Chapter 14

92.2K 4.3K 133
                                    


Malam itu sebenarnya bukan malam terburuk untukku, tapi nampaknya itu adalah malam yang paling berat bagi Sean, mungkin jika dia memergoki ayahnya sedang bercumbu dengan wanita lain reaksinya tidak akan seperti ini karena ayahnya memang sudah sering melakukannya dengan hampir separuh wanita di kota ini, tapi malam ini dia dihadapkan dengan hasil kelakuan bejat ayahnya, yaitu pewaris kedua keluarga Blackstone.

Aku pikir aku sedang bermimpi saat aku benar-benar melihat pewaris kedua itu memasuki mansion keluarga Blackstone, kupikir keluarga ini tidak akan membiarkan lahirnya pewaris kedua yang mungkin akan memancing perebutan perusahaan ini, aku bertaruh Melisa akan langsung membunuh pewaris kedua itu begitu pewaris itu lahir untuk mencegah kekacauan yang akan terjadi, tapi semuanya begitu berbeda saat ini, mungkinkah dia membunuh Daniel, bisakan dia membunuh pria itu ketika semua keluarga Blackstone telah mengetahui adanya pewaris kedua itu, apa yang sebenarnya direncanakan oleh Melisa.

Aku mengambil beberapa es dilemari pendingin lalu membungkusnya dengan handuk putih, aku kembali kearah Sean yang masih duduk di kursi bar dapur, aku menyentuh tangannya dengan pelan, takut aku akan menyakiti tangannya. Aku kembali melihat kearahnya dan dia hanya menunduk tanpa menatapku. Aku membungkukkan tubuhku lalu mencium pelipisnya dengan lembut, perlahan-lahan dia mengangkat kepalanya untuk melihat kearahku, aku tersenyum lembut menenangkan lalu meraih tangannya yang terluka karena terlalu banyak menghujamkan pukulan-pukulan pada ayahnya, tangannya terlihat lebam dan membengkak, aku mengompresnya agar luka itu tidak membengkak, aku melakukannya dengan hati-hati agar dia tidak kesakitan, dan dia menahannya dengan baik karena dia sama sekali tidak mengeluarkan suara kesakitan.

"Sangat parah, kau tidak pernah seperti ini sebelumnya" aku membuka pembicaraan, tapi dia tetap diam, dan itu membuatku semakin khawatir padanya. Aku mengusapkan cairan obat pada lukanya lalu membalut lukanya dengan perban.

"Kini kau lebih mirip seperti petinju" aku berujar dan aku melihat senyuman tipis Sean menghiasi bibirnya, kini aku lega, setidaknya aku tidak kehilangan Sean, setidaknya Sean masih ada dalam dirnya yang sebenarnya. Aku tersenyum lalu meraih lengan untuk turun dari kursi bar dan dia mengikutiku. Aku membuka kamar dan mendudukkannya di ranjang, aku berjalan kearah walk in closet, aku mengganti pakaianku dengan sweeter warna putih panjang milikku kemudian aku meraih kaus hitam milik Sean yang terlipat rapi disana. Aku kembali kearah Sean lalu aku melepas jas dan kemejanya dan menggantinnya dengan kaus hitam itu. Setelah selesai aku membaringkannya disisi ranjangnya, dan aku menyusul berbaring disisinya. Dia masih saja diam, aku tidak suka dia seperti ini, aku tidak tahan lagi sekarang.

Aku menatapnya yang masih terjaga, aku memutuskan untuk mendekatinya, berbaring sambil memeluk pinggangnya, dan aku menyandarkan kepalaku pada dada hangatnya, ini sangat nyaman. Kini dia bergerak untuk memandangku, sampai akhirnya dia melingkarkan sebelah lengannya yang terluka disekeliling pinggangku. Aku mencium bibirnya dengan lembut hingga membuatnya terkejut, tapi dia masih saja diam.

"Bicaralah padaku, aku takut" aku berujar sambil kembali menanamkan ciuman di bibirnya.

"Apa yang ingin kau bicarakan?" akhirnya dia berkata, aku tersenyum karena usahaku untuk membuatnya bicara berhasil.

"Apa warna kesukaanmu?" tanyaku sambil menatap kearahnya dengan penuh minat, dia tersenyum tipis lalu menundukkan kepalanya untuk memandangku.

"Warna kesukaanku adalah warna matamu, warna mata paling indah yang pernah kulihat, cokelat muda dengan semburat keemasan disisinya"

"Aku tidak punya semburat keemasan!" aku membantah, sambil menarik diriku untuk menjauhinya, tapi dia menahanku tetap pada posisi memeluknya.

"Itu karena kau tidak pernah melihat dirimu sendiri dengan baik, bahkan di saat inipun aku melihat semburat itu" aku terkejut dengan apa yang dia ucapkan padaku, aku tidak pernah mengira bahwa dia memperhatikan warna mataku, dia menarik daguku agar dia bbisa melihatku lagi dia berujar kembali.

Forever MineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang