BAGIAN 33: Ujung Tanduk

1.8K 151 8
                                    

Waktu berlalu begitu cepat. Perlahan matahari mulai terbenam. Tugasnya menyinari bumi telah selesai dan digantikan oleh cahaya bulan. Romi melangkahkan kakinya memasuki rumah yang teras sunyi seperti biasa. Pria itu baru saja mengantarkan Renata, Chelsea, dan juga Keyla kembali ke rumahnya.

Sesaat Romi melirik pintu kamar Reina yang masih tertutup rapat sejak pagi tadi. Helaan napas panjang terdengar keluar dari mulut Romi sebelum akhirnya pria itu berjalan menaiki anak tangga. Saat sudah sampai di depan kamar Reina, barulah angan Romi bergerak mengetuk pintunya pelan. Namun setelah mencoba berulang kali mencoba Romi tidak kunjung mendapat balasan dari Reina.

"Rein, Papa masuk ya?" ijin Romi.

Tanpa pikir panjang lagi dia pun membuka pelan pintu kamar Reina. Hal yang pertama kali Romi lihat adalah cahaya lampu meja belajar Reina yang menyala. Gadis itu tampak sibuk berkutat dengan buku-bukunya tanpa peduli dengan kehadiran Papanya.

"Sayang?" panggil Romi. Reina tidak merespon dan hanya fokus menulis sesuatu di atas bukunya.

Hembusan napas kasar terdengar keluar dari mulut Romi. "Papa minta maaf," ujar Romi. Membuat kegiatan menulis Reina terhenti.

"Papa salah selama ini Rein, Papa terlalu memaksa kamu ya? Maafkan Papa. Papa memang bukan Papa yang baik, tapi Papa selalu berusaha memberikan hal yang terbaik untuk kamu," ujar Romi.

"Tapi ternyata cara Papa salah. Kamu berhak punya bahagia kamu sendiri, punya dunia kamu sendiri. Kamu berhak menyuarakan pendapat. Karena kamu anak Papa, bagian dari keluarga Papa. Maafkan Papa yang selama ini selalu memaksa kamu untuk melakukan ini dan itu. Papa sadar Papa benar-benar egois," ujar Romi lagi.

"Pah..." Reina berujar lirih. Dia tidak suka ada dalam situasi dan kondisi seperti ini.

Romi menatap Reina sembari tersenyum getir. "Papa sudah memutuskannya. Kalau memang kamu tidak setuju dengan pernikahan Papa, Papa akan batal menikah. Dengan hadirnya kamu di hidup Papa, Papa sudah merasa cukup dan bahagia. Papa tidak akan memaksakan kehendak Papa lagi," ujar Romi. Namu Reina menggelengkan kepala mendengar itu.

"Pah, Papa nggak perlu batal menikah. Bukannya kemarin Papa bilang kehadiran keluarga lengkap akan mendatangkan kebahagiaan yang lebih? Jemput bahagia itu Pah," ujar Reina.

"Papa berhak dapet bahagia lebih banyak. Reina setuju Papa menikah lagi kalau hal itu bisa bikin Papa bahagia," ujar Reina lagi. Ya, semoga saja keputusannya benar.

"Reina yang salah selama ini, Pah. Reina nggak mikirin perasaan Papa. Pasti rasanya berat banget kan selama tujuh tahun hidup tanpa dampingan seorang istri. Reina harusnya mikir ke situ. Kalau Papa juga butuh penyemangat hidup, butuh bahu yang dijadiin sandaran ketika Papa lemah. Papa nggak salah, Papa berhak nikah lagi. Reina nggak keberatan, Pah. Nanti Reina usahakan buat nerima Tante Renata," kata Reina. Gadis itu sudah memikirkannya semalaman penuh. Dan ini adalah keputusan akhir yang dia ambil.

"Papa nggak akan maksa kamu lagi Reina. Kalau memang kamu nggak suka bilang nggak suka. Jangan mikirin kebahagiaan Papa. Semangat Papa sumbernya itu dari kamu. Papa semangat kerja juga demi kamu. Kamu harus punya karier yang lebih bagus dari Papa. Ya, kamu jangan mikirin kebahagiaan Papa, pikirin kebahagiaan kamu sendiri. Papa rasa Papa nggak perlu menikah lagi, hadirnya kamu di hidup Papa saja sudah cukup," ujar Romi.

Reina menggelengkan kepala. "Pah, aku bener-bener serius. Kalau Papa mau nikah lagi silahkan. Reina udah mikirin semuanya mateng-mateng. Reina nggak akan keberatan Pah. Toh, selama ini Tante Renata selalu baik sama kita. Justru Reina yang selalu bersikap nggak sopan sama Tante Renata. Selama ini Reina udah keterlaluan, Pah. Dan Reina minta maaf. Papa berhak dapat bahagia yang lebih," ujar Reina.

"Jadi kamu setuju Papa nikah dengan Tante Renata?" tanya Romi tak percaya.

Reina menganggukkan kepala dengan sebuah senyuman terbit di bibirnya. "Reina setuju setuju aja. Asal-" Reina menggantungkan kalimatnya.

"Asal apa sayang?" tanya Romi penasaran.

"Asal Tante Renata nggak seperti mama tiri di film-film," kata Reina. Membuat Romi terkekeh mendengarnya. Pria itu lantas mengacak rambut Reina pelan.

"Ya, enggak lah sayang. Kalau Renata berani berbuat jahat sama kamu, jangan segan laporin ke Papa. Lagipula apa selama ini pernah Renata berbuat tak pantas kepada kamu?" kata Romi. Reina menggelengkan kepalanya.

"Jadi itu alasan kamu nggak setuju Papa nikah lagi?" tanya Romi.

"Ya enggak lah, Pah. Reina cuman belum bisa nerima Tante Renata aja. Lagipula Reina udah terlalu nyaman kaya gini. Hidup tanpa kehadiran seorang Mama. Tapi Rsina janji, Reina akan berusaha bersikap lebih baik ketika berhadapan dengan Tante Renata. Reina mau nyoba nerima kehadirannya di hidup Reina," ujar Reina, "sama nanti kalau Papa sudah menikah, Papa janji ya harus selalu sayang sama Reina?" kata Reina lagi.

Romi tersenyum. Dia mengelus Rambut Reina penuh kasih sayang. "Papa janji. Ingatkan Papa kalau Papa salah jalan. Papa juga manusia yang tidak pernah luput dari kesalahan. Papa bukan Papa yang sempurna, tapi Papa akan terus berusaha menjadi Papa terbaik yang pernah ada."

Tangan Romi bergerak membawa tubuh Reina ke dalam dekapannya. Ia memeluk putrinya itu erat. "Makasih ya sayang. Kamu putri Papa satu-satunya yang udah mau ngertiin keadaan Papa," ujar Romi.

"Reina yang harusnya bilang makasih sama Papa. Papa udah jadi Papa terbaik bagi Reina. Reina bersyukur punya Papa. Papa jangan pergi dari hidup Reina ya?" kata Reina.

Romi menganggukkan kepala. Sebelah tangannya bergerak mengelus surai hitam Reina penuh kasih sayang. Perasaannya seketika menghangat saat ini juga. Satu persatu masalahnya mulai terselesaikan.

"Ini malam minggu loh, kamu tidak pergi keluar dengan Alaric?" tanya Romi setelah mengurai pelukannya. Reina terdiam sesaat, mana ada Alaric mengajaknya jalan.

"Senin nanti kan udah ujian Pah, Reina harus belajar dong," jawab Reina sembari menunjuk bukunya yang berserakan di atas meja belajar.

"Ya keluar sebentar nggak apa-apa lah, biar otak kamunya fresh, kamu sudah belajar dari pagi loh," ujar Romi. "Lagian kalau Papa lihat-lihat kamu sama Al nggak pernah jalan-jalan keluar ya?" tanya Romi lagi.

Reina menaikan sebelah alisnya. "Pernah kok Pah, jarang aja," balas Reina seadanya.

"Kamu bahagia dengan Alaric Reina?" tanya Romi tiba-tiba membuat kening Reina mengkerut.

"Papa kok tanya gitu, sih?"

"Papa hanya ingin memastikan. Kelihatannya kamu tertekan dengan hubungan bersama Alaric," ujar Romi. "Papa akan memperbaiki semuanya. Saat itu Papa terlalu memaksa kamu dengan perjodohan itu bukan?"

"Sekarang jujur sama Papa kamu bahagia dengan Alaric atau tidak?" tanya Romi lagi. Reina bergeming di tempatnya. Gadis itu diam sembari menggigiti bibir bawahnya. Dia sendiri juga tidak tahu jawabannya karena dia tidak merasa sedekat itu dengan Alaric.

"Papa sedang belajar untuk mengutamakan kebahagiaan kamu. Maka dari itu kalau kamu tidak bahagia bersama dengan Alaric, Papa bisa berbicara dengan Reynald untuk megakhiri pertunangan ini," ujar Romi.

"Jadi, kamu bahagia dengan Alaric atau tidak?"

- Bersambung -

Story of Reina [SELESAI]Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz