Wound In A Smile [On Going]

By YesiAgustinaAgustina

5.7K 1.1K 242

[BIASAKAN FOLLOW SEBELUM MEMBACA] ❗PLAGIAT DIHARAPKAN MENJAUH❗ ⚠️MENGANDUNG BAWANG ⚠️ ___ ___ ___ ___ ___ ___... More

Prolog♡
1.♡
3.♡
4.♡
5.♡
6.♡
7.♡
8.♡
9.♡
10.♡
11.♡
12.♡
13.♡
14.♡
15.♡
16.♡
17.♡
18.♡
19.♡
20.♡
21.♡
22♡
23♡
24.♡
25♡
26♡
27♡
28♡
29♡
30♡
31♡
32♡
33♡
34♡
35♡
36♡
37♡

2.♡

242 63 13
By YesiAgustinaAgustina

Jangan tanyakan, salahkan saja mata yang tak bisa membendung airnya karena hati yang tetap rapuh.

[Luka]

Ketika Yossi keluar kelas, angin dingin berhembus menembus tulang. Matahari gagal menyalurkan sinarnya karena terhalang beberapa awan mendung. Rintik-rintik hujan yang berjatuhan membuat lapangan SMA Negeri 3 basah sehingga beberapa cekungannya terisi air.

Yossi menghembuskan napas dengan pelan. Buku novel itu ia dekap dengan erat. Berjalan menyusuri koridor sendiri sambil melamun menjadi rutinitasnya ketika ingatan masa lalu kembali berputar. Sunyi selalu berhasil menyusupkan kenangan itu ke dalam hatinya yang belum kering dari luka.

"Yossi!"

Lamunan Yossi langsung terbuyar. Tubuhnya refleks berbalik ke arah suara berasal.

Levin berdiri tepat di depan Yossi dengan netra yang sedikitpun tak menatap gadis ini.

"Ngapain kamu di sini?" Yossi membuka suara untuk pertama kali setelah bertengkar di kelas.

"Hujan gini lo mau ke mana?" Bukannya menjawab, Levin balik bertanya dengan nada acuh tak acuh. Tatapannya kini jatuh tepat di manik mata milik Yossi.

"Gak usah kepo," kata Yossi merasa ketenangannya terganggu. Baginya kehadiran Levin adalah hal yang tidak penting, hanya sebatas pengacau.

"Kenalin, gue Levin. Levin Agrapana yang punya banyak fans di sekolah." Levin mengulurkan tangan sebagai tanda mengajak berkenalan.

"Gak aku bilang kamu udah tau, 'kan, nama aku?" Yossi tak menyambut uluran tangan itu. Sangat membuang waktu kalau dia memberitahu untuk kedua kali.

Terpaksa, Levin menurunkan tangannya.

Yossi kembali melangkah membelakangi Levin. Harap-harap pemuda itu cepat-cepat kembali ke kelas.

"Anak baru kok sombong?" celetuk Levin kembali menghentikan langkah yang baru saja maju satu langkah.

"Yang sombong itu kamu. Punya fans sebatas sekolah aja diumbar-umbar," balas Yossi tanpa kembali berbalik.

"Lah? Emang kenyataannya. Semua cewek 'kan sama, sama-sama gak berguna! Pikirannya cogan cogan cogan mulu!" Levin berkata dengan nada ketus. Tentunya memancing emosi yang berusaha ditanam dalam-dalam.

Sambil berbalik Yossi berkata, "Kalau cewek gak berguna, kamu gak akan pernah lahir ke dunia. Kamu gak akan pernah nikmatin kehidupan yang ada di dunia. Dan asal kamu tau, anggapan kamu itu salah!"

Menghadapi laki-laki berpikiran sempit sangatlah menguras otak. Ditinggal pergi mungkin tidak akan mengikuti lagi.

Muak, Yossi sangat muak karena berkali-kali bertemu laki-laki seperti ini. Laki-laki yang tidak pernah bisa menghargai seorang perempuan.

'Dasar cowok berengsek,' batinnya memajukan bibir beberapa sentimeter.

[Luka]

Ketika bel sekolah berbunyi tiga kali sebagai tanda waktunya pulang tiba, para siswa berhamburan keluar kelas menuju gerbang. Ada yang pulang dengan kendaraan sendiri, dijemput orang tua, bahkan naik angkot. Hanya beberapa yang berjalan kaki, itupun karena rumah dekat dengan sekolah.

Tali sepatu yang selalu lepas mengharuskan Yossi berjongkok 'tuk mengikatnya kembali. Kesal memang, tapi mau bagaimana lagi? Jika dibiarkan semakin menyusahkan langkah. Sementara jarak sekolah dengan tempatnya tinggal tak sedekat siswa lain.

Selesai dengan masalah ini, mobil merah cerah berhenti tepat di sampingnya. Kaca jendela pelan terbuka memperlihatkan wajah Tanara di dalamnya.

"Ckckck ... Kasian jalan kaki. Ups! Lo kan miskin, uang naik angkot aja gak ada, apalagi mobil mewah." Tanara tertawa bersama teman yang duduk di sebelahnya setelah berkata dengan nada mengejek.

"Eh, Tan. Anak Taruna 'kan kaya-kaya. Jangan-jangan, selain bego dia pindah gara-gara gengsi miskin sendirian." Jenny ikut mengejek dalam obrolan ini. Dia terkenal sebagai seorang teman berkarakter setia jika dirinya tak dikhianati. Yang hina bagi temannya juga hina bagi dirinya.

"Tan! Kenapa berenti? Nabrak pohon toge, yak?"

Gadis yang duduk di jok belakang mengeluarkan suara cemprengnya. Siswa yang dikenal rada-rada gesrek sekaligus telmi-an ini sama sekali tak mendengar percakapan tadi. Sepasang headset yang tertampal di kedua telinga dengan musik bervolume tinggi menutup pendengarannya.

Jenny dengan kasar menarik benda yang ada di telinga temannya ini. Dia geram dengan tingkah bodoh Tasya yang tidak ada habisnya.

"Lama-lama gue sumpahin lo jadi budek, mau?"

Tasya hanya memasang wajah kesal, bibirnya dimanyunkan dan matanya menyipit. "Bodo amat!"

Tanah tempatnya berdiri kembali dijejaki oleh Yossi. Ternyata bukan hanya geng Levin, tapi squad mak lampir itu juga hanya bisa mengacau. Orang kaya tak beradab memang begitu, mengejek tanpa peduli perasaan orang yang diejek.

Seakan mengingat sesuatu, matanya membulat. Tubuhnya diputar balik menuju sekolah sambil berlari.

Sementara di kelas, rombongan Levin masih di dalam dengan kesibukan seperti biasa. Memeriksa satu persatu kolong meja, mencari benda bermanfaat yang mungkin tertinggal. Pastinya setelah suasana kelas sepi.

"Lo nemu apa, Dim? Gue dah dapet tiga pena sama lipstik loh." Dari arah timur Bio melapor, sibuk mengecek bangku selanjutnya, sedangkan tangan menggenggam beberapa pena.

"Anjir, lipstik. Mau lo pake apa lo makan?" tanya Dimas merasa aneh dengan temuan Bio.

"Mau gue olesin ke pipi biar tambah gans," jawab Bio tak serius.

Dimas menggeleng, "Kenapa gak jadi cewek aja pas lahir?"

"Lu pikir gender bisa dipesen sebelum lahir kek pesen tiket kereta, gitu?" sewot Bio fokus mencari tapi mulut sibuk mengoceh. Dimas yang belum mendapat apapun mengacak rambutnya.

Tidak ada niat ikut campur, Levin duduk di meja guru menunggu teman-temannya yang sibuk seperti orang kantoran. Sambil menerawang kejadian tadi pagi, alih-alih Levin teringat wajah Yossi saat pertama kali menginjak masuk ke dalam kelas.

Rambut yang terurai menari indah oleh tiupan angin, langkah yang lamban namun anggun serta wajah teduh Yossi untuk pertama kali ia kagumi.

"Asal kamu tau, tanggapan kamu itu salah!"

Ucapan terakhir yang keluar dari mulut Yossi tadi menyadarkannya dari lamunan. Perbincangan pertama berakhir dengan penolakan. Sungguh, semua ini tidak bisa diterima dengan mudah.

"Guys! Gue nemu harta karun," seru Dimas menatap sampul depan novel yang ditemukan di laci meja Yossi.

Berhubung ia tak suka membaca, buku itu diserahkan pada Levin yang hanya menautkan kedua alis menjadi satu garis.

"Gue gak suka baca, jadi ambil aja."

Levin menatap buku yang terasa tak asing. Bayangan di mana Yossi mendekap erat buku ini kembali hadir. Rasa penasaran pun terpancing. Apa yang ada di dalam novel ini sehingga anak baru itu terus membawa dan menjaganya dari orang lain?

Novel itu dibuka. Lembar pertamanya terdapat kertas yang ditempel dengan hiasan tulisan indah.

"Novel ini akan terus kujaga, kubawa, kudekap sampai akhirnya aku tiada. Setidaknya benda ini adalah kenangan di mana aku pernah bahagia. Terakhir kali."

Tulisan inilah yang didapati oleh Levin. Rasa penasaran dalam dirinya semakin membara. Namun terpaksa pupus ketika ada yang merampas dengan paksa.

"Lancang banget ya, buka buku orang tanpa izin. Gak sopan!" Yossi-- pemilik novel itu datang dengan rasa marah yang menggebu-gebu. Bisa didengar suara napas yang tak beraturan karena berlari tadi.

"Itu cuma novel yang dikarang sama penulisnya. Gak terlalu penting." Levin menjawab tak kalah sengit. Di matanya itu hanya novel biasa yang dijual oleh orang untuk menghasilkan uang.

"Novel karangan kamu bilang? Iya. Ini cuma karangan, tapi kehadiran novel ini bersejarah banget dalam hidup aku. Selain aku, gak ada yang boleh buka buku ini ... termasuk kamu!" Yossi menekankan kata terakhirnya. Dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Ada air yang tergenang dan tak diizinkan untuk keluar sia-sia di depan seorang lelaki.

"Berapa sih harga untuk baca setiap lembar tuh novel? Nanti gue bayar." Levin menantang dengan sombong.

Yossi menarik kerah baju lelaki ini. Membuka mata tajam-tajam meskipun hendak berkedip.

"Satu perak pun gak akan pernah bisa. Karena novel ini berharga." Yossi mendorong sampai Levin mundur selangkah.

"Gue bisa beli di toko. Gue gak tertarik sama buku murahan punya lo," bentak Levin menggepalkan tangannya.

"Beli aja, beli!" Suara Yossi mulai bergetar, "Aku juga gak ngizinin kamu buka buku aku."

Yossi berbalik, air matanya berhasil lolos. Tangannya terangkat mengusap pipinya yang basah. Lagi-lagi hatinya rapuh menghadapi seorang pria.

"Bro. Lo kok tega banget sih? Selama ini gue gak pernah liat cewek nangis karena lo. Sekarang? Gara-gara lo anak baru itu nangis." Dimas mendekat setelah kepergian Yossi.

"Keknya Lo harus minta maaf sama tuh cewek," timpal Bio.

"Bukan kayaknya doang, tapi wajib!"

Bersambung ....

Jangan lupa votement-nya, Readers! Votement kalian, semangat aku🙂.

Gimana kesan kalian baca cerita bagian ini? Komen, ya? Biar ke depannya bisa diperbaiki.

Sampai jumpa di part selanjutnya ....

___

Nona Bakso

Continue Reading

You'll Also Like

2.6M 140K 62
"Walaupun وَاَخْبَرُوا بِاسْنَيْنِ اَوْبِاَكْثَرَ عَنْ وَاحِدِ Ulama' nahwu mempperbolehkan mubtada' satu mempunyai dua khobar bahkan lebih, Tapi aku...
292K 17.4K 36
JANGAN LUPA FOLLOW... *** *Gue gak seikhlas itu, Gue cuma belajar menerima sesuatu yang gak bisa gue ubah* Ini gue, Antariksa Putra Clovis. Pemimpin...
MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

1.7M 57.9K 26
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

5.8M 323K 36
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...