ya Lo-nya dorong-dorong,” omel Pelangi membela diri.

“Pegangan,” perintah cowok itu begitu melihat Pelangi yang hendak menjauhkan tangannya. “Ntar nyungsruk lagi.”

“Eh, Den.” Pelangi memindahkan tangannya di lengan Rayden. “Lo punya anak?”

“HAH??” Rayden kaget, hampir jantungan. “Bikin aja belom anjing.”

Rasa-rasanya, Pelangi ingin memukul mulut cowok itu sesekali. Rayden sama sekali tidak bisa menjaga mulutnya yang mengumpat tanpa rasa dosa di tempat yang tak seharusnya.

“Bikin?” Gadis itu malah bingung. “Bikin apa?”

“Anak.”

“Hih, mesum! Hati-hati lho ya, ini makam.” Pelangi sok menasehati. “Lo punya sodara apa nggak, kenapa malah bikin anak ngomongnya.”

“Lo nanya gue punya anak atau nggak!”

Pelangi diam sejenak, mikir. “Emang iya?”

“IYA, LAH!” Rayden ngegas.

“Ohh… heheh.” Gadis itu nyengir lebar. “… salah.”

Rayden mencibir pelan.

“Maksudnya Lo punya sodara?” tanya Pelangi dengan pertanyaan lebih jelas. “Adek atau Kakak gitu.”

“Gue anak tunggal.”

“Ohh… pasti Ayah Lo manjain Lo, ya?” Ada nada sendu di kalimat gadis itu. “Harusnya Lo bersyukur, gue nggak pernah—,”

“Iya-iya.” Rayden segera memotong ucapan Pelangi. Bukan karena dia malas diceramahi, melainkan karena tatapan gadis itu yang kelihatan banyak menyimpan kesedihan di sana. “Astagfirullah.”

Pelangi diam sejenak, lalu menyahut. Terdengar agak ngegas. “Alhamdulillah! Astagfirullah mah nyebut.”

“Oya!” Rayden baru ingat. “Berarti waktu itu gue salah anjir.”

“Salah apanya?”

Saat sholat subuh sembari menahan kantuk, Rayden tidak sengaja menginjak sarungnya sendiri. Tidak sampai merosot ke bawah, namun dia reflek menyeletuk, “Asu bajingan!”

Rayden tidak berniat bilang begitu sebenarnya, namanya juga reflek. Lalu setelahnya malah bilang Alhamdulillah, niatnya sih mau nyebut. Tapi justru mengucap syukur. Setelahnya dia melanjutkan sholat, enggan mengulang karena itu kelamaan. Dia keburu ngantuk.

“Woahh, dakjal emang, Lo!” decak Pelangi begitu mendengar cerita cowok itu. “Keliatan banget amal Lo seuprit doang.”

“Biarin,” sahutnya santai. “Ntar juga gue gedein.”

“Den…”

“Hmm.”

“Kalo Lo punya anak nanti.” Mau bini Lo, gue atau bukan, Pelangi melanjutkan dalam hati. “Jangan kayak Ayah, ya.” Ia tersenyum setelahnya, tentu bukan senyum ceria seperti yang sering Rayden lihat. “Mau dia cewek atau cowok, sempurna atau enggak… dia tetep anak, Lo.”

“Pikiran Lo kejauhan.” Cowok itu mengalihkan tatapannya. “Lagian kalo punya anak mau gue jual. Biar kaya.”

Pelangi mengeplak lengan Rayden geregetan. “Jual mbahmu!”

Rayden nyengir, lantas menggoyangkan lengannya— yang masih ada tangan Pelangi di atasnya. “Lo katanya mau konser di kuburan, buruan!”

“Nggak mau, malu.”

CERAUNOPHILE [Completed]On viuen les histories. Descobreix ara