1. Dewa Guntur

655 131 38
                                    

"LA, TURUN. MAKAN DULU!"

Teriakkan Senja begitu menggelegar dari lantai bawah. Padahal telinga Pelangi masih berfungsi dengan sangat baik.

"IYA, BENTAR!"

Gadis itu segera turun dari ranjang, menghampiri keluarganya yang sudah berkumpul di meja makan.

Alan menarik kursi di sebelahnya seraya tersenyum hangat. "Sini, duduk di samping Ayah."

Pelangi tersenyum, menuruti perintah Ayahnya tanpa perlu berpikir.

Senja segera mengambilkan nasi untuk Ayahnya. Menaruh sayuran serta beberapa lauk pauk hasil masakannya. "Makan yang banyak, Ayah. Biar sehat terus."

Ayah tersenyum, mengucap terimakasih pada anak sulungnya.

Senja menciduk nasi lagi, kali ini untuk Lembayung yang duduk di sebelahnya. Seakan sudah menjadi kebiasaannya, istri muda itu mengambilkan sayur serta lauk pauk suaminya tanpa perlu bertanya yang manakah kesukaan Lembayung.

"Thank you," ujar Lembayung dengan tulus.

Senja mengangguk dan tersenyum tipis, beralih menatap adiknya. "Kamu mau diambilin juga nggak?"

"Aku masih punya tangan," sahut Pelangi enteng. Tangannya bergerak cepat mengambil piring dan menciduk nasi.

"Maksud kamu Abang nggak punya tangan?" Lembayung menatap adik iparnya dengan tatapan tajam.

Pelangi tersenyum remeh, tidak takut dengan tatapan Lembayung. "Abang yang bilang sendiri." Gadis itu mulai menyuapkan nasi.

"Ayah." Tiba-tiba saja, Lembayung memanggil mertuanya. Membuat beliau bertanya-tanya.

"Ya?"

"Lala tadi makan permen kapas," adunya.

Alan menoleh ke samping dengan tatapan mengintimidasi. Pelangi tidak melakukan pembelaan, justru malah asyik mengunyah nasi. Itu artinya yang diucapkan Lembayung adalah sebuah kebenaran. "Ayah, kan, udah bilang, La. Jangan makan itu lagi."

Pelangi cemberut, giliran ia yang menatap Lembayung dengan tajam. "Tapi aku suka, Ayah."

"Suka boleh, tapi jangan sering-sering, ya. Kurangin makan makanan manis." Alan mengusap kepala Pelangi.

"Ya udah, deh." Pelangi iya-iya saja. Tentu dia tidak akan dengan mudah menuruti ucapan Ayahnya. Karena itu sangat mustahil, mengingat anak itu sudah kecanduan dengan permen gula kapas sejak kecil.

"Lagian itu makanan anak kecil, La. Kamu ini udah gede lho, udah kelas dua belas, kan." Senja menyahut, membuat Lembayung mengangguk setuju.

Pelangi juga tahu kalau dia sudah besar. Tapi masalahnya, jika yang namanya sudah kecanduaan itu mesti susah dihilangkan.

"Udah kelas dua belas tapi masih kayak anak esdeh."

Pelangi menendang kaki Lembayung yang ada di kolong meja. "Nyebelin! Tukang ngadu!"

Lembayung tertawa kecil. "Tapi ganteng, kan? Kakak kamu aja sampe kepincut gitu."

Secara bersamaan, kedua kakak beradik itu menjulurkan lidah. Pura-pura muntah. Sementara Lembayung dan Alan tertawa.

Dalam hati kecilnya, Pelangi merasa senang. Sebab makan malam kali ini terasa sedikit lebih hangat dari biasanya. Apalagi dia hanya tinggal berdua dengan Ayah di rumah ini.

Sementara Lembayung dan Senja sudah mempunyai rumah sendiri. Mereka berencana akan menginap beberapa hari ke depan. Tapi mereka sendiri tidak bisa menentukan berapa lama akan singgah di sini.

CERAUNOPHILE [Completed]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora