Head Over Heels (Kisah Cinta...

By sagirangisme

154K 13.1K 1.1K

Samudra Joseph Reagan dan Luhara Lituhayu putus di malam anniversary ke-7 mereka. Selain karena orangtuanya... More

Di balik Kerumitan Kisah Head Over Heels
1. Sam
2. Luh
3. Sam
4. Luh
5. Sam
6. Luh
7. Sam
8. Luh
9. Sam
10. LUH
11. Sam
12. LUH
13. SAM
14. Luh
15. Sam
16. Luh
17. Sam
18. Luh
19. Sam
20. Luh
21. Sam
Basa-basi Part 2
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Hai, Halo
Kabar terbaru dari Sam dan Luh

1

4.4K 317 46
By sagirangisme



LUH

SERING KALI aku mempertanyakan ini setiap melamun di sofa ruang tengah. Sosok laki-laki seperti apa yang akan menjadi pendamping hidupku kelak? Apakah akan seganteng John Rhys-Mayer, si aktor favoritku dalam film August Rush yang ceritanya selalu bikin aku nangis setiap kali menonton ulang, atau sosok laki-laki yang mungkin punya suara seseksi Harry Styles yang akan membuatku merasa betah hanya dengan mendengarkan dia berbicara selama berjam-jam, atau lelaki dengan sejuta pesona seperti Jude Law?

Dalam lamunan yang sama ditemani suara percakapan acara televisi yang sebenarnya tidak kusimak, aku juga kerap menebak-nebak. Bagaimana perangai lelaki masa depanku itu saat menghadapiku—yang aku sendiri suka nggak tahu menghadapi keinginanku yang kadang-kadang absurd ini? Lalu kepada kedua orangtuaku yang selalu menuntut kebahagiaan versi mereka untukku, si anak semata wayangnya, dan kepada anak-anakku nanti. Apakah sosok yang akan berkata,"Udahan dulu nangisnya, ya, sayang. Nanti di depan mini market sana Papa beliin dua, deh,"kepada putri kecil kami yang merajuk meminta es krim di dalam mobil, padahal tahu kalau gula tidak terlalu baik untuk gigi-gigi susunya yang baru tumbuh? Atau seseorang yang akan membentak, mengatakan dengan sejujurnya bahwa es krim sama sekali tidak bagus untuk kesehatan giginya, mengancam akan lebih sering membawanya ke dokter gigi yang galak, padahal yang sedang diajak bicaranya adalah balita yang nggak tahu apa-apa.

Mengingat hal yang terakhir itu sebenarnya membuatku bisa bernapas dengan lega. Aku sudah menghapus daftar lelaki tipe kedua, dan itu sudah bertahun-tahun yang lalu. Kami pacaran pada masa-masa awal kuliah yang menyenangkan, lalu mengakhirinya hanya dalam tiga bulan karena dia yang tidak ingin kusebutkan namanya itu sudah berani mengatur-atur dan membentakku—oh, ibuku yang judes saja nggak pernah melakukan itu. Tapi, yah, bagaimanapun, itu kisah lama yang sebenarnya tidak ada faedahnya untuk kuceritakan kembali, selain bahwa pepatah kalau kita akan menemukan orang yang tepat setelah bertemu dengan orang yang salah, benar adanya. Aku salah satu orang yang percaya dengan peribahasa tersebut, karena setelah beberapa bulan putus dengan si-orang-yang-salah-itu, aku bertemu dengan si-orang-yang-nyaris-tepat.

Pertama kali kami bertemu saat lelaki itu membantu memotret bersama teman sekelasku yang tergabung dalam majalah kampus—ini sangat lawas sekali, tetapi entah kenapa bagian terkecil di dalam otakku selalu mengingatnya sampai sedetail ini, seolah dia selalu ada untuk kukenang, untuk kuceritakan kepada orang lain seakan bagian terbaik dari hidupku adalah saat pertama kali bertemu dengannya. Tetapi hal pertama yang selalui kuingat dari sosoknya adalah, dia tidak seperti teman laki-laki kebanyakan, yang akan mencuri-curi tatapan kepadaku padahal sedang ngobrol dengan teman lainnya. Tidak melontarkan gombalan-gombalan receh seperti yang lain, yang biasanya kutanggapi,"Ah, yakin itu buat gue, bukan cewek lain yang lewat depan kelas lo?"sambil mencoba tertawa, meskipun seringnya aku nggak nyaman dengan tingkah mereka. Tetapi sosok yang lebih sering mengalihkan pandangannya, seakan aku bukan seseorang yang menarik minatnya.

Selanjutnya, kami mulai sering berpapasan—entah dia menyadari atau tidak—saat diam-diam aku sering kali mencuri pandang ke arahnya. Dia bukan atlet basket yang akan kita ingat karena punya lengan berotot dengan bahu lebar yang terlihat keren di mata para mahasiswi waktu itu. Sebaliknya, dia punya tubuh gempal yang sering menjadi bahan ledekan teman-temannya.

Persis seperti siang itu di kantin. Yah, selalu ada yang pertama, lalu pertemuan-pertemuan lain yang anehnya juga tak luput dari ingatanku. Aku sedang mengantre jus, dan pada meja tidak jauh dari tempatku berdiri, aku mendengar seseorang meledeknya.

"Ini nih, alesan kenapa lo nggak kurus-kurus." Suara beraksen Makasar yang kental terdengar.

Aku menoleh dan mendapati tiga orang sedang duduk di meja di dekatku. Dia, lelaki itu, bersama kedua temannya yang nyaris selalu kulihat di mana pun dia berada—kecuali di kelas-kelas penting, kurasa.

"Kalau gue nggak kurus, masalahnya di mana coba, teman-teman gue yang budiman?"

"Dia nanya masalahnya di mana, dude?!"Lelaki beraksen Makasar mengajak bicara lelaki satunya dengan nada meledek yang kental banget.

"Masalahnya mungkin lo bakal ngejomblo sampe beberapa tahun ke depan, tapi itu nggak bakal jadi masalah selama ada cewek yang bisa lo ajak main-main." Temannya yang satunya menanggapi dengan gaya sinis dan penuh percaya diri.

Dan ini yang membuatku sepenuhnya menoleh ke arah keributan tersebut, mulai tidak memedulikan jusku yang sebentar lagi selesai dibuat.

"Man, yang dilihat dari cowok itu yang terpenting di sini." Lelaki itu menunjuk kepalanya, lalu beralih ke bagian dadanya."Lalu di sini."

Temannya yang beraksen Makasar tergelak.

"Bukan dari fisik yang beberapa tahun lagi itu otot kencang lo pada bakal mengendur. Dan lo, Rik, bakal jadi si kakek bawel yang dibenci cucu-cucunya karena lo kebanyakan omong daripada ngasih hadiah ke mereka. Terus lo, Ham, lo bakal jadi kakek-kakek sinis yang ... eh lo berniat nikah dan beranak-pinak nggak sih?"Setelah itu temannya yang dipanggil Rik melemparnya dengan tisu yang digulung, sebelum mengikuti temannya yang dipanggil Ham, meninggalkannya sendirian di kantin setelah berkata bahwa mereka ada kelas yang belum mereka ambil semester sebelumnya gara-gara total kredit mata kuliah yang nggak mencukupi. Pada detik itulah aku seperti punya keberanian untuk melakukan sesuatu di luar kebiasaanku. Entah dorongan dari mana yang membuatku memilih melangkah ke mejanya setelah aku mendapatkan jus jambuku—selain fakta bahwa tidak ada kursi yang kosong di kantin siang itu.

"Boleh gue duduk di sini? Kayaknya pagi tadi orang-orang pada nggak sempet sarapan gara-gara tugas numpuk, dan bikin kantin penuh siang ini."Aku tahu basa-basiku waktu itu terlalu umum, atau mungkin terlalu basi, dan mungkin lawan bicaraku akan menanggapi hanya dengan anggukan karena tahu dia didatangi seorang mahasiswi membosankan.

"Kabar baiknya itu kursi umum, yang bahkan bapak rektor kita pun bisa ikutan duduk di sana. Jadi lo gue izinin duduk di sana."

Seperti sebelum-sebelumnya. Dia tidak menatapku saat berbicara. Lebih konsentrasi pada Indomie rebus dengan campuran telur, sawi, dan kornet yang beraroma harum dan terlihat sangat menggiurkan—aku tahu, bahkan sama Indomie saja aku kalah saing.

Aku mulai menikmati jusku, sesekali mengedarkan pandangan ke sekitar dan mendapati orang-orang sedang mencuri pandang ke arah kami, lalu mulai terdengar kasak-kusuk. Yah, aku tahu kalau beberapa bulan yang lalu aku baru putus dari si orang yang aku tidak mau sebutin namanya selain petunjuk kalau dia ketua BEM yang sangat dikagumi para mahasiswi. Jadi masalahnya di mana saat siang ini aku duduk di meja bersama seorang cowok yang mungkin tidak seterkenal mantanku itu?

Namun masalah buatku saat itu adalah, aku melihat noda seperti kuah yang berlepotan di sudut bibir lelaki di hadapanku. Aku punya kecenderungan tidak menyukai hal-hal yang tidak sempurna di sekitarku. Seperti menggeser kursi ketika agak miring ke samping. Membuang remasan kertas di lantai kelas ke tong sampah. Dan si kuah di sudut bibir ini. Secara refleks aku meraih tisu dari tempatnya di atas meja, kemudian mengusapnya ke bibirnya.

"Lo lucu, ya, udah segede ini aja makannya masih berlepotan."

Dia mendongak, seperti kaget atas perlakuanku barusan—yang sebenarnya sama kagetnya denganku. Buru-buru dia meraih tisu dari tanganku dan mengelapnya sendiri.

"Nah, gede yang lo maksud di sini ambigu,"Dia menanggapi, "Gede karena udah dua puluh tahun, atau kenyataan kalau tubuh gue yang agak gempal dan hobi makan Indomie?"

"Mungkin lebih tepat yang pertama."Aku menatapnya yang terlihat kikuk. "Oh ya, gue Luh, anak PR. Gue sering lihat lo tugas bareng sama Annet, dia temen sekelas gue ngomong-ngomong."

Setelah itulah dia baru mendongak, berani menatapku dengan matanya yang agak biru."Sam,"ucapnya. "Annet pernah beberapa kali cerita soal lo kayaknya."

"Yang bagus-bagus?"

"Yang beberapa cowok yang naksir lo pengin denger."

Kalimatnya waktu itu benar-benar ambigu, meskipun beberapa minggu kemudian, setelah beberapa pertemuan tidak sengaja di kantin, perpustakaan, taman kampus saat dia sedang ngoprek kameranya, dan depan gedung kuliah nunggu kelas dimulai, aku sadar kalau kalimat yang dikatakannya pada pertemuan pertama kami tidak seambigu itu. Dia terlalu gamblang malah, setelah aku tahu kalau ketertarikanku kepadanya tidak hanya satu arah.

Aku belum pernah senyaman itu berhubungan dengan laki-laki, sampai tujuh tahun yang kami lewati rasanya seperti tujuh hari.

Lalu detik ini, masih dengan suara Allen yang mengoceh di layar televisi, setelah tujuh tahun yang kami lalui, aku kembali mempertanyakan. Laki-laki seperti apa yang kubutuhkan untuk hubungan yang lebih serius, setelah aku tidak bisa lagi mengharapkan si-orang-yang-nyaris-tepat itu dalam rencana jangka panjangku? Meskipun namanya selalu kusertakan setiap kali aku membayangkan masa depan, namun kenyataan bahwa kami tidak bisa bersama memukulku dengan telak. Alasan paling masuk akal kenapa sosoknya bisa begitu melekat dalam benakku adalah karena dia lelaki yang mencintaiku dengan ketulusan yang tidak kudapati dari lelaki lain.

Itulah masalahnya—ya, ya, ya, masalahku.

Dia, Sam, si lelaki tipe pertama yang akan membelikan es krim kepada putri kami di masa depan. Aku memutuskan hubungan kami setahun yang lalu, yang setelahnya terasa seperti ribuan tahun. Satu bulan yang lalu, dia kembali sebagai sosok yang nyaris tidak kukenal, menamakan diri roomate yang tinggal di kamar sebelah apartemen yang kusewa. Sosoknya kembali muncul bersama perubahan-perubahan mengagumkan yang membuatku bertanya-tanya. Apa perasaannya kepadaku masih tetap sama?

SAM

APA YANG sedang gue lakukan?

Pertanyaan itu tebersit di benak saat gue memutar kenop pintu apartemen yang sekarang gue tinggali. Klik. Dan muncul begitu aja. Kayak melangkah di jalanan yang lurus, terus tiba-tiba kaki kita menginjak lubang berlumpur. Nggak bikin seratus persen penampilan jadi kacau memang, tapi cukup menggelikan buat diketawakan—bahkan sama diri sendiri. Seceroboh itu, ya, ternyata diri gue?

Gue mengedarkan pandangan ke sekitar, menghirup udara dingin dari AC. Tempat ini baru gue tinggali sebulan, tapi terasa sangat familier. Setiap sudutnya seperti bercerita kalau gue pernah menghabiskan banyak waktu di tempat ini, bersama seseorang yang istimewa. Sekarang gue tinggal di sini sepenuhnya—empat belas jam kurang lebih dalam sehari, tujuh hari penuh dalam seminggu—tapi bikin gue merasa asing sama seseorang yang sejak awal tinggal di kamar sebelah—katakanlah roomate gue. Kayak tinggal di belahan bumi lain bersama orang-orang yang nggak kita kenal dan mengenali kita.

Bingung sama penjelasan gue?

Oke. Gue Samudra—dipanggil Sam kedengaran lebih manusiawi—single, straight, menuju 28 tahun beberapa bulan lagi, dan agak bodoh karena dari sekian banyak hunian mewah di Jakarta, gue malah memilih tinggal di apartemen mantan pacar.

Lalu pertanyaan-pertanyaan ini terus berulang di kepala gue selama sebulanan ini; sebagai apakah diri gue saat memutuskan itu? Sebagai penyewa yang berharap bisa menghemat pengeluaran di ibu kota? Atau sebagai seseorang yang masih mengharapkan cintanya buat kembali?

Njir ... yang kedua kedengaran menyedihkan banget.

Atau memang begitulah kenyataan mengenai diri gue.

"Udah dapet apa aja lo selama tinggal bareng sebulan?"Pertanyaan sinting itu meluncur dari Irham, sahabat gue sejak zaman kuliah yang sampai sekarang masih bersedia jadi temen gue, menjadi sopir yang nganterin gue pulang. Saat itu kami terjebak macet, jadi mungkin pertanyaan itu semacam keisengan buat membunuh waktu ketimbang mengumpat nggak jelas sambil menyalahkan presiden atas kesemrawutan lalu lintas ini, sekaligus meledek gue.

"Udah dapet senyum dia setiap pagi. Bagi gue, itu udah lebih dari sekadar cukup."Gue tahu menyedihkan rasanya menjadi gue yang seperti ini.

"Taik." Irham mencibir dengan gaya tenangnya. "Kalau lo nggak sebodoh ini, Bule, dengan wajah separuh bule lo ini, lo bisa dapetin yang lebih."

"Buat orang yang tiap hari nyicip cewek kayak nyicip masakan nyokap, itu emang kedengaran kayak omong kosong, Ham. Tapi buat orang yang merasa udah menemukan cinta sejatinya, itu yang dinamakan hasil."

Melewati rapat panjang bareng klien rewel seharian membuat otak kami random. Biasanya setelah itu kami langsung cabut ke tempat-tempat yang bisa nyediain minuman dan, khusus buat sahabat gue itu, perempuan, yang bisa diajak pulang bareng. Itu gue versi dulu, sebelum sadar kalau gue pulang ke tempat seseorang yang hatinya pengin gue raih kembali. Yah, meskipun kedengaran agak brengsek, tapi gue bersyukur karena masih punya sahabat kayak dia, yang di tengah kesibukannya ngencanin cewek yang daftarnya dari A sampai Z, dia masih sempat aja nganterin gue pulang.

"Mulai besok mending lo ambil si Kaleng, deh, Bule. Bawa ke bengkel terus lo pake. Si Rikas juga udah masrahin tuh mobil, daripada ngejugrug nggak jelas di rumah gue. Gimana? Lumayan kan, sesekali lo bisa ajak Luh keluar kalau lo udah bosen'maen'di apartemen. Dan, beli benda di kotak keramat kalau kehabisan."Benda di dalam kotak keramat itu bahkan nggak pernah gue pakai. Gue sembunyiin di tempat yang nggak bakal diketahui teman seapartemen gue yang pasti bakal mengira gue sebusuk itu karena nyimpen kondom kayak persediaan suami-istri buat tempur sebulan penuh.

"Dude, lo jadi kedengaran kayak si Rikas!"

"Yah, mungkin karena lo lagi kangen sama si Bawel, Bule. Nggak ada dia kita jadi sering garing dan buat mengobati kerinduan lo sama dia, sesekali gue harus berperan jadi dia."

"Taik!"Gue melengos dan menatap ke luar jendela.

Setelah Rikas pulang kampung dan menjadi pewaris tunggal perusahaan kayu ayahnya di Makasar, perkumpulan kami yang sudah terjalin sejak kuliah di rumah sewaan bubar. Irham balik ke rumah ibunya di Jagakarsa, menjadi salah satu penghuni rumah dengan belasan kucing peliharaan ibunya, sementara gue terombang-ambing nggak tahu harus ke mana sebelum akhirnya gue dapet informasi dari Annet, teman gue pas kuliah berikut teknologi bernama Twitter, kalau mantan gue membuka lowongan buat mengisi kamar di sebelahnya.

Itulah alasan kenapa malam ini gue berada di ruang tengah apartemen yang terasa sangat familier sekaligus asing ini. Dengan kemeja yang udah kusut, rambut lengket karena keringat, dan tentu saja wajah gue udah buluk dan sama sekali nggak enak dilihat. Berdiri menatap ke arah sofa, ke tempat sosok perempuan yang sedang meringkuk dengan kedua tangan bertumpu ke pipi. Gue mendekat, mendapati tidurnya begitu lelap dan gue sempat melihat bibirnya tersenyum. Mungkin dia sedang bermimpi, dan gue selalu berharap gue yang menjadi alasan kenapa dia tersenyum dalam mimpinya—meskipun dalam kehidupan nyata gue mungkin jadi mimpi buruknya.

Setelah itu gue mengambil remote televisi dan mematikannya, masuk ke kamar gue dan membuka lemari. Mengambil selimut yang baru diambil dari penatu beberapa hari yang lalu, membawanya keluar dan membentangkannya ke tubuhnya. Ini bukan kali pertama gue mendapatinya dalam keadaan tertidur di sofa dengan televisi menyala. Dan bukan pertama kalinya juga gue melakukan itu—memperlakukan dia seperti kami masih punya hubungan istimewa. Lagi-lagi pertanyaan yang sama kembali membersit di benak gue.

Apa yang sedang lo lakuin, Sam? []

Continue Reading

You'll Also Like

254K 43.1K 40
Marie Osmond once said, "Tragedy plus time equals humor. True, what could be funnier than living tragedy every day and still surviving? One is trying...
406K 83.5K 31
"Hidup ini sebuah tempat singgah yang luas. Kita semua cuma pengembara yang terus berkelana sampai menemukan apa yang kita mau. Sebagian sudah menemu...
2.9K 400 22
Banyak yang harus kamu pikirkan sebelum siap untuk kehilangan. Termasuk perkiraan, seberapa lama kamu mampu menghitung hari didalam kalender sebelum...
16.9K 2.1K 9
CERITA INI HANYA DIUNGGAH 7 BAB PERTAMA SEBAGAI TEASER "Lo pengen nggak Cit, kalau cowok yang lo taksir balas naksir sama lo? Gue punya sesuatu yang...