Head Over Heels (Kisah Cinta...

By sagirangisme

154K 13.1K 1.1K

Samudra Joseph Reagan dan Luhara Lituhayu putus di malam anniversary ke-7 mereka. Selain karena orangtuanya... More

Di balik Kerumitan Kisah Head Over Heels
1. Sam
2. Luh
3. Sam
4. Luh
5. Sam
6. Luh
7. Sam
8. Luh
9. Sam
10. LUH
11. Sam
12. LUH
13. SAM
14. Luh
15. Sam
16. Luh
17. Sam
18. Luh
19. Sam
20. Luh
21. Sam
Basa-basi Part 2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Hai, Halo
Kabar terbaru dari Sam dan Luh

10

1.2K 208 48
By sagirangisme

Halo, udah malem Minggu lagi ya joms.... Nggak kerasa, kayak baru enam hari yang lalu hari Sabtu, sekarang udah malem Minggu lagi.

Oke, kita lihat apakah minggu depan saya masih bias cepat nulis, karena ini kerjaan udah mulai menumpuk. Tapi keajaiban bisa saja terjadi, kan? Semacam vote dan komen dari kalian misalnya. Itu keajaiban yang bisa bikin saya cepet nulis, seriusan.

Oke ah, langsung saja. Selamat membaca, penggemar Luh dan Sam :p



Salam,

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

SAM

RUANG tengah sepi saat gue keluar kamar. Ini hari Minggu yang agak mendung. Seharusnya, Luh sudah siap-siap berangkat kerja saat matahari udah mulai kelihatan. Meskipun jam kerjanya fleksibel, tapi gue nyaris tahu setiap hal yang dia lakukan di tempat ini. Kapan dia keluar kamar buat nonton series netflix di ruang tengah, kapan dia akan beres-beres di dapur, dan pergi beberapa saat untuk membeli keperluan bulanan atau ke tempat laundry. Dan gue tahu kapan dia akan menghindari sebanyak mungkin kami berinteraksi di tempat yang sama.

Ya, gue nyaris sudah tahu dan terbiasa dengan kegiatan-kegiatannya. Jadi, rasanya aneh aja ketika pagi ini gue keluar dan suasananya senyap begini.

Setelah nyuci muka dan bersih-bersih, gue langsung ke dapur buat nanak nasi, terus nyiapin bahan-bahan lainnya buat bikin nasi goreng. Di hari lain, gue cuma bisa bikinin roti yang simpel buat sarapan, tapi di hari libur kayak gini, biasanya gue bereksperimen masak menu-menu baru yang resepnya dikasih sama Tante Danur. Ya, tepat sodari-sodari, demi Luh seorang.

Satu jam kemudian, gue udah menyediakan nasi goreng pada piring di atas meja, berikut potongan sayur sebagai garnis dan dua gelas jus jambu tanpa gula. Namun, gue nggak mendapati tanda-tanda Luh akan keluar buat mandi dan setelah itu mulai siap-siap berangkat kerja.

Gue nggak tahu Sabtu kemarin Luh berangkat kerja jam berapa, karena setelah makan malam bareng Kintani, gue sama dia ngobrol-ngobrol sampai larut. Setelah Kintani pulang, mata gue malah melek dan milih nonton sampai gue ketiduran di sofa dan bangun kesiangan. Sorenya, gue cabut ke tempat teman kuliah yang lagi ngadain acara syukuran kelahiran anaknya. Karena ketemu teman-teman lama, gue keasyikan sampai pulang larut malam. Jadi, seharian kemarin gue benar-benar nggak mendapati keberadaan Luh.

Sebenarnya gue pengin bilang kangen. Tapi, toh, ngangenin yang bukan siapa-siapa itu punya efek nyelekit di hati. Apalagi kalau tahu ternyata kangen kita bertepuk sebelah tangan.

Gue melepas celemek, terus mendekati pintu kamar Luh. Ragu-ragu, gue mulai mengetuknya.

"Luh, udah mau siap-siap kerja? Gue udah bikinin nasi goreng di meja, ya."

Nggak ada sahutan.

Sekali lagi gue ketuk sambil memanggil-manggil namanya dan hanya kesunyian yang gue dapetin.

Perasaan khawatir seketika merambati benak. Pikiran gue jadi nggak enak. Yah, waktu kami masih pacaran dulu, Luh pernah menghilang tanpa kabar. Saat gue menyusulnya ke apartemen, dia sedang tergeletak sakit di sofa tanpa bisa ngapa-ngapain dan semenjak kejadian itu, gue selalu minta dia buat selalu ngabarin hal-hal mengenai dia, yang nggak penting sekalipun.

Pintu kamarnya dikunci saat gue mencoba membukanya. Gue semakin nggak tenang. Di mana kamu, Luh? Gue langsung ke kamar buat ngambil ponsel, memanggil nomornya dengan panik dan langsung disahut mbak-mbak bersuara datar yang nyebutin kalau nomor yang gue tuju nggak aktif. Mungkin hari ini dia ngambil off kerja, terus main ke rumah Annet. Jadi, gue langsung mencari nama Annet di daftar buku telepon, dan sebelum memencet tombol panggil, gue mendengar pintu utama diketuk.

Perasaan panik perlahan-lahan pergi, tergantikan oleh perasaan lega. Yah, bisa jadi Luh pergi pagi tadi, terus karena kelupaan apa gitu sehingga dia balik lagi dan gue udah mengunci pintu dari dalam. Gue bergegas ke depan dan membuka pintu.

"Luh, bisa nggak, kalau mau pergi itu bilang-bilang du—" Kalimat gue nggak berlanjut. Di hadapan gue sekarang, dengan setelan sepeda berikut helm dan kacamata yang sekilas ngingetin gue sama Joseph Gordon Levit di film Premium Rush, Irham sedang berdiri dengan kedua alis bertaut.

Seharusnya gue nggak kaget saat tahu kalau apartemen ini punya lift yang bisa digunakan tanpa kartu akses. Jadi kemungkinan bukan cuma Luh yang bisa masuk ke apartemen ini sangat besar.

"Nga-pain lo, Ham?" tanya gue, masih heran atas keberadaan sahabat gue itu.

"Gue lupa kalau sekarang gue temenan sama bos besar yang mampir doang aja kudu janjian dan ngasih kabar dulu," balas Irham dengan gaya sinisnya yang khas. Dia melepas kacamata dan helm sepedanya. Keringat membanjiri rambutnya yang basah. "Gue lagi sepedaan dan kebetulan lewat sini."

"Lha, bukannya lo nganterin nyokap ke Bandung, ya?"

"Kemarin doang. Malemnya langsung cabut ke Jakarta. Nyokap juga nggak terlalu seneng sama acara pertemuan keluarga di Bandung. Banyak tante-tante nyinyir sama kehidupan orang. Gue, apalagi. Ditanya-tanya kapan nikah, tanpa ngeliat kalau gue korban keluarga perceraian. Mana mau percaya gue sama pernikahan. Kan, konyol, para tante itu."

Sementara Irham sedang ngoceh, pikiran gue sebenarnya sedang entah berada di mana. Mencoba mencari alasan positif kenapa sepagi ini Luh nggak ada di apartemen.

"Jadi, ini nih cara terbaik memperlakukan temen lo yang lagi kehausan, ngebiarin mati dehidrasi di ambang pintu?"

Pada kalimat sarkas berikutnyalah gue berhasil meraih setengah kesadaran gue. Gue mengurai tawa rikuh.

"Kayak gue ini siapa aja, masuklah, Pak Bos. Anggap rumah sendiri, tapi barang-barangnya jangan dijual, belum lunas." Gue menyilakan Irham yang langsung ke dapur dan mencari air minum di kulkas. "Karena udah bisa mencium kedatangan lo dari jarak seratus meter," lanjut gue, "gue langsung bikinin sarapan spesial buat lo."

"Buat si Luh, gue tahu. Tapi karena entah alasan apa, mungkin dia lebih milih jalan pagi bareng cowok yang lebih kayak dan ganteng ke puncak, nasi goreng itu jadi dilimpahin ke gue. Terus, karena gue habis olahraga, energi positif gue sedang meluap-luap, gue temenin lo makan deh, Bule."

Kami sarapan bareng pagi itu. Ini adalah momen yang gue kangenin dari zaman-zaman kami masih ngekos bertiga dulu. Sayangnya, udah nggak ada lagi si Rikas sekarang, dan seolah kerasukan bocah bawel itu, kali ini Irham yang terus saja ngoceh. Kayak bukan dia di hari-hari biasanya, apalagi di kantor. Sebenarnya gue seneng, karena apartemen ini jadi nggak sepi lagi. Tapi di sisi lain gue berpikir, kenapa sepagi ini Irham udah berada di sini, padahal dia punya banyak pilihan buat ngajakin gebetan barunya sepedaan.

"Terus, kenapa lo sepedaan sendiri? Maksud gue, emang nggak ada ya, satu pun temen Tinder lo yang mau diajak sepedaan bareng?" Pertanyaan gue entah kenapa terkesan nggak senang mendapati Irham ada di sini sekarang. Tapi bukan itu maksud gue. Gue cuma sedang mencoba mencari jawaban atas keenggakberadaan Luh sepagi ini lewat sudut pandang sahabat gue ini.

"Bosen," jawab Irham sambil mengunyah kerupuk dengan cuek. "Lewatin hari dengan gitu-gitu doang bikin jenuh. Itulah kenapa gue selalu nanya sama elo, Bule, kok bisa ya, lo mencoba bertahan sama satu cewek yang sama, tanpa ada perasan bosen atau lo iseng nyoba instal Tinder gitu, nyari cewek baru, ketemuan terus ya ... lo tahulah yang biasa gue lakuin, setelah itu udah. Ya pokoknya hal-hal normal yang biasa dilakukan kebanyakan cowok di dunia."

"Dunia cowok-cowok brengsek, yang lo maksud?"

Irham ketawa. "Lupa gue, kalau di depan gue ini ada cowok bae-bae yang agak bodoh."

Apa mungkin itu juga alasan kenapa Luh udah nggak ada sepagi ini di apartemen. Meskipun ada gue yang bisa diajak ngobrol, atau menemani dia nonton serial netflix, atau beres-beres dapur bareng, dia malah memilih pergi karena bosan?

Telat banget, ya, gue menyadari hal sesederhana itu.

LUH

SEMALAM, aku menginap di rumah Annet. Its been a long time rasanya bisa menginap di kamarnya yang lega, ngobrol tentang apa pun baik di masa lalu atau di masa sekarang. Apa pun, selain Sam karena kemarin aku meminta untuk tidak melibatkan Sam dalam setiap obrolan. Bahkan, ketika Tante Danur mulai nanya-nanya soal Sam, Annet yang membantuku menjawab.

Namun, ternyata semua itu ada batasannya. Aku meminta Annet untuk tidak membahas Sam sampai pagi ini. Dan dia benar-benar menepatinya. Setelah sarapan, dia lalu mengajakku ke taman belakang untuk ngeteh ditemani beberapa kue buatan ibunya dan dia langsung melakukan ultimatumnya. Nggak menghiraukan sedikit pun pengalihan isu yang kulakukan dengan membahas pertemuanku dengan Riko tempo lalu.

"Jadi ini yang lo butuhin sekarang? Menjauh sementara dari Sam?"

Aku mengangguk. Sebenarnya ... aku sendiri kurang yakin, apakah ini langkah yang tepat atau bukan. Pergi tanpa mengabari Sam terlebih dahulu. Ya, aku tahu ini terlalu pede, tapi seharusnya aku berpamitan untuk pergi ke mana kek gitu, ke tempat yang jauh, berbohong untuk kebaikan bersama. Dan sepertinya situasi ini semakin runyam ketika aku memilih mematikan ponsel, seakan kepergianku ini mirip seorang pacar yang cemburu dan berharap dicari.

Sebenarnya bukan karena itu, for real. Aku hanya sedang mempertanyakan, dan mencoba mencari jalan keluar atas permasalahan pelik ini.

"Sebenarnya mau lo apaan sih, Luh?" Annet menyesap tehnya dengan tenang.

"Entahlah, Net. Yang pasti, melihat dia sama cewek lain malam kemarin bikin gue mikir, kalau dia memang berhak dapetin seseorang yang mencintai dia dan memperlakukan dia kayak yang dilakukan cewek itu. Sesuatu yang nggak bisa gue kasih ke dia selama ini."

"Itu namanya cemburu, babe."

"Apaan, deh. Ngaco...."

"Nah, selain insecure, sikap denial lo barusan juga semakin nunjukin kalau elo cemburu. Sekarang, sederhananya gini, deh, Luh. Lo balik ke apartemen. Bukan gue nggak mau diinepin terus-menerus, lho, ya, jangan salah sangka dulu. Rumah orangtua gue ini terbuka buat elo, terlebih dapur nyokap yang bebas banget lo masuki sesuka hati dan nyokap pun senantiasa ikhlas karena ada yang mau makanin kue eksperimennya, tapi kayaknya lo udah menemukan jawaban yang tepat mengenai perasaan elo sendiri."

Aku menatap Annet dengan ekspresi bingung. "Maksudnya?"

"Elo balik ke apartemen, terus bilang kalau kalian bisa memulai lagi semuanya dari awal."

"Seriusan?" kataku, sama sekali tidak yakin dengan ide Annet.

"Terus lo nunggu apa lagi? Sam udah nyatain perasaannya sama lo, dan malem itu lo pura-pura tidur. Geregetan gue sumpah sama lo. Kenapa gue punya temen bego banget sih? Ada mantan yang nyatain perasaan pengin balikan, tapi ini malah pura-pura molor padahal mau."

"Masa gue yang nyatain duluan?"

"Oh Tuhanku yang baik di surga sana, kenapa ada manusia sebodoh ini jadi teman hamba sih?" Eskpresi Annet seperti ibu-ibu yang gemas sama tokoh protagonis di sinetron.

"Elah, jahat banget, sih...."

"Abisnya, mau tunggu-tungguan, sampai kalian jadi kakek-nenek gitu?"

Saat aku mau menanggapi, ponsel Annet yang diletakkan di atas meja berdering, dan dengan ekspresi yang sudah kukenal dengan baik, dia memperlihatkan layarnya yang menampilkan nama Sam yang sedang mencoba menghubunginya.

Detik berikutnya, aku hanya bisa menggigit bibir dengan pikiran blank.

SAM

PAGI-PAGI pas gue telepon Annet, dia bilang kalau semalam Luh nginep di rumahnya. Keasyikan bikin kue sambil ngegosip bareng Tante Danur, terus akhirnya kemalaman buat balik. Seandainya Annet bilang malam itu juga, gue sebenarnya siap-siap aja jemput Luh. Dengan taksi maksud gue.

Gue lagi tiduran di sofa sambil nonton Discovery Channel yang sebenarnya nggak gue tonton. Mata gue emang natap layar gede di depan, tetapi pikiran gue melanglang buana ke mana-mana. Udah semalam ini, tapi Luh belum balik juga. Tadi Annet sempat bilang sih, kalau mereka mau nongkrong-nongkrong dulu sepulang Luh kerja. Jadi di sofa inilah gue sekarang. Meringkuk dengan gelisah menantikan kepulangan Luh.

Kayak kakek-kakek jompo yang nungguin cucunya pulang.

Jam setengah dua belas, saat kedua mata gue nyaris terlelap, gue mendengar suara pintu dibuka, lalu suara beberapa ketukan sepatu hingga akhirnya suasana kembali senyap. Luh pulang juga akhirnya.

Gue buru-buru beranjak, mengucek kedua mata, kemudian menyugar rambut gue supaya nggak kelihatan kusut banget. Ya, gimanapun, gue masih berusaha untuk membuat Luh terkesan dengan tampilan gue. Dan begitu gue jalan ke arah dapur, gue tertegun karena Luh melangkah ke arah berlawanan dengan gue dengan membawa segelas air putih. Kami nyaris bertabrakan. Selama beberapa detik kami terdiam setelah itu. Saling menatap satu sama lain. Gue sedang mencoba menerka apa yang ada di pikiran perempuan di hadapan gue. Aslinya gue nggak tahu apa yang dia pikirkan saat kami terjebak dalam adegan ini.

Nyaris mirip sebuah adegan slow motion dalam film-film. Kalau ini film drama, mungkin akan ada suara musik romantis yang berputar. Ini akan jadi adegan yang sangat epik. Secara refleks, kami akan saling mendekat, menghapus jarak. Si tokoh laki-laki mungkin akan merangkum wajah si tokoh perempuan dengan tangannya, dan yah, si tokoh laki-laki akan langsung deketin bibir si tokoh perempuan. Si tokoh perempuan lalu membalas, dan keduanya berciuman.

Itu adegan dalam film. Adegan dalam kehidupan nyata enggak seperti itu skenarionya.

Kami masih saling terdiam, seperti terkunci oleh tatapan satu sama lain.

Apa dia tahu, kalau gue sangat khawatir seharian lebih nggak mengetahui kabarnya? Dia lagi di mana? Apa dia baik-baik saja? Kenapa ponselnya nggak bisa dihubungi?

Nggak mau membiarkan Luh yang tampak kelelehan terus berdiri, gue akhirnya yang menyingkir. Saat memberi celah buat dia lewat itulah, gue memberanikan diri buat membuka suara.

"Udah makan? Aku buatin omelet tadi. Mungkin udah dingin. Tapi kalau kamu mau makan, aku angetin dulu, Luh."

"Udah di luar bareng Annet tadi, Sam. Aku paling langsung tidur aja. Cape banget."

"Aku tahu kamu pasti cape, tapi bisa kita ngomong sebentar nggak?" Ya, gue mengumpulkan segenap keberanian yang masih tersisa dalam diri gue. Harus gue omongin malam ini, atau mungkin enggak sama sekali.

"Ngomongin apa, Sam? Nggak bisa besok aja?"

"Aku nggak tahu besok apa aku masih punya keberanian buat ngomongin ini sama kamu, Luh. Yang pasti, aku nggak akan bisa tidur dengan nyenyak kalau harus nunggu sampai besok."

Perasaan gugup, deg-degan, atau apa pun yang selalu menghinggapi gue, kali ini buyar entah ke mana. Yang ada kini adalah Sam si pemberani.

Gue penasaran, kira-kira apa yang akan Luh jawab atas permintaan gue kali ini. []



Continue Reading

You'll Also Like

331K 60.8K 30
CERITA INI SUDAH DIHAPUS SEBAGIAN. TERSEDIA VERSI CETAK DAN DIGITAL DI KARYAKARSA. Dayu tidak berencana menikah. Dia tidak ingin mengulang kesialan d...
611K 85.3K 36
Mili sangat membenci kondisi ini. Di usianya yang baru 22 tahun, dia dikejar-kejar oleh Mamanya yang ingin menjodohkannya karena Mili harus menikah s...
208K 13.3K 58
Niat hati kabur dari perjodohan yang diatur orang tuanya dengan duda anak 1 yang sialnya masih tampan itu, Herna malah harus terjebak menikahi pria k...
813 162 6
ARLIAN - ANOTHER SIDE STORY OF "THE ANNOUNCERS" (PRA-THE ANNOUNCERS) Kisah persahabatan antara Brian dan Arlan dalam menghadapi permasalahan masing-m...