FLOWERS FOR YOU

By Dh_infinity

48.4K 4.8K 405

Aku kembali dengan bunga-bunga di tanganku❁|❁"Setiap bunga menyimpan makna tersirat dalam kelopaknya. Menyimp... More

[1] DANDELION
[2] GLOXINIA
[3] WHITE PERINWINKLE
[4] ACACIA FLOWER
[5] FREESIA
[6] RED ROSE
[7] BLACK ORCHID
[8] CLOVER
[9] RED TULIP
[10] WHITE ROSE
[11] FORGET ME NOT
[12] DAFFODIL
[13] PINK ROSE
[14] SUNFLOWER
[15] IRIS
[16] YELLOW TULIP ★
[17] FEVERFEW
[18] AZALEA
[19] PETUNIA
[20] WHITE CAMELIA
[21] ORANGE ROSE
[22] DAISY
[23] VERONICA FLOWER
[24] PEACH ROSE
[25] SNOWDROP
[26] STOCK
[27] CHAMOMILE
[28] WALLFLOWER
[29] LOTUS
[30] LAVENDER
[31] ALSTROMERIA
[32] ANGELICA
[33] CEDAR
[34] AMARANTH
[35] GARDENIA
[36] GERBERA
[37] HYDRANGEA
[38] AMBROSIA
[39] MISTLETOE
[40] ANEMONE
[41] PURPLE LILAC
[42] AGAPHANTUS
[43] SPEARMINT
[44] IVY
[45] WHITE CARNATION
[46] LUPINUS
[47] SCABIOUS
[48] ALMOND BLOSSOM
[49] COSMOS
[50] ROSEMARY
[51] PRIMROSE
[52] LINARIA
[53] SWEETPEA
[54] AMARYLIS
[55] JONQUIL
[56] CACTUS
[57] COREOPSIS
[58] BITTERSWEET
[59] WHITE LILY
[60] WHITE CHRYSANTHEMUM ★
[61] BLUEBELL
[62] SCARLET ZINNIA
[63] BLUE PERIWINKLE
[64] PANSY
[65] EUCALYPTUS
[66] WHITE LILAC
[68] BLUE SALVIA
[69] YELLOW ZINNIA
[70] VERBENA
[71] ASTER
[72] EDELWEIS
[73] APPLE BLOSSOM
[74] CALLA LILY
[75] PURPLE ROSE
[76] CALENDULA
[77] PINK CARNATION

[67] WHITE ZINNIA

228 27 2
By Dh_infinity


"Pernah suatu ketika aku berpikir: Apakah mengenalnya adalah sebuah kesalahan? Kalau iya, apa kesalahannya yang begitu fatal?"






"Kudengar, ada sebuah legenda di sekolah ini. Legenda mengatakan kalau kita berjalan-jalan di tengah malam, kemudian tanpa sadar melihat bunga zinnia putih yang mekar saat pukul dua belas, maka kita akan bisa melihat masa depan." Yoona berbicara seolah ada yang mendengarkannya—atau setidaknya ia menganggap kucingnya—Snow mengerti apa yang ia katakan. "Kupikir, itu sangat aneh. Bagaimana cara kita melihat masa depan itu?" Snow mengeong seolah menjawab pertanyaannya.

"Baiklah, aku tak tahu kita sudah sampai mana." Dijulurkan tangannya ke arah lain, untuk menerangi setiap bagian gelap di tempat itu sampai membuatnya tahu ia sudah berada dimana.

Tiba-tiba saja, suara jam berdentang begitu kencang. Yoona berseri-seri kegirangan. Ini sudah pukul dua belas malam, berarti sebentar lagi ia akan melihat masa depan!

Namun yang didapatinya setelah menunggu sekian lama bukanlah masa depan, Yoona bahkan tak melihat satupun bunga zinnia putih. Sampai suara dentang jam tak berbunyi lagi, telinganya masih menangkap suara. Kali ini bukan suara dentangan, suara ini membentuk nada-nada beraturan yang begitu indah. Piano.

Yoona bertanya dalam hati, 'Apa masa depanku berhubungan dengan piano? Tapi, aku bahkan tak terlalu mahir memainkannya.'

Dirasakannya Snow menggigit gaun tidurnya, mencoba menariknya berjalan menuju ke suatu arah.

"Hei, apa yang ingin kau tunjukkan padaku, Snow?" Yoona tersenyum seolah mengerti tentang maksud kucingnya.

Sang kucing tak banyak bicara—memang tidak selain mengeong, tak juga menjawab—terlalu sibuk membawa majikannya ke suatu tempat.

"Di mana ini?" Yoona dihadapkan pada sebuah pintu. Suara piano yang mengalun indah semakin jelas terdengar dari balik pintu. Didorong rasa penasaran, ia membuka pintu itu perlahan. Tak ada yang terlihat, namun ia mendengar suara piano disana. Suara itu memang berasal dari sana, ada seseorang yang memainkannya.

Perlahan-lahan Yoona menghampiri asal suara itu. Ia berhenti saat dirasa sudah waktunya. Dijulurkan senter di tangannya ke depan. Dan ia membelalak melihatnya. Seorang lelaki yang matanya terpejam tengah memainkan pianonya di tengah malam. Apa orang ini masih waras?

"Bagaimana kau bisa melakukannya? Bermain piano tanpa melihat tutsnya. Bahkan nada yang dihasilkan begitu indah."

Si pianis membuka matanya dengan kaget. Tak begitu jelas, tapi Yoona yakin bahwa ia melihat sepasang mata yang begitu indah. Sorot mata yang belum pernah ia lihat.

"Siapa kau?"

"Eh, a-aku—"

"Apa yang kaulakukan disini?"

Yoona tak tahu apa yang dipikirkan lelaki itu, mengapa ia bisa bertanya dua kali dalam satu detik—bahkan Yoona belum sempat menjawab pertanyaan pertama sebelum lelaki itu melontarkan pertanyaan kedua. Dan entah mengapa Yoona hanya diam. Menatap tanpa ragu iris yang sekelam malam, yang membuatnya hanyut untuk pertama kali.

.

Seorang temannya bilang, kalau kita memandang mata lawan jenis selama lebih dari sepuluh detik, berarti kita jatuh cinta padanya.

Hei, apakah waktu itu aku jatuh cinta padamu? Karena aku memandang matamu, lebih dari satu menit.

.

"Kau—"

"Maafkan aku. Maaf, aku mengganggumu. Maafkan aku!" Yoona membungkuk berkali-kali, sungguh merasa bersalah. Bodohnya ia baru sadar akan perbuatannya. Pasti ia mengganggu pianis itu.

Sang pianis menahan tawanya. Kemudian ia tertawa lepas. "Haha, baru pertama kali aku melihat ada perempuan yang jalan-jalan di tengah malam." Mata kelamnya mengawasi Yoona. "Kau pemberani juga, eh?"

Yoona mengerjap. Untunglah ruangan ini gelap—terangnya hanya dibantu oleh cahaya senter kecilnya. Ia tak perlu khawatir jika pianis itu melihat wajahnya yang merona. Dan Yoona pikir, bukan sekedar karena malu, ada yang lain. Merona karena bahagia.

"Hm. Permainan pianomu sangat bagus, itu yang membawaku kemari."

Si pianis tersenyum kecil—dan Yoona menangkap adanya sesuatu yang berbeda pada senyuman itu. Senyuman yang menyembunyikan sesuatu. "Terima kasih."

Tanpa ragu Yoona mendudukkan dirinya di kursi yang masih kosong, tepat di samping lelaki itu. "Kau mau memainkannya lagi untukku?"

Tak ada jawaban, dan mungkin itu tak perlu jawaban. Jawaban yang dibutuhkan seseorang atas pertanyaan memang bukan hanya sekedar kata, tapi tindakan.

Jari-jari yang lentik itu kemudian menari-nari di atas tuts-tuts piano. Nada mulai terbentuk dengan rapi, indah menghanyutkan.

Saat itu Yoona tak tahu mengapa ia tak bisa terlalu menikmati permainan musik yang disuguhkan untuknya, karena ia terlalu sibuk pada arah pandangnya. Ia tak bisa berhenti untuk memandangi sang pianis yang tengah memejamkan mata.






-WHITE ZINNIA-






Setiap malam, mengunjungi ruang musik adalah kegiatan baru Yoona March Lim. Ruang musik dimana ada seseorang yang sudah menantinya, menunjukkannya instrumen-instrumen terbaru yang diciptakan sendiri. Memainkan piano untuknya.

"Bisakah kau memberitahuku namamu?"

Sang pianis menghentikan permainan musiknya, kemudian menyeringai. "Perlukah kau tahu?"

"Setidaknya aku ingin tahu. Atau selamanya kau juga takkan tahu namaku. Oh, bahkan aku tak pernah tahu kau juga belajar disini sebelumnya."

"Jadi itu alasanmu tak mau memberitahukan namamu, nona?"

"Tentu saja. Bukankah itu adil? Tak ada jaminan kalau aku memberitahu namaku, kau akan melakukan hal yang sama."

Pianis itu hanya tertawa. Sama sekali bukan tawa olokan, pria itu hanya tertawa—tertawa lepas seperti biasa. "Hei, coba dengarkan ini, lagu ciptaanku yang baru meski belum selesai," kata pianis itu mengalihkan topik pembicaraan mereka. "Terinspirasi dari sesuatu. Judulnya 'Quasimodo'."

Yoona terperangah, memandang sang pianis agak ragu. "Kenapa judulnya seperti itu? Apa arti sebenarnya?"

Pianis itu menyunggingkan senyum terbaiknya. "Terinspirasi dari legenda sekolah."

"Eh?" Tiba-tiba saja Yoona merasa dirinya sudah menjadi orang lain. Sesuatu yang tidak dikenalnya hinggap begitu saja dalam dirinya, dalam jiwanya. Ini sesuatu yang benar-benar berbeda dan betapa ia tidak mengenal dirinya sendiri. Terlebih pada detak jantungnya yang terasa aneh.

"Jika seseorang berjalan di tengah malam dan kemudian ia melihat zinnia putih yang merekah tepat saat jam berdentang pada pukul dua belas. Ia akan bisa melihat masa depan."

"Kau percaya itu?" tanya Yoona sedikit ragu, padahal dirinya sendiri juga mempercayainya.

"Ya, kupikir juga begitu." Balas si pianis tersenyum.

"Memang kau pernah mendengarnya? Dari siapa? Kau pernah melihat zinnia putih?" tanya Yoona beruntun.

"Ya. Beberapa orang mengatakannya. Dan aku pernah melihatnya merekah."

"Hm, dimana kau melihatnya? Lalu apa masa depanmu?" Yoona cukup penasaran dengannya, hingga tanpa sadar terlalu antusias.

"Piano." Sang pianis memainkan lagi jari-jarinya di atas tuts-tuts piano. Alunan musik mulai terdengar. "Ini lagu terbaruku," katanya santai.

Yoona tersenyum. Ia memejamkan mata dan berusaha menikmati pertunjukkan kecil yang diberikan untuknya. Sedikit banyak ia merasa bangga menjadi pendengar pertama lagu itu.

"Suatu hari, aku akan memberitahukan artinya untukmu, nona."






-WHITE ZINNIA-






Terhitung sudah, malam ini adalah malam ke-tiga puluh sembilan Yoona berkunjung ke ruang musik di tengah malam. Baginya, waktu malam yang begitu singkat adalah mimpinya yang terbaik sebelum tidur. Berbeda dengan mimpi-mimpinya dulu di tengah malam. Ini adalah mimpi yang nyata.

Sang pianis menyelesaikan lagunya. Yoona memberikan tepuk tangan kecil-kecilan. Kucingnya—Snow mengeong senang. Si pianis itu segera mengangkat kucing milik Yoona. "Sampai sekarang aku tak percaya ini, akhirnya aku bisa bermain dengan kucing di sekolah."

Yoona tertawa kecil. "Hahaha, kau sangat menyukai kucing ya?"

Si pianis itu tertawa dulu menanggapi jilatan Snow—kucing berbulu seputih salju itu di pipinya, kemudian ia menjawab, "Begitulah. Aku selalu tak punya kesempatan bermain dengan mereka. Di rumah, kucing sama sekali tak ada. Keluargaku pecinta anjing."

Yoona tersenyum senang. Ia merasa ini adalah takdir yang saling berhubungan. Menurutnya, semua ini memang bukan suatu kebetulan.

"Aku jadi penasaran mengapa kau bisa membawa kucingmu kemari. Bukankah sekolah melarang membawa peliharaan ke dalam asrama?"

"Ah." Yoona menunduk malu. Wajahnya seakan beruap, merona kemerahan. "Kupikir... kau tak perlu tahu itu."

"Memang," pianis itu membenarkan, "Ya, aku memang tak perlu tahu. Kalau saja aku tahu bagaimana caranya membawa kucing ke sekolah, tetap saja aku tak bisa melakukannya mengingat keluargaku pasti takkan mengizinkannya. Karena itu, sebaiknya aku memang tidak tahu saja."

Lelaki ini membuatnya penasaran, Yoona tahu itu. Kepribadian, cara bicara, sikap, semuanya. "Apakah sampai detik terakhir kau tak mau memberitahukan namamu?"

Pianis itu menatap Yoona dengan serius—membuat gadis itu merasa dirinya akan segera jatuh pingsan. Senyum sang pianis mengembang tulus. "Kupikir tidak."

"Hah?"

"Kupikir kau akan segera tahu nanti."

"Nanti?"

Si pianis mengangguk. "Ini akan jadi malam terakhir pertemuan kita tanpa mengenal nama." terawangnya. Beberapa detik kemudian, matanya terpejam. Jari-jarinya bergerak di atas tuts piano.

Ia memainkan Quasimodo.

"Selanjutnya, kita pasti akan saling memanggil nama satu sama lain."






-WHITE ZINNIA-






Yoona mengerti maksud pianis misterius itu. Hari ini sekolahnya akan mengadakan sebuah pagelaran musik. Tentu saja pianis itu akan bermain nanti, mengingat permainan pianonya yang begitu indah.

Yoona benar-benar tak sabar menunggunya. Ini akan menjadi hari yang bahagia. Ia akan mengetahui namanya—pianis itu. Dan hari ini, ia bisa bercakap-cakap dengannya, bukan di ruang musik yang gelap. Ia akan berbincang di bawah teriknya matahari, di bawah terangnya langit siang.

"Yoona March Lim?" panggil seseorang, ketika ia tengah membayangkan masa depannya yang indah sambil memainkan piano di depannya dengan asal.

"Ah, guru Song, ada apa?"

"Oh, sangat beruntung aku menemukanmu disini." Ia mengelap air matanya dramatis. "Tiffany yang akan tampil di pertunjukan nanti sedang sakit. Padahal ia harus tampil di penghujung acara, benar-benar gawat."

"Lalu apa hubungannya denganku?"

"Sayangku, kau adalah salah satu violinis terbaik sekolah kita," kata guru Song, dan Yoona tak tahu itu bohong atau tidak. Ia tahu gurunya selalu memandangnya sebagai anggota keluarga March Lim, bukan sebagai Yoona. "Permainanmu sangat indah. Aku ingin kau menggantikannya."

"Tapi—"

"Masih ada waktu sebelum pertunjukan terakhir," kata guru Song tak mempedulikan jawabannya. Ia terlihat tergesa-gesa. "Kau akan berduet dengan seorang pianis."

Dalam sekejap Yoona mematung. Dadanya bergemuruh begitu berisik. Ia tak sanggup berbicara untuk menolak, karena kini ia bimbang. Piano mengingatkannya pada kenangan indah di setiap malam hari. Mungkinkah?

Guru Song tersenyum melihat wajah Yoona yang kelihatannya menyetujui. Ia segera membuka pintu. "Sayangku, masuklah, akan kuperkenalkan padamu, partnermu yang baru."

Yoona cepat-cepat menoleh ke arah pintu. Diperhatikannya baik-baik seorang lelaki yang baru saja masuk. Matanya membelalak. Rambut lelaki itu berwarna hampir blonde. Wajahnya terlihat cuek, dan alisnya mengkerut. Tapi yang paling dikenalnya, adalah mata sekelam malamnya yang menghanyutkan.

"Kau?"

"Ah." Yoona tersenyum senang. Sampai,

"Nah Taemin Avery Lee, ia adalah partner barumu, Yoona March Lim."

Satu-satunya yang Yoona sesali kenapa ia terlahir di keluarga March Lim adalah mengapa ia harus bertemu dengan Taemin Avery Lee. Keluarga mereka adalah musuh bebuyutan dan entah karena apa mereka begitu saling membenci.

Guru Song meninggalkan mereka berdua—memberi kesempatan bagi mereka untuk saling berkenalan dan latihan.

Taemin memandang Yoona dalam diam. Ia tak tersenyum, dan Yoona melihat sorot matanya yang benar-benar berubah. Penuh kekecewaan. "Aku tahu alasan mengapa kau boleh membawa kucingmu ke sekolah."

"Aku—"

Taemin tak memandangnya lagi. Ia mulai menyentuh pianonya, memainkan sebuah lagu. "Anggaplah kita tak saling mengenal."

Rasanya, Yoona ingin menangis saat itu juga. Dadanya begitu sesak. Ia tak sanggup memandang Taemin yang menatapnya penuh kebencian tadi. Kenapa harus seperti ini?

"Ini akan jadi yang terakhir kau mendengar permainan pianoku untukmu."

Quasimodo diperdengarkan di telinga Yoona untuk yang terakhir kalinya. Kali ini gadis itu sungguh-sungguh mendengarkannya. Ia mendengarkan, sambil menangis.

"Dan ini hadiah terakhir dariku."

Taemin menyelesaikan permainan pianonya seraya menaruh sesuatu di atas tuts-tuts-nya, setangkai bunga zinnia berwarna putih.






-WHITE ZINNIA-






I can't tell you about me who wants to reach your heart,
like the starlight hidden behind the cold clouds
I love you, in the end, this painful confession
that lingers at the edge of my lips slides down in tears

The arrow that reached my heart
feels like part of my body now
Even though it hurts to death
I can't remove you, who's stuck in my heart
Because it's love, because for me, it's love

Even if I can't have you, even when my heart
Is blocked in the end by the wall of sad connection,
I love you, if it's a place, where I can just watch you
Because you're my everything

~Quasimodo..

Yoona mengangguk mengiyakan. Ia tersenyum kecil pada sekelompok wartawan yang mewawancarainya. "Apakah anda tahu? Dulu, ada sebuah legenda di sekolahku."

"Benarkah? Boleh kami tahu apa itu, nona March Lim?"

"Ya," dipandangnya setangkai zinnia putih dalam genggamannya. "Masa depanku berhubungan dengan piano."

"Hm??"

"Masa depanku adalah jatuh cinta... pada seorang pianis."






"Tidak. Karenanya, aku bisa memahami perbedaan hitam dan putih. Mengenal kepedihan, juga jutaan kebahagiaan. Bagiku, mengenalnya adalah sebuah nasib baik, yang membuat hidupku menjadi indah.






-WHITE ZINNIA-END-






A/N: Zinnia (white) = kebaikan | inget ga waktu jaman Shinee baru debut, Yoona tuh sering dipasangin sama Taemin, contohnya pas perform Juliette 😊


Continue Reading

You'll Also Like

43K 5.9K 28
tidak ada kehidupan sejak balita berusia 3,5 tahun tersebut terkurung dalam sebuah bangunan terbengkalai di belakang mension mewah yang jauh dari pus...
81.5K 8.2K 35
FIKSI
724K 67.5K 42
Menceritakan tentang seorang anak manis yang tinggal dengan papa kesayangannya dan lika-liku kehidupannya. ( Kalau part nya ke acak tolong kalian uru...
323K 35.1K 71
⚠️BXB, MISGENDERING, MPREG⚠️ Kisah tentang Jungkook yang berteleportasi ke zaman Dinasti Versailles. Bagaimana kisahnya? Baca saja. Taekook : Top Tae...