Wound tonight.

Mulai dari awal
                                    

Saat Meira melihat dari kejauhan seseorang melambai tangan, ia bergeming seraya memastikan sejenak sebab jarak masih jauh. "Iya deh kayaknya itu si Asep," gumam Mey meyakinkan diri, ia mengakhiri panggilan keluar dan menyimpan ponselnya ke saku celana sebelum bergegas menghampiri Lolita yang menunggunya sejak tadi.

"Datang juga si cantik," ucap Lolita, "sini duduk, gue udah telanjur pesan buat dua orang malah dia nggak jadi ke sini karena urusan mendadak."

"Siapa emang?" Meira duduk di samping Lolita, terhidang dua mangkuk ramen di permukaan meja, asap masih menguar dari makanan khas Jepang tersebut.

"Namanya Audrey, ada di lantai sepuluh tempatnya. Langsung dimakan, Mey. Mumpung lagi hujan deras makan ramen enak banget yey."

"Bener banget." Meira mulai menyantap makanannya dengan lahap, seperti biasa—seperti orang yang tak pernah makan. Sesekali ia menatap keadaan sekitar dalam euforia keramaian nan menyenangkan, terlihat dari kaca tebal di bagian depan bistro tersebut memperlihatkan derasnya air hujan yang menyentuh selasar hingga setiap tetesnya memantul ke sudut yang lain, beberapa orang tampak berlindung dari guyuran air hujan di sisi bistro.

Meira menoleh ke belakang, ia menyipit saat menemukan ibunya, lantas kening semakin berkerut saat Mey juga melihat jelas seorang perempuan duduk membelakanginya tengah berbicara begitu akrab dengan Ashila. Satu lagi, pria bule berada di antara mereka.

Apa itu suami mama yang baru? Terus anak perempuan itu siapa, batin Mey setelah tak menoleh lagi, ia mulai berpikir selama ini belum pernah sekalipun Meira melihat sosok suami baru Ashila, ia hanya tahu kalau nama ayah tirinya adalah Fredy, bahkan saat hari pemberkatan pernikahan di gereja Mey tetap tidak datang, ia malah menyingkir ke Bali untuk menenangkan pikiran. Jujur, Mey benar-benar marah saat Ashila tetap menikah lagi meski putrinya selalu menolak, sampai hari ini pun Meira tak pernah merestuinya.

"Loli, gue ke sana sebentar, ya. Kayaknya gue kenal seseorang," ucap Meira setelah meyakinkan diri jika ia harus menghampiri Ashila guna memastikan sesuatu, ia juga baru mengingat jika Ashila memintanya datang ke bistro malam ini, rupanya mereka akan tetap bertemu juga meski Meira tak pernah berniat mengikuti keinginan ibunya.

"Oke, Mey."

Meira beranjak dan melangkah perlahan menghampiri Ashila yang masih terlihat akrab berbicara dengan perempuan yang entah siapa, Mey mulai menduga-duga sampai ia tiba di dekat meja Ashila—tepat saat sang ibu menatap ke arahnya. Sontak Ashila beranjak seraya memasang senyum sumringah menanggapi kehadiran Mey.

"Sayang, kamu beneran datang, makasih banyak, Nak," tutur Ashila yang kini berdiri di dekat Meira, saat hendak menyentuh tangan gadis itu—tangan Meira justru menghindar, putrinya terpaku menatap sosok Fredy serta perempuan yang sempat berbicara dengan Ashila, Meira mengenali wajahnya.

"Meira?" Perempuan tersebut tampak senang, ia berdiri diikuti Fredy. "Jadi, Meira ini anak Mama dari suami yang dulu, ya?"

"Mama." Meira tampak terkejut mendengar Luna menyebut Ashila dengan sebutan 'mama', ia menatap nanar Ashila dan Luna bergantian, sangat jelas jika ia membutuhkan sebuah penjelasan detik ini juga. "Apa ini, kenapa Luna panggil Mama dengan sebutan yang sama. Dia siapa?" Meira terlihat marah.

"Luna ini sekarang anak mama, Mey. Dia putrinya papa baru kamu, Papa Fredy," ucap Ashila dengan tenang, ia menyentuh lengan Meira, tapi gadis itu menepisnya dan memperlihatkan mata yang berkaca.

"Jadi, aku punya saudara tiri dari suami Mama yang baru, dan dia adalah Luna."

"Iya, Mey. Niat mama meminta kamu ke bistro ini memang untuk memperkenalkan kamu tentang saudara tiri dan papa baru kamu, kalian satu apartemen."

"Ini nggak mungkin." Air mata meluruh setelah bendungannya tak mampu lagi menahan terjangan yang sudah disimpan sedari tadi. "Sejak awal aku nggak pernah menyetujui pernikahan Mama, dan sekarang Mama kasih surprise luka yang membuat aku semakin sakit, Ma! Aku nggak mau punya saudara tiri siapa pun itu!" Mey sampai berteriak saking emosinya, pengunjung bistro pun memperhatikan ke arah mereka—termasuk Lolita yang kini beranjak menghampiri Meira.

"Mey, kamu udah dewasa, harusnya kamu bisa menyikapi semua ini dengan bijak," tutur Ashila yang juga memperlihatkan wajah sedihnya, ia tak menyangka jika Meira akan menolak kehadiran Luna sebagai saudara tiri. Luna hanya diam, ia menunduk saat tatapan marah dalam eboni Meira menghunusnya, bahkan lebih mengerikan saat air mata turut serta. Fredy juga memilih diam, ia merasa jika masalah tersebut harus diselesaikan oleh Ashila dan Meira saja. Jika Fredy angkat bicara ia hanya takut akan menambah masalah.

"Ada apa, Mey? Kok lo nangis sambil teriak-teriak, semua orang lihat ke sini," ucap Lolita tampak khawatir, ia menatap Ashila, Luna dan Fredy bergantian. Wajah-wajah mereka terlihat asing di matanya, mungkin hanya Luna yang masih familier sebab Lolita pernah melihat beberapa kali saat datang ke unit Meira.

Tatapan Mey yang sempat menghunus Luna kini beralih pada Ashila. "Mama dengar ini baik-baik, tanpa Mama bicara pun aku udah mulai belajar dewasa setelah Mama memutuskan ikut suami baru Mama ke Jerman dan tinggalin aku di Jakarta. Mama nggak perlu repot menjelaskan, tapi untuk masalah yang satu ini aku nggak mau toleransi. Mama memang nggak pernah sayang sama aku, kalau tahu begini lebih baik Mey ikut papa waktu itu." Ia melenggang pergi seraya melanjutkan air mata, berlari kecil di antara banyaknya orang yang melihatnya tanpa ingin peduli.

Pintu keluar yang terlihat sangat dekat mengapa jaraknya terasa cukup jauh dan sulit digapai, terdengar teriakan Lolita dan Ashila menyerukan namanya, tapi Mey sekalipun tak ingin menoleh. Ia tetap keluar dari bistro dan meninggalkan jejak luka yang tercecer di mana-mana.

Beberapa penghuni apartemen yang terlihat di lobi merasa aneh melihat Meira datang dengan wajah yang sembap, saat petugas resepsionis bertanya dengan raut cemasnya pun Meira tak menjawab dan hanya menggeleng sebelum menghampiri lift. Untungnya ia sendirian berada di dalam lift agar leluasa melanjutkan isak tangisnya, Mey meluruh dan terduduk di sudut lift seraya menangis.

"Kenapa harus Luna, Ma. Kenapa, kenapa dari semilyar orang di dunia kenapa harus Luna." Mey membenamkan kepala di antara ruang lutut yang tertekuk dalam pelukannya, ia benar-benar sakit hati malam ini, air hujan dari langit sama seperti air hujan di wajahnya.

Lantas petir yang terdengar menjadi aba-aba akan sesuatu.

***

Jadi, kemarin siapa ya yang pernah tebak soal Luna?

TurtledoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang