Consumed with jealousy.

Mulai dari awal
                                    

"Mey," panggil Selly yang sudah berdiri di belakang Meira, sahabatnya memutar tubuh dan menatapnya bergantian dengan laki-laki di samping Selly. "Kayaknya ini emang rezeki elo deh, Mey."

"Rezeki gimana maksudnya?"

"Jadi, lo kan sendirian aja. Gue sebagai sahabat merasa prihatin dong, ternyata ada mukjizat." Ia menyentuh lengan laki-laki di sebelahnya. "Ini Jonathan, sepupu gue yang sengaja datang dari Bandung, dia kasih surprise di acara ulang tahun gue ini, dia waktu kecil tiap hari main bareng sama gue, Mey."

"Jonathan, panggil aja Jo." Sepupu Selly mengulurkan tangan di depan Meira yang baru dibalas setelah Mey menatapnya lebih dari sepuluh detik, saat bersalaman pun seperti ogah-ogahan.

"Meira, Mey aja."

"Jadi, lo sama Jo aja ya buat malam ini. Maksud gue buat temenin lo ngobrol daripada sendirian aja, kan." Perkataan Selly lebih bernada mengejek bagi Mey, ia pasti tertawa menghinanya dalam hati.

"Ya udah enggak apa-apa daripada gue jadi kambing congek sendirian." Mey menunjukan rasa bosannya.

"Kalau gitu, Jo. Gue tinggal ya, lo ngobrol aja sama Mey, dijamin langsung kepincut," ucap Selly sebelum melenggang menghampiri Adrian serta kedua orangtuanya.

Mey bersidekap, ia memutar bola mata merasa semakin jengah dengan keadaan, tapi mau tidak mau Mey terpaksa mengalah dan membiarkan sepupu Selly berbicara dengannya ketimbang Mey stres dan mengobrol dengan gelas cocktail yang kosong.

"Lo dekat banget pasti kan sama Selly, tadi dia udah cerita lebih dulu, pasti lo tahu kan kalau Selly sebentar lagi mau tunangan," ucap Jo mencoba membuka percakapan.

"Sama Adrian?" Meira menganga, hubungan sahabatnya cepat sekali berkembang hingga menemui step tersebut.

"Iya, gue lumayan dekat sama Adrian, sebenarnya surprise buat malam ini kalau Adrian mau ngajak Selly tunangan, tapi malah Selly udah tahu duluan walaupun Adrian belum tahu kalau pacarnya udah dapat bocoran informasi."

"Eum, gitu. Ya baguslah."

"Kalau lo?"

Mey berkedip beberapa kali. "Gue? Kenapa sama gue?"

"Lo kapan."

"Apanya?" Mey terlihat kebingungan.

Jonathan tersenyum tipis. "Udah nggak usah dibahas, lo udah pernah ke Bandung belum?"

"Pernah, beberapa kali karena ada pemotretan di sana. Kenapa emang?"

"Tapi, kalau traveling di sana pernah?" Perempuan di dekatnya menggeleng. "Kalau gitu lain kali ke Bandung lagi, gue bisa jadi tour guide lo buat traveling di Bandung, lagian dekat dari Jakarta."

"Oh, iya lain kali."

Mereka masih terus berbicara meskipun Mey menanggapi semampunya, tapi Jonathan tipikal orang yang pintar mengganti topik pembicaraan agar Meira menanggapinya setelah ia melihat aura kejenuhan dalam diri perempuan itu. Jonathan berusaha membuat Mey merasa nyaman berada di sana sampai tiba saat acara dimulai.

Seorang pembawa acara berdiri di dekat Selly, ia mengatakan banyak hal tentang sambutan selamat datang serta ucapan terima kasih sebab Selly mengadakan acara yang begitu menarik, lantas proyektor dari sudut lain yang terhubung dengan laptop menyala—memperlihatkan foto-foto Selly semasa kecil hingga ia berusia 21 tahun seperti sekarang.

Orang-orang bertepuk tangan saat video slide foto tersebut berakhir, lantas dilanjutkan dengan acara tiup lilin yang cukup krusial, Selly merapal doa dalam hati sebelum meniup lilin dengan angka 21 dari kue ulang tahunnya yang tinggi, setelahnya surprise yang sudah Adrian rencanakan terjadi—meski Selly sudah tahu pada awalnya, Adrian mengajak Selly ke altar yang tersedia, lebih tepatnya altar khusus untuk orang-orang jika ingin menyumbang lagu atau menjadi disk jockey dengan alat lengkap yang tersedia.

Lagi-lagi terdengar suara tepuk tangan banyak orang memenuhi ballroom tersebut, Meira tetap diam menikmati apa yang ada di samping Jonathan tanpa pernah sedetik pun laki-laki itu menjauh darinya. Lantas tiba seorang pramusaji acara membawa nampan berisikan cocktail, ia menyodorkannya untuk Mey dan Jonathan, Mey pun meraih salah satunya tanpa berlanjut ia teguk.

"Pantas aja tema pestanya romantic date, kayaknya Selly udah nebak kalau bakal ada beginian," ujar Jonathan.

"Mungkin." Mey meneguk cocktail tersebut, tapi selang beberapa detik ia meletakan gelas matanya seperti berkunang-kunang. "Jo, gue mau ke toilet dulu, ya."

"Mau diantar?" tawar Jonathan.

"Nggak usah." Mey masih sanggup menatap keadaan sekitar, ia semakin merasa sesuatu yang tidak beres tengah terjadi padanya, Meira memutuskan keluar dari ballroom. Ternyata ia tak menghampiri toilet seperti yang dikatakannya pada Jonathan tadi, Mey menghampiri lift dalam kondisi yang membuat tubuhnya merasa begitu lemas, ia sampai harus meraba tembok di dekatnya agar bisa melangkah dengan benar.

Seorang laki-laki yang baru keluar dari ballroom tersenyum miring melihat kondisi Meira, ia melangkah di belakangnya seraya menunggu tumbangnya perempuan tersebut. Mey sudah berdiri di depan lift yang kebetulan baru terbuka dan memperlihatkan seseorang keluar dari sana sendirian tepat ketika Mey ambruk dan menemui sebuah pelukan di depannya.

Laki-laki yang sempat mengikuti Meira mendelik tak percaya melihat perempuan incarannya jatuh ke pelukan orang lain. Riska menepuk pelan pipi Meira beberapa kali, tapi tak ada pergerakan yang membuat gadis itu sadar. Ia menatap tajam ke arah laki-laki yang masih memperhatikan Meira dari jarak satu meter.

"Lo apain dia," ucap Riska.

Laki-laki asing tadi mendekat. "Bukan urusan lo, kasih ke gue itu cewek, dia ada kencan sama gue sekarang."

"Nggak mungkin." Riska tersenyum miring. Tepat saat tangan laki-laki tadi hendak menyentuh Meira, Riska menendang pinggangnya tanpa melepaskan Meira. "Kalau mau balas soal malam ini, cari gue di Kampus Malaka, nama gue Riska." Ia membawa Meira yang tak sadarkan diri ke dalam lift dengan memapahnya ala bridal style.

Laki-laki yang sempat ditendang pinggangnya oleh Riska tadi begitu kesal, ia mengumpat berkali-kali sebelum memukul tembok di sisi lift. "Sialan! Kalau kayak gini gue nggak akan dapat bayaran sama sekali, gue pasti bakal kena marah, malah bisa diamuk sama orang-orangnya dia!"

Untung saja Riska hafal seperti apa mobil Meira, ia merogoh kunci dari tas perempuan itu untuk menyalakan mobil, mendudukan Meira di kursi depan sebelah kiri tanpa lupa memasangkan sabuk pengaman, Mey benar-benar tak membuka mata. Mungkin saja ia baru mengonsumsi obat tidur sampai seperti itu, Riska tak mengetahuinya.

Riska masih berdiri di dekat pintu sisi kanan. Ia berdecak setelah merasakan pening akibat ulah Meira, sebab selanjutnya masih ada yang perlu diselesaikan. "Siapa yang mau antar dia pulang ke apartemen, gue kan bawa motor. Nggak mungkin." Riska merogoh ponsel dari saku celana, ia menghubungi seseorang. "Lo bisa ambil motor gue enggak di parkiran Hotel Sakura sekarang, sama Tirta ya. Gue tunggu." Panggilan lantas berakhir, ia membungkuk mengecek keadaan Meira di dalam, tapi tetap sama saja. "Kalau gue antar dia pulang, terus mau ke mana? Kalau ke apartemen nanti malah ketahuan Luna. Sialan banget emang!"

***

Habis ini bakalan ada apa hayo?

Habis ini bakalan ada apa hayo?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
TurtledoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang