"Ya udah, lo udah tahu kan tempatnya." Panggilan berakhir, senyum Meira kembali terukir. Kini niatnya datang ke kampus ia urungkan, semangat untuk menemui Riska rupanya lebih besar ketimbang melihat teman-temannya di kampus, ternyata sebuah rasa bisa memutarbalikan segalanya.

Meira memacu kendaraannya lebih kencang, ia masih ingat alamat basecamp yang pernah didatanginya suatu malam saat hujan deras tiba, jika mengingat malam itu Meira menjadi kesal sendiri, apalagi membayangkan keakraban Luna terhadap teman-teman Riska, Luna sudah masuk dalam circle pertemanan Riska.

Setibanya di halaman basecamp Meira bergegas turun penuh semangat, ia bahkan tersenyum menatap ke-lima laki-laki yang duduk berjejeran di depan basecamp seraya menatapnya.

"Kayaknya gue udah mulai halusinasi, padahal kita belum berangkat ke Merbabu, konyol banget mata gue," celetuk Angga tanpa kedip menatap Meira, jarak mereka sekitar tiga meter.

"Itu bukannya model majalah itu, kan? Yang sering dibahas anak-anak, ngapain dia di sini?" Kali ini Tama yang bersuara, ia merasa aneh bisa melihat kehadiran Meira.

"Rezeki nomplok bisa lihat cewek cantik sebelum berangkat, jangan-jangan habis ini gue bakal mati," cerocos Saka.

"Dia nyari siapa ya ke sini." Tirta turut serta, Riska sendiri hanya diam menanggapi kedatangan Meira. Ia tak seheboh teman-temannya menanggapi munculnya perempuan itu, Riska pun beranjak ketimbang membiarkan Meira yang menghampiri. "Itu si Riska nyamperin Mey? Beneran si Riska?" Tirta terlihat tak percaya.

"Mereka ada hubungan apa, ya. Bukannya Riska punya cewek yang namanya Luna itu, kan," imbuh Tama.

"Hush! Biarin, urusan dia. Kita nonton aja," tutur Saka.

"Nah ya, kapan lagi lihat cewek cantik bikin seger mata pagi-pagi." Suara Angga mengakhiri obrolan mereka yang kini berfokus pada interaksi antara Riska dan Meira di dekat mobil.

"Ada apa pengin ketemu gue?" tanya Riska, akhir-akhir ini sikap laki-laki itu tak seketus biasanya, ia terlihat lebih santai menanggapi kehadiran Meira, ia menoleh menatap ke-empat temannya yang masih memperhatikan mereka.

"Ya, gue pengin lihat lo aja sebelum pergi, siapa tahu besok nggak bisa ketemu lagi karena lo diumpetin sama jin yang ada di Merbabu," selorohnya begitu mudah.

"Lo gila? Ya enggaklah," elak Riska, "lagian dengar hal kayak gitu dari mana, jangan keseringan baca cerita horor, nanti lo kebanyakan halusinasi."

"Gue baru nonton semalem kok di laptop, tapi kalau kisah nyata emangnya bisa dianggap bohong? Emangnya selama lo hiking enggak pernah mengalami hal mistis?" Apa yang ingin Meira tanyakan terlontar juga.

"Nggak, selama lo punya Tuhan ya jangan takut hal begituan. Jangan lagi nonton, nggak baik."

"Iya, iya."

"Ya udah sana pulang, udah ketemu kan."

"Jaket sama beanie yang gue kasih dibawa enggak?" Jawaban Riska yang mengangguk membuat Meira tersenyum sumringah. "Lo di sana berapa lama?"

"Sekitar tiga harian."

"Oke, gue bisa pergi sekarang, tapi boleh minta satu hal nggak?"

"Apa?"

"Peluk lo." Meira mengutarakannya begitu saja, tanpa penghalang dan tanpa pikir panjang, apa yang ia inginkan harus segera direalisasikan. Riska tertegun mendengarnya, ia tak menolak atau menjawabnya. Ketika Meira mendekat lebih dulu tubuh Riska tetap berada di posisinya, tak bergerak sama sekali. Kini perempuan itu berhasil menggamit tubuh Riska sesuai keinginannya, ia mendekap erat dan menyandarkan kepala di dada bidang Riska.

Laki-laki yang dipeluknya seperti tak memiliki daya melawan serta bicara, hanya embusan napas serta gerakan mata yang memperjelas kehidupannya. Dekapan Meira semakin erat saat nyaman membuatnya ingin bertahan lebih lama, ia tak pernah berpikir untuk melakukannya di jauh-jauh hari.

Nyamannya nggak beda sama seperti pas gue peluk punggungnya dari belakang waktu itu, terus sekarang bau parfum Riska bikin gue nggak mau ke mana-mana. Apa ini benar? Meira belum berniat melepas pelukannya, ia semakin hanyut di sana saat si pemilik tubuh tiba-tiba membatu. Ke-empat teman Riska mulai menerka-nerka tentang sesuatu yang mungkin terjadi antara Meira dan Riska, pasalnya selama ini mereka hanya tahu kalau Luna adalah kekasih Riska.

Perlahan Meira melepas pelukan itu, ia mengangkat wajah menatap Riska yang seperti menghindari kontak mata dengannya. Mey tersenyum simpul seraya berkata, "Maaf ya, pasti lo nggak nyaman." Riska tak menyahut, ia hanya menatap Mey sekilas. "Ya udah gue mau pergi, lo hati-hati di jalan, jangan lupa pulang." Meira melambai tangan sebelum memasuki mobilnya dan berlanjut memacu kendaraan tersebut membawa Mey benar-benar lesap dari penglihatan Riska.

Tubuh Riska sempat tertahan di sana sampai akhirnya ia mampu bergerak, tadi itu apa? Mengapa bisa kaku seperti mayat yang diawetkan dengan formalin? Apa Riska mulai gila?

Ia meraup wajah, kini tubuhnya benar-benar berfungsi dengan normal, mengapa sentuhan Meira membuat sekujur tubuhnya menegang hebat. Riska menyingkir menghampiri teman-temannya yang sudah menunjukan tanda-tanda siap membedah segala hal antara Riska serta Meira, tapi belum sempat salah satu di antara mereka berempat memberi pertanyaan Riska lebih dulu mengangkat telempap kiri sebagai tanda agar mereka diam, ia masuk basecamp dengan benak yang tak keruan.

Magic apa yang Meira miliki hingga hebatnya membuat Riska membeku seperti tadi.

***

Tanda-tanda apa ini?

TurtledoveWhere stories live. Discover now