TraveLove

By Marronad

3.3M 258K 7.5K

Maret, 2018 #2 chicklit #1 rank pilot #12 #14 Bea hampir yakin kalau apa yang dikatakan mamanya benar, berpak... More

Awal
Dua Orang Yang Berbeda
Dua Manusia
Pergi Tak Kembali
Merasa Kehilangan
Hari-Hari Setelah Kehilangan
Salah Sangka
Waktu Yang Sama
Gara-Gara Kopi
Surabaya
Seragam Pilot
Bertemu
Bertemu 2
Perjodohan Mendadak
Waktu
Lukisan
Saran Dari Mereka
Meminta Restu
Persiapan
Persiapan 2
Pernikahan
Pesta Pernikahan
After Marriage
Feeling
One Day With You
Abid Kecewa
Tentang Mereka
Tentang Mereka 2
Perhatian Abid
Berdua
Bali?
Bali
Perasaan
Galeri Papa
Because Of You
Take Off
Awal Dari Perasaan
Realita
Tidak Tepat Janji
Bad Day
Surat Pemecatan
Teman Bercerita
Curiga
Bohong Dan Kenyataan
Kecurigaan Itu Berlanjut
Kepergian
Kekecewaan Bearista
Lebih Dari Cinta
Maafkan Bea
Epilog+Ekstra Part

Tak Secanggung Saat Itu

65.5K 5.1K 151
By Marronad

Mereka memilih tempat untuk makan siang tidak jauh dari kantornya. Akhirnya Bea pasrah saat Abid menarik tangannya.

"Kamu kenapa sampai melewatkan makan siang?" tanya Abid.

"Lagi tidak mood. Hari ini semuanya bikin aku marah, termasuk kamu." Nada bicaranya masih ketus.

"Saya? Kan, tadi sudah minta maaf," ucap Abid, memutar bola mata malas.

"Ya tetap saja, aku belum memaafkan. Pergi ke galeri Papa tidak bilang," gerutu Bea, ia bersedekap dada membuang muka dari wajah Abid.

"Kalau kita libur, ke sana bareng, ya." Pria itu masih berusaha membujuk istrinya.

Makanan yang mereka pesan pun datang. Abid sengaja memesan banyak makanan agar Bea kenyang. Saat ada makanan, Bea mengambil piring dengan cepat. Ia ingin menyendok, tetapi Abid menahannya.

"Tanganmu kotor, cuci dulu!" Bea pun merengut, ia sudah lapar sekali.

"Tangan kamu kenapa kotor semua?" tanya Abid saat melihat tangan Bearista banyak bekas tinta.

"Habis menulis bukti kas keluar," jawab Bea setelah mencuci tangannya. Ia segera meneguk teh hangat.

"Saya nggak paham."

"Ya itu, jadi pengeluaran pabrik kan, harus ditulis buat masuk ke kas," jelas Bea. Abid mulai paham, wajar Abid tidak paham tentang hal seperti itu. Ia hanya tahu tentang penerbangan.

"Ya sudah, kamu makan yang banyak biar cepat besar," kata Abid sambil mengelus puncak kepala Bea seperti memperlakukan anak kecil.
Kalau saja dia tidak lapar, sudah Bea balas Abid.

Katanya Bea sudah makan, tetapi mengapa semua makanan yang disajikan habis dimakan, lapar atau kelaparan? Abid menggeleng tidak percaya begitu melihat Bea lahap sekali. Makanan Abid baru ia habiskan separuh, memandang Bea makan membuat Abid kenyang. Abid tidak henti memandang Bea yang fokus memasukan makanan ke mulut.

"Dimakan Abid, jangan lihat aku terus." Bea mendongak. Ia tidak enak karena Abid memandanginya.

Abid mengalihkan matanya sebentar, lalu menatap Bea kembali. "Tidak ada yang melihatmu," sahut Abid.

"Kamu tidak makan?" tanya Bea mengalihkan pembicaraan. Ia melihat piring Abid masih ada sisa makanan.

"Kenyang," jawab Abid. Bea berdiri, lalu mengambil piring Abid. Namun, Abid menahannya.

"Biar aku saja yang habisin," kata Bea sebelum Abid bertanya.

"Tidak usah dimakan!"

Bea melepaskan tangan Abid dari piring itu.

"Aku tidak bisa lihat makanan sisa, untuk beli ini semua perlu uang. Jangan biasakan buang-buang uang. Lagian, aku yakin kamu nggak penyakitan," jelas Bea.

Abid terdiam. Ia tidak bisa berkata lagi. Untuk pertama kalinya dalam hidup Abid ada perempuan dengan pemikiran seperti ini, bahkan ia rela menghabiskan makanan bekas Abid. Bersama Gealina, ia tidak pernah diperlakukan seperti ini, yang dikatakan Bearista memang benar, kita perlu kerja keras untuk mendapatkan uang. Bahkan masih banyak di luar sana yang kesusahan untuk mencari makan.

"Terima kasih," ucap Abid.

"Untuk?"

"Telah menghabiskan makanan saya."

Bea tersenyum tulus untuk pertama kalinya. "Sama-sama, itu karena suamiku. Kalau orang lain ogah!" balas Bea.

Begitu saja terlewati dengan obrolan ringan hingga Bea selesai dengan makanan Abid. Pria itu mengantarkan Bea kembali ke kantor.

"Nanti pulang jam berapa?" tanya Abid ketika mereka hampir sampai di depan kantor Bea.

"Jam empat sore kalau tidak ada halangan."

"Mau dijemput?"

"Nggak usah, aku bawa motor," jawab Bea. Namun, saat keduanya berjalan, tiba-tiba saja Bea dikagetkan dengan sosok yang pernah bertemu dengannya.

"Bea?"

"Jeremy?" Laki-laki yang pernah ia Aliyana perkenalkan.

Jeremy melirik ke arah Abid. "Suamimu?"

Bea mengangguk sebagai jawaban.

"Ternyata kamu tidak berubah Bea, masih mengikuti orang tuamu. Dia laki-laki ke berapa?"

"Apa maksud Anda berbicara seperti itu pada istri saya?" Abid merasa tidak nyaman ketika Bea mengobrol dengan laki-laki ini.

"Ah, tidak. Selamat atas pernikahan kalian. Semoga langgeng, meskipun menikah karena perjodohan," ucapnya. Setelah itu Jeremy pergi begitu saja.

"Siapa laki-laki tadi? Tidak sopan."

"Jeremy. Laki-laki yang pernah Mama kenalkan padaku," jawab Bea.

"Pantas saja. Kamu menolaknya?" Abid penasaran.

"Dia tidak mau denganku."

"Lain kali hati-hati dengan orang seperti itu, tidak bisa menghargai perempuan sama sekali," ucap Abid.

Bea mengangguk, yang dikatakan Abid benar, untung saja Bea tidak jadi dengan Jeremy. Abid menggandeng Bea, mengantar Bea kembali ke pabriknya.

"Saya pulang dulu. Terima kasih sudah mau makan siang dengan saya," ucap Abid.

"Ya."

Abid tersenyum sekilas. Perlahan mundur, lalu berbalik meninggalkan Bea. Bea menatap kepergian Abid, tetapi tiba-tiba saja Bea memanggil Abid.

"Hati-hati di jalan!" Bea berteriak.

"Iya," balas Abid setengah berteriak agar Bea mendengarnya.

Bea berbalik memasuki kantornya. Untuk hari ini ia merasa banyak tersenyum, kesal terhadap Lukas serta pekerjaan menumpuk perlahan menghilang dengan kehadiran suaminya.

"Tumben lo senyum mulu?" tanya Nayla heran dengan sahabatnya.

"Biasa aja kok, senyum itu ibadah. Banyakin senyum biar awet muda," sahut Bearista. Ia kembali duduk di biliknya.

"Nggak biasanya. Kamu biasanya badmood mulu," ucap Nayla.

"Ya, iyalah dia senyum mulu, habis makan siang sama lakinya," ucap Ronald. Tiba-tiba saja pria ini mendekati meja Bearista dan Nayla yang bersebelahan. Bea memutar bola mata jengkel ketika dua biang kerok ini menganggunya.

"Pantesan ini anak senyam-senyum mulu. Curiga, pasti habis dapet jatah!" seru Nayla.

"Pastilah. Pengantin baru kan, lagi semangat-semangatnya, biar bisa cepat dapat dedek gemes," sahut Ronald. Bea yang paham arah pembicaraan pun menatap Ronald dan Nayla.

"Yes! Sebentar lagi aku punya ponakan.
Yuhuuu!" Nayla memekik kesenangan.

"Untung saja Bos lagi keluar, kalau ada sudah pasti terjadi perang ketiga," ujar Ronald.

"Panas banget telingaku, pergi kalian!" Bearista mengambil ponsel, ia sengaja mendengarkan musik dengan volume keras agar tidak mendengar ucapan keduanya.

Tawa Nayla dan Ronald pecah. Mereka paling senang kalau sudah membuat kesal perempuan ini. Suara berbincang orang yang mereka kenal membuat mereka kembali ke meja masing-masing, Bos datang. Jadi, mereka harus terlihat sedang bekerja. Kalau ngobrol di waktu kerja, mereka yakin Lukas akan marah-marah.

***

Sebelum pulang, Abid mampir ke rumah Leli. Walaupun ia masih sedikit menyimpan kecewa terhadap Mama, tetapi Abid hilangkan karena itu sikap yang tidak pantas. Walau bagaimanapun, Mama adalah sosok yang melahirkannya.

"Mbak Bea mana, Mas?" Pertanyaan pertama saat Abid baru masuk rumahnya, adiknya hari ini ada di rumah.

"Tumben ada di rumah?" Bukannya menjawab, Abid mengalihkan pembicaraan.

"Lagi nggak sibuk. Lagian sudah ada yang handle," jawab Firman. Walaupun usianya baru dua puluh tahun, tetapi Firman sudah berhasil menjadi seorang CEO di salah satu stasiun televisi.

"Mbak Bea ke mana, Mas?" tanya Firman lagi.

"Ada apa emang menanyakan Bea?"

"Aku nanya doang, Mas. Soalnya Mas ke sini sendirian," ujar Firman.

"Dia kerja, Mama mana?"

Firman menunjuk ke arah belakang tubuhnya sebagai jawaban atas pertanyaan kakaknya. Abid melewati Firman lalu mendekati ibunya yang sedang membaca koran di belakang Firman

"Ma," ucap Abid.

Leli mendongak lalu melipat korannya, ia belum berbicara, masih menatap Abid. Anaknya ternyata kembali.
"Ab?" Abid menyalami Leli walaupun tangan wanita itu begitu kaku. "Kamu nggak marah sama Mama, Nak?"

Abid duduk di sebelah mamanya. "Nggak, Ma. Abid kemarin cuma kebawa emosi doang. Maafkan Abid, ya," jawab Abid

Leli memeluk anak laki-lakinya ini, ia kira Abid tidak akan mau menginjakkan kaki ke rumah ini lagi. "Kamu nggak salah, Mama yang salah. Harusnya Mama tidak melakukan itu."

Abid melepaskan pelukan mereka. "Sudah ya Ma, tidak usah dibahas, mungkin memang benar Abid sekarang harus lebih fokus ke Bea," jawab Abid.
Leli mengangguk, ia berjanji tidak akan membahas atau ikut campur dengan masa lalu Abid lagi.

"OM PILOTTT!" Suara keponakan membuat Abid menutup telinga. Kenapa mereka ini suka sekali berteriak? Dua anak kecil itu pun mendekati Abid, Nala naik ke sofa lalu duduk di pangkuan Abid, sedangkan Adit duduk di samping Abid.

"Mama Bea mana?" tanya Nala. Abid mengernyit, sejak kapan keponakannya ini memanggil istrinya seperti itu?

"Jangan kaget gitu deh, Dek. Mbak yang menyuruh mereka panggil Bea gitu. Biar Bea jadi terbiasa kalau kalian punya anak nanti," sahut Meliana. Ia mendekati Abid lalu duduk di sofa.

"Cepat kasih Mama cucu dong, Ab. Bosan sama Nala dan Adit terus." Kini Leli ikut menyahut.

"Nenek bosan ya, sama Nala. Nala nakal ya, Nek?" Nala yang mendengar ucapan neneknya merasa sedikit sedih.

Leli keceplosan, padahal tadi hanya memancing Abid saja, ia lupa kalau cucunya ini sangat cepat mencerna setiap perkataan orang dewasa.

"Nggak kok, Sayang. Tadi kamu salah dengar," jelas Leli. Namun, ternyata Nala malah ngambek dan tidak mau dekat-dekat neneknya lagi.

"Sudah tahu cucunya pintar gitu, malah dipancing. Aku nggak ikut-ikut ya, Ma," ucap Meliana.

Abid terkekeh. Ia senang sekali jika suasana rumah cair seperti ini, hanya saja ada yang kurang, Bearista.

"Lho, kamu sendirian, Ab?" tanya papa Abid, ikut mendekat sembari membawa segelas kopi.

"Bea kerja, Pa. Tadinya tidak mau ke sini, cuma kangen aja sama kalian," jawab Abid.

"Kamu masih menyuruh Bea bekerja?"

Abid mengangguk.

"Lagian gaji kamu cukup, Ab. Suruh Bea berhenti bekerja. Kasihan," ucap papanya.

"Abid tidak bisa melarang, Pa. Kalau dia di rumah juga percuma karena Abid tidak ada di rumah setiap hari juga. Abid jarang pulang, pasti dia merasa kesepian."

"Kalian sih malah pindah, harusnya di sini aja biar rumah semakin ramai," sahut Leli.

"Iya Ab, padahal Mbak berharap Bea di sini, lho. Jadi Mbak ada temannya." Meliana ikut menyahut.

"Abid hanya takut Bea tidak nyaman di sini, Bea biasa sendiri. Sedangkan rumah ini terlalu ramai. Abid dan Bea juga ingin mandiri," jelas Abid.

"Apa pun keputusanmu Papa selalu mendukung, yang penting sering main ke sini. Kamu besok masuk kerja?" tanya papa Abid.

Abid hanya mengangguk sebagai jawaban.

"Kalau Bea libur kerja suruh ke sini, nanti dijemput sama mbakmu."

"Iya, Pa. Nanti aku bilang dia. Nitip Bea selama Abid bertugas, ya." Abid juga sedikit khawatir kalau Bea sendiria.

"Tenang aja, Mbak Bea aman sama kita, Mas." Tiba-tiba Firman menyahut.

Firman ikut duduk di sofa, suasana ramai seperti ini jarang mereka rasakan. Abid dan Firman selalu sibuk jadi jarang sekali bisa berkumpul, meminum kopi atau teh sembari mengobrol ringan. Mereka melanjutkan obrolan ringan dengan suasana yang begitu harmonis.

-TBC-

Tinggalkan vote dan komentar :)

Instagram: Marronad.wp

Marronad

Continue Reading

You'll Also Like

27.9M 2.5M 70
Heaven Higher Favian. Namanya berartikan surga, tampangnya juga sangat surgawi. Tapi sial, kelakuannya tak mencerminkan sebagai penghuni surga. Cowo...
6.2M 323K 59
Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusaknya sejak 7 tahun lalu. Galenio Skyler hanyalah iblis ya...
1M 125K 41
Pita butuh seseorang yang bisa membantu memperbaiki ekonomi keluarganya. Dan Pras memenuhi syarat itu. Karenanya, Pita berani menerima lamaran Pras...
366K 27.3K 48
Bisa jadi ini adalah cerita yang menunggu untuk kau temukan. So ya, terimakasih sudah menemukanku. Tentang cara semesta menarik benang-benang kusut...