Chapter 15

74.1K 3.7K 100
                                    

Entah kenapa aku benar-benar tidak bisa tidur malam ini, munginkah karena aku masih berada didalam mansion ini, ya kami memang menginap di mansion ini karena Melisa meminta kami untuk tetap tinggal dalam mansion ini sampai dia kembali ke Washington dalam empat hari lagi, itu setidaknya kami menginap dalam mansion ini selama tiga malam, aku baik-baik saja dengan hal itu, tapi Sean terlihat keberatan, mungkin itu karena adanya Daniel dalam mansion ini?, semuanya terasa lebih rumit dan sulit sekarang.

Aku melihat Sean yang tertidur pulas disampingku, dia terlihat sangat lelah, mungkin pertemuan itu memang benar-benar menguras semua tenaganya, aku membelai rambutnya dengan lembut sebelum beranjak dari tempat tidur, aku membuka pintu kamar lalu aku keluar, aku pelan-pelan menuruni tangga, berusaha untuk tidak membuat suara sekecilpun, aku tau bahwa telinga pelayan disini sangat peka, sedikit saja suara dencitan, mereka akan langsung bangun dan memeriksa dari mana asal suara itu.

Aku menatap dapur dengan ragu, aku ingin sekali membuat secangkir chamomile agar aku bisa kembali tertidur, tapi peringatan dari Melisa tentang dapur kembali berputar-putar di kepalaku, aku mengurungkan niatku untuk berjalan kearah dapur, kemudian aku teringat dengan rumah kaca milik keluarga Blackstone yang ada di halaman belakang, tanpa berpikir panjang lagi aku segera menuju kesana, kubuka pintu masuk rumah kaca itu dengan pelan, seketika itu juga aku melihat ada orang lain di dalam sini, aku mendekat dan terus mendekat untuk melihat siapakah orang itu, dan ketika aku semakin dekat dengannya, pandangan kami kembali bertemu, aku melihat mata itu menatapku dengan tatapan hangat, dan saat itulah aku merasakan perasaan aneh dalam diriku, logikaku berteriak padaku untuk meninggalkannya dan jangan pernah menatapnya lagi, tapi perasaanku berkata bahwa aku harus mendekat padanya, selama ini Melisa memberitahuku untuk berpikir menggunakan logika, karena biar bagaimanapun kita tetap harus mengambil keputusan yang masuk akal, aku mencoba untuk menjadi seperti yang dia katakan, dan aku berhasil menjadi apa yang dia mau, tapi seakan semua perasaan dalam hatiku rasanya telah mati, dan untuk pertama kalinya aku mengabaikan logikaku dan memilih untuk menghampirinya, ya, aku memilih perasaanku.

"Kupikir ini adalah sebuah keajaiban saat kau benar-benar ada didekatku" dia bersuara, aku tersenyum tipis lalu semakin mendekat kearahnya, saat aku beranjak untuk duduk disampingnya dia mencegahku.

"Tunggu, bangkunya terlalu kotor untuk kau duduki" dia berujar lalu mengeluarkan sapu tangan dari saku celananya, dia membuka kain persegi itu dan menggelarnya di bangku tempatku duduk, dia memang seorang gentleman.

"Kau baik-baik saja?" aku bertanya padanya sambil menatapnya, tapi dia sama sekali tidak ingin menatapku, atau dia menghindarinya, aku benar-benar tidak tahu.

"Kau tidak perlu menjawabnya jika kau tidak mau"

"Mungkinkah aku lebih hancur dari saat ini Ashley?, mungkinkah keadaannya jadi lebih buruk lagi?, hari ini aku pergi ke pertemuan itu, dan orang-orang serakah itu melihatku seolah aku adalah sampah yang sangat menjijikkan" kata-katanya seakan menusukku, kata-katanya adalah kata-kata yang sama yang pernah kuucapkaan saat pertama kali aku masuk kedalam keluarga ini, aku tau bagaimana perasaannya, dan mungkin saat ini dia lebih menderita dariku.

"Bagaimanapun juga kau telah memilih pilihan ini, pilihan tanpa adanya jalan untuk kembali pulang, kau dan aku memilih pilihan yang sama, kita akan tetap tersesat satu sama lain, dan akan terus berjalan tanpa adanya jalan keluar, tanpa adanya setitik cahayapun yang menyinari langkah kita, walaupun begitu kita harus tetap menjalaninya, hudup meski menderita itu bisa dijalani, kita hanya harus menjalaninya saja" aku berujar sambil menerawang masa laluku, aku menahan air mataku yang seakan ingin tumpah dari kelopak mataku kapan saja. Dan saat ini aku sadar bahwa dia telah melihatku dia telah memandangku sepenuhnya.

"Kenapa kau memilih ini Ashley?, kenapa kau memilih neraka ini?" tanyanya dengan pandangan sedih.

"Karena tidak pernah ada kata rumah bagiku, rumah tidak terasa seperti rumah karena aku tidak memiliki siapapun didalamnya, tidak ada kata pulang atau kembali untukku, karena bahkan aku tidak tahu bagaimana memulainya, kupikir tidak apa menjalani hidup seperti ini, kupikir tak apa jika aku menderita, toh sejak awal aku memang sudah menderita, lalu semuanya menjadi sulit, dan aku mendapati diriku sebagai seorang pengemis di keluarga ini" aku menjelaskan dengan tenang tanpa air mata yang menetes, aku melihatnya lalu tersenyum tipis padanya.

Forever MineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang