Head Over Heels (Kisah Cinta...

By sagirangisme

154K 13.1K 1.1K

Samudra Joseph Reagan dan Luhara Lituhayu putus di malam anniversary ke-7 mereka. Selain karena orangtuanya... More

Di balik Kerumitan Kisah Head Over Heels
1. Sam
2. Luh
3. Sam
4. Luh
5. Sam
6. Luh
7. Sam
8. Luh
9. Sam
10. LUH
11. Sam
12. LUH
13. SAM
14. Luh
15. Sam
16. Luh
17. Sam
18. Luh
19. Sam
20. Luh
21. Sam
Basa-basi Part 2
1
2
3
4
5
6
7
8
10
Hai, Halo
Kabar terbaru dari Sam dan Luh

9

1.3K 198 59
By sagirangisme

Halo, selamat malam minggu sendirian buat kamu yang jombs.... Haha

Oke, karena kerjaan lagi santuy dan yah, saya nulis dengan lancar, jadi saya cepet nih update-nya. Jaraknya kurang dari seminggu. Anggap aja penebusan setelah berbulan-bulan hiatus. Terus, mungkin sayanya juga udah kangen banget sama si Sam dan Luh ini.

Selamat menikmati, ya, Jombs *eh* Jangan lupa vote dan komen, biar Author terus semangat update.



Salam*


Follow IG saya: @sagirangisme untuk update foto  terbaru saya dan ada GA buku.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

9

SAM

SETELAH matiin komputer, gue beres-beres meja dan bergegas ke ruangan Irham atas inisiatif sendiri. Yah, biasanya kan dia yang manggil gue ke ruangannya untuk hal-hal yang sebenarnya nggak perlu banget. Minta benerin revisian skrip yang sebelumnya udah dia acc-lah. Minta benerin mouse yang nggak jalan, padahal sebenarnya tombolnya dalam keadaan off-lah. Dan hal-hal lain yang kayaknya lebih sering nggak masuk akal. Terlebih, kalau gue sama Kintani lagi ngobrol-ngobrol seru di meja, dia langsung melongok dari pintu ruangannya dan manggil gue.

"Masuk aja sesuka lo, ini bilik toilet umum!" sindir Irham begitu gue masuk tanpa ngetuk pintu dulu.

Gue berbalik, terus ngetuk pintu dari dalam. "Saya Samudra, Pak Irham, boleh saya masuk?" canda gue yang ditanggapi sahabat gue itu dengan dengusan. "Mau ke mana nih, Pak? Tumben tenggo? Biasanya juga nginep sini saking cintanya sama kantor."

Tanpa meduliin ejekan gue, Irham memasukkan iPad ke dalam tasnya, terus menatap gue. "Sejak kapan lo jadi kepo gini, Bule?"

"Sensi amat sih, Pak," goda gue lagi. "Cabut yuk ah, dah lama nih kita nggak nongkrong-nongkrong."

Kali ini Irham menghentikan aktivitasnya, terus menatap gue dengan kening mengernyit.

"Kenapa, lo udah kehilangan minat ya sama Luh, terus sadar dan berbalik ngikutin cara hidup gue?"

Maksudnya, ngencanin cewek gonta-ganti, gitu? Ogah gue mah. "Ini, kan, Jumat malem, Pak Bos, masa pulang terus bobo. Nggak asyik banget."

"Gue nggak bisa kalau sekarang. Mau balik ke rumah, nyokap minta dianterin ke Bandung besok subuh."

"Yakin, nyokap?" selidik gue, yang sebenarnya Irham nggak pernah berbohong. Kalau dia mau ketemu salah satu temen kencannya di Tinder, dia bakal bilang dan kalau misal permintaan gue lebih darurat, dia bakal cancel jadwal kencannya dan memilih gue.

"Bukan, Samudra, tapi nyokap dari anak-anak gue kelak.... Bah!"

Gue tahu itu olok-olokan dia buat gue, yang kalau ngobrolin Luh, gue memang jadi semenye-menye itu.

Jadi gue cuma nyengir nanggepin nyinyiran Irham barusan. Seberengsek-berengseknya sahabat gue ini sama cewek, tapi ada satu bagian yang patut gue banggakan dari dia. Sikap hormat kepada ibunya yang juara banget. Meskipun gue mohon-mohon, kalau soal ibunya, keputusan Irham harga mati.

Setelah itu kami keluar bareng dari ruangannya. Sewaktu melewati kubikel gue, Kintani muncul dengan mug di tangan yang mengepulkan aroma harum kopi.

"Wah, ada yang tenggo nih? Tumben. Pantesan nggak jadi hujan." Dia melirik Irham, terus pandangannya beralih ke gue dengan ekspresi penuh muslihat.

Iseng banget nih emang Kintani ini.

"Pak Irham yang tenggo, gue mah cungpret yang bakal menua dengan lemburan." Gue menepuk bahu Irham sambil nyengir, yang lagi-lagi hanya ditanggepin dengan dengusan kesal.

"Kirain elo mau cabut ke mana gitu, Sam?"

"Terus kalau si bule mau cabut, lo ada urusan apa?" balas Irham dengan sewot.

"Nah, lho, gue kan nanya Samudra, kenapa malah Pak Irham yang sewot?" Kintani ikut-ikutan manggil Irham dengan sebutan Pak, yang awalnya gue cetus gara-gara sahabat gue ini gila hormat banget kalau di kantor.

"Masalahnya adalah, lo ngalangin jalan gue," balas Irham ketus. Dan setelah itu, gue nggak tahu kalau urusan ini bakal jadi panjang. "Oh ya, Kintani Raissa, semua orang, dan mungkin orang buta pun tahu kalau elo ini cantik. Tapi kenapa elo harus mepet-mepet cowok kayak gini sih?"

Kintani menegakkan posisi tubuhnya, seperti tersinggung atas tuduhan Irham. "Mohon maaf, nih, Bapak. Saya sedang ngajak ngobrol temannya, ya, bukan sama Bapak yang sensian."

"Terus, lo kira teman gue ini seorang transgender, gitu? Dia cowok, sama kayak gue."

Di depan Kintani, kok Irham jadi bego begini, sih?

Sebenarnya, gue nggak tahu kenapa situasi ini kerap terjadi di kantor setiap Irham bertemu dengan Kintani. Biasanya, cewek cantik bakal langsung klop gitu sama pesona cowok ganteng di kantor, atau sebaliknya (kalian baca aja referensinya di novel-novel romance, atau di film-film, atau di cerita stensilan di Wattpad). Mereka jadian, menikah, dan hidup bahagia selama-lamanya. Kayak Raisa dan Hamish Daud, gitu. Tapi itu sama sekali enggak berlaku bagi Kintani dan Irham. Satunya cantik, satunya ganteng. Tapi mereka ini udah kayak kucing dan tikus kalau bertemu. Berantem terus.

"Oke, tasnya udah dicangklong. Kunci mobil udah di tangan. Itu pintu keluarnya, Pak Irham. Silakan Bapak menuju area parkir, kalau nggak mau kejebak macet dan membayangkan seribu syair penuh cinta yang bakal keluar dari mulut manis Bapak yang lagi sensian ini."

Irham langsung menepis tangan gue dari bahunya. "Apaan sih lo, Bule?!"

Njir, beneran lagi dapet nih kayaknya si Irham.

"Sam, malem ini kita jadi ke tempat biasa, kan? Mau sekarang aja langsung cabut, mumpung Pak Bos tenggo nih. Atau gue jemput ke apartemen lo aja agak maleman, biar guenya mandi dan cakepan dulu?" Kintani kembali ngajak ngobrol ke gue.

"Sam, semiskin apa sih elo sampai nggak mampu beli mobil sendiri? Malu-maluin gue aja dianter-jemput terus sama cewek ini."

"Mulutnya, ya, Pak, benar-benar perlu dibaluri bon cabe level 30 supaya sadar kalau kadar pedesnya nggak sebanding sama omongannya."

"Eh gue lagi ngomong sama sahabat gue, ya, Kintani."

"Astaga, nggak bakal ada habisnya ini mah. Sam, gue beresin kerjaan dulu ya. Silakan induk semangnya diantar sampai depan, pokoknya nanti malem gue ke tempat lo deh. Terserah mau ke mana entarnya." Kintani langsung melengos dan kembali ke kubikelnya, sementara gue sama Irham melanjutkan langkah ke depan.

Sesampainya di luar, gue langsung nembak Irham. "Sejak kapan, Ham?"

Irham pura-pura tolol. Dia menatap gue dengan kening mengernyit.

"Sejak kapan elo jadi setolol ini cuma karena menghadapi seorang cewek?"

Seperti katanya tadi, orang buta pun bisa tahu kalau Irham menaruh perasaan sama Kintani. Ke cewek-cewek lain, dia bisa mengeluarkan rayuan receh yang bias membuat pipi cewek-cewek itu merona dengan mudah. Pesonanya emang nggak bisa diragukan di hadapan cewek-cewek lain. Tapi di hadapan Kintani, dia mengeluarkan sisi yang cuma gue lihat ketika dia sedang bersama gue ataupun Rikas, bersama orang-orang yang membuatnya nyaman.

Irham mengulas seringaian mengejek. "Bocah yang bisanya cuma tinggal bareng mantan tanpa berani ambil tindakan apa pun, sedang menceramahi gue soal cinta, ha? Elo ngelawak, ya, Bule?"

Anjrit banget, nih, si Irham.

Gue kena savage.

Setelah ini, bisa apa gue selain membukakan pintu mobilnya?

LUH

SEPERTI Dejavu. Ketika membuka pintu—dengan cara yang sama yang kulakukan akhir-akhir ini, yaitu berjalan mengendap-endap supaya nggak ketahuan Sam—aku mendengar sebuah percakapan. Terakhir kali aku mendengar percakapan seperti ini, aku harus terjebak dalam sebuah drama dengan memerankan karakter seorang pacar yang manja atau calon mantu idaman yang memberikan selamat kepada ibu pacarnya yang sedang ulang tahun. Aku tidak ingin kejadian itu terulang, meskipun keakraban seperti malam itu yang sepertinya ingin terus kurasakan bersama Sam. Namun masalahnya adalah, momen ketika kami duduk tanpa jarak di sofa malam itu, terus-terusan membuatku susah tidur.

Setiap menjelang tidur itu, aku terus melakukan beberapa pengandaian.... Bagaimana kalau malam ketika di puncak, setelah Sam mengutarakan perasaannya dan dia melanjutkan memetik gitar, aku langsung bangun (dalam kasusku malam itu, pura-pura terbangun karena sebenarnya aku nggak sungguh-sungguh tidur) dan anggaplah pura-pura tidak mendengar pernyataan mengenai perasaannya. Terus karena udara dingin, aku mengambil duduk di sampingnya, menghadap api yang bisa menghangatkan tubuh kami. Dari sana, dari suasana yang hening itu, sepertinya akan mengalir obrolan dari hati ke hati. Dan kalau saja itu terjadi, mungkin akan ada ketegasan dalam hubungan ini. Atau, ketika malam setelah mengobrol dengan ibunya, aku tidak langsung pergi ke kamar. Seharusnya aku mempertegas kepada Sam, bertanya, mau sampai kapan menjalani kepura-puraan begini di hadapan orangtuanya, apa sebaiknya kita memperjelas hubungan ini?

Ya, aku terus menuntut kejelasan kepada Sam, sementara sepertinya aku nggak punya peran besar buat melakukan itu. Bukan karena gengsi atau mementingkan harga diri, tapi rasa bersalah ini yang terus mengejarku. Apa aku pantas kembali bersama Sam, setelah apa yang kulakukan selama ini kepadanya?

"Sori, ya, Kin, gara-gara gue yang mageran, kita nggak jadi makan di luar. Malah terjebak masak-masak di sini."

Suara percakapan yang berasal dari dapur itu telah mengembalikan kesadaranku pada dunia nyata. Suara Sam dengan seorang perempuan bersuara renyah. Awalnya terdengar biasa, tetapi lama kelamaan jadi terkesan akrab. Selanjutnya, pergerakanku seperti mengikuti intuisi. Tiba-tiba saja aku melangkah ke dapur dan langsung membuka pintu kulkas. Aku mengambil botol Aqua dan kemudian meneguknya. Saat itulah aku melihat sosok perempuan yang jadi lawan bicara Sam.

Dia ... perempuan yang mengenakan skinny jeans dan kaus putih kebesaran tetapi terlihat cocok itu sedang berdiri di dekat Sam yang sedang menghadap kompor. Aku tidak tahu cara mendeskripsikan perempuan itu dengan tepat selain can-tik ba-nget. Aku seperti melihat Emma Stone keluar dari televisi yang sedang memutar La La land dan sekarang muncul di dapurku dengan keadaan sesempurna itu. Dapur kami, maksudku.

"Beneran nggak nyangka ya gue, selain jago ngonsep ide, lo juga jago masak. Suami-able banget sih, lo, Sam?" puji perempuan itu kepada Sam, yang syukurnya Sam nggak mirip sama Ryan Gosling.

Ya, nggak mirip aja dia sudah ditempelin perempuan secantik itu, gimana kalau mirip coba?

"Eh, eh, jangan dibuat geer dong guenya. Entar hidung gue terbang, cuma punya satu nih."

Apaan, krik-krik banget, Sam!

"Lucu banget sih, elo, Sam. Bisa gue bungkus terus dibawa ke rumah nggak nih?" Perempuan itu menjawil hidung Sam, dan ... kenapa Sam tidak berusaha mengelak, sih? Membiarkan perempuan itu menyentuh-nyentuh hidungnya, yang ... itu kan kebiasaan yang kulakukan saat kami masih pacaran.

"Dikaretin ya, biar nggak lepas," balas Sam, masih dengan guyonan garingnya.

"Eh, eh, diem dulu Sam," ucap si Emma Stone sambil mengangkat tangan ke arah wajah Sam, lalu mengusap bagian hidung yang dia jawil tadi. "Ada minyak di hidung lo. Kayaknya dari tangan gue barusan, deh. Sori, ya...."

Ya, iya, lah, ada minyak. Namanya juga kalian lagi ada di dapur dan sedang memasak. Kalau ada popcorn sama soda dingin, itu kalian lagi di bioskop! Lagian, ngapain juga itu perempuan ngambil-ngambil kesempatan sih?!

Eh, kenapa juga aku jadi ngegas begini, ya?

"Makasih, Kin. Lo udah ngembaliin kegantengan gue yang paripurna," balas Sam, yang entah kenapa dia kok genit banget sama perempuan itu?

"Susah bagi gue buat bilang enggak, Sam," balas si Emma Stone.

"Itu artinya iya, gue ganteng?"

"Butuh pengakuan banget dari gue, Sam?"

Keduanya lalu tertawa.

Astaga. Itu mereka lagi ngobrol nggak penting dengan sangat akrab seakan dunia milik berdua. Benar-benar tidak menyadari keberadaanku yang mematung menyaksikan adegan itu dengan botol Aqua yang menyisakan setengahnya di samping kulkas. Di dekat mereka sebenarnya, karena dapur apartemen ini nggak luas-luas banget. Sampai kemudian mereka menengok ketika tanpa sadar aku menutup pintu kulkas terlalu keras.

"Sori," kataku kemudian. Tangan sialan. Kenapa juga harus menyentak pintu kulkas keras-keras sih?

"Eh, Luh, udah balik?" tanya Sam kemudian.

Belum, Sam. Terusin aja ngobrolnya, ini cuma Luh virtual yang mampir ke dapur gara-gara kehausan!

"Udah makan malam, Luh?" lanjut Sam. "Ini gue bikin spageti sama nugget sayuran resep Tante Danur."

Nugget sayur itu salah satu makanan kesukaanku. Aku selalu memesan itu kalau main ke rumah Annet.

Perempuan yang mirip dengan Emma Stone itu lalu menghampiriku. Dia mengelap tangannya pada kain di dapur, terus mengulurkannya ke arahku.

"Gue Kintani. Elo, Luhara Lituhayu, kan? Astaga, lo lebih cantik aslinya ternyata dari yang pernah gue lihat di tivi."

Oke, lihat siapa yang bicara. Seorang perempuan yang sangat sangat cantik, dan dia memujiku dengan nada suara yang terdengar tulus dan akrab.

Aku membalas uluran tangannya. Mendadak lidahku kelu. Tidak tahu harus mengeluarkan basa-basi apa.

"Gue temen kantornya Sam. Oh, ya, Sam sering banget tuh ngomongin elo di kubikel. Terus, kerjaannya kalau lagi gabut nih, ya, dia suka download-in film-film romance. Katanya sih buat elo, Luh. Beneran nggak itu? Atau jangan-jangan, dia yang nonton sendirian sambil berurai air mata?" Kintani tertawa ngakak, dan entah kenapa terdengar renyah dan tetap cantik.

Aku langsung menengok ke arah Sam yang terlihat kikuk. Dia mengusap-usap ujung alisnya dengan punggung tangan. Gestur itu sering kulihat ketika di kantor televisi kami dulu. Dia akan melakukan itu kalau digodain sama beberapa anak perempuan dari divisi lain.

Jadi ... melihat interaksi dan kedekatan mereka, yakin nih cuma teman?

"Makanannya bakal tersedia lima menitan lagi kayaknya. Ayo kita siap-siap." Suara Sam memecah kekakuanku.

Aku jadi teringat barusan Sam menawariku makan. "Ah, gue udah makan di bawah bareng Adnan. Kalian makan aja, gue ke kamar duluan, ya. Cape banget...."

Aku berbalik dengan tas dan botol Aqua di tangan. Entah kenapa, meninggalkan dapur malam ini terasa sangat berat.

***

SEJUJURNYA, aku tidak cape karena kerjaan di kantor juga santai-santai saja. Beberapa skrip sudah kurampungkan dan tinggal nunggu skedul rekam dan tayang saja. Alasan kecapean itu kubuat karena tidak ingin melihat keakraban Sam dengan Kintani lebih lama lagi. Ya, itu sebenarnya lebih cape dari kerja rodi seharian. Namun, rasa penasaran membuatku semakin gelisah di kamar. Apa beneran mereka hanya teman? Kalau melihat interaksi mereka tadi, orang yang baru melihatnya saja akan langsung berpikir mereka sudah berpacaran sekian tahun.

"Eh, ini lo curhat sebagai apa ya, babe? Sebagai tetangga yang terganggu sama keributan di kamar sebelah, atau sebagai mantan yang cemburu?"

Aku langsung nelepon Annet di kamar, menceritakan kejadian barusan, dan dia langsung melontarkan pertanyaan itu. Nyesel juga sih aku cerita sama perempuan logis macam dia.

"Sebagai tetangga yang terganggu, mungkin?"

"Najong banget!" umpat Annet sambil ketawa. "Luh ... Luh ... mau sampai kapan sih melihara begonya?"

"Jadi gini doang nih responsnya?"

"Ya elo maunya apa, babe? Udah jelas si Sam ini emang manis banget. Gue pernah bilang, kan, kalau bukan mantan elo, dia udah gue prospek. Nyokap aja sampai ngebanding-bandingin setiap pacar yang gue kenalin ke dia sama si Sam, kan? Saking dia mantu material banget?"

"Maksud lo, si Sam emang segenit itu sama tiap perempuan?"

"Tolong bedain genit sama manis, babe. Itu lo bilang gitu karena cembokur doang kan? Pas jadian dulu, mana pernah lo bilang dia genit. Yang ada lo nempel terus tuh di ketiaknya." Annet lagi-lagi tertawa.

"Males banget ya cerita sama lo, kalau ujung-ujungnya lo bakal belain dia," kataku, sama sekali tidak dewasa, I know. Tapi kesal saja mendengar kenyataan itu meluncur dari mulut sahabatku.

"Ya, elo maunya denger apa. Kalau elo mau kenyataan, ya itu yang gue omongin barusan. Lagian, kenapa juga sih masih ngurusin si Sam, bukannya elo udah mau mulai membuka hati buat Adnan?"

Iya, sih, hubunganku dengan Adnan lebih dari sekadar karyawan dan atasan. Maksudnya, dia adalah teman yang menyenangkan. Kadang dia ngajak sarapan bareng di kafe kantor, atau seperti tadi mengantarku pulang sambil makan malam di bawah. Tapi aku tidak tahu, kalau di luar pekerjaan, atau sederhananya, di dalam apartemen ini. Pikiranku langsung berfokus pada Sam.

"Udah keburu males ah gue. Gue tutup teleponnya ya." Lagi-lagi tanggapanku sangat kekanakan.

"Dengerin ini ya, babe, karena gue nggak bakalan bosen-bosen ngomong ini. Dengerin kata hati lo, terus ikutin flow-nya. Nggak usah kebanyakan mikirin ini itu tapi diem di tempat. Atau, seperti yang sering gue bilang. Hindari kontak dengan dia kalau lo beneran pengin pisah dari dia. Literally, jangan sampai ketemu. Lo pindah apartemen kek, atau apa gitu."

Menghindari kontak dengan Sam, itu inti pesan Annet. Alih-alih mengikuti sarannya, setelah mengakhiri telepon, aku malah mendekatkan telingaku ke pintu kamar yang tidak sepenuhnya kututup. Aku mulai mencuri dengar percakapan di meja dapur.

"Gue aja, Sam, lo udah cape-cape masak, biar giliran gue yang nyuci." Suara Kintani terdengar tidak mau dibantah.

"Tapi elo, kan, tamu, Kin. Nggak enak gue."

"Terus selama lo nyuci, gue duduk-duduk doang, gitu? Ogah, gue yang nyuci pokoknya. Elo mending ngoceh aja, gue seneng dengerinnya." Kudengar suara kursi digeser, kemudian beberapa benda porselen beradu dan juga suara kucuran keran.

Ternyata benar kata Annet. Seharusnya aku tegas dengan sikapku, bukannya menunggu seperti ini. Perempuan bernama Kintani ini sangat tegas mengambil keputusan, seperti melengkapi bagian yang tidak Sam miliki, dan juga tidak kumiliki selain ketegasan saat mutusin dia dulu.

Aku berbalik dan terdiam di balik pintu. Tanganku memegang ponsel yang kudekap di dada.

Akhirnya, aku sampai pada tahap pemikiran ini. Aku harap, ini adalah keputusan terbaik bagi kami. Aku juga tidak mau terus-terusan gelisah setiap malam, susah tidur karena harus memikirkan ini. Aku harus benar-benar bisa lepas dari Sam, titik. Dan kalaupun Sam harus bersama dengan orang lain, entah kenapa, aku merasa kalau perempuan supel bernama Kintani ini terasa sangat tepat untuknya. Saling melengkapi.

Ya, kurasa itu keputusan yang paling tepat mengenai kami yang entah apa ini, meskipun dengan membayangkannya saja hatiku terasa sangat perih. []



Continue Reading

You'll Also Like

3K 413 6
Buku kedua dari FLUTTERS Hidup mereka berbeda. Joka sudah berkeluarga, sedangkan Ezra masih setia sendiri. Mereka bertemu lagi karena pekerjaan dan J...
208K 10.6K 36
Naksir bapak kos sendiri boleh gak sih? boleh dong ya, kan lumayan kalau aku dijadikan istri plus dapet satu set usaha kosan dia
258K 43.4K 40
Marie Osmond once said, "Tragedy plus time equals humor. True, what could be funnier than living tragedy every day and still surviving? One is trying...
9.8K 1.7K 5
[Tenaga Pendidik Version] Seven still choosy and Juni still clumsy